Oktovianus Pogau (foto Pribadi FB) |
Pagi ini, ketika saya bangun tidur di sebuah negeri kecil di tengah lautan Pasifik di kejutkan oleh berita duka akan Oktovianus Pogaw, seorang adik wartawan yang lincah, cerdas dan yang amat penting adalah kritis. Seorang Wartawan sejati. Okto meninggal di rumah sakit Dian Harapan yang terletak di pinggir rumahku di tanah Papua. Berita ini membuat saya amat sedih dan batal ikuti sebuah morning devosion disebuh kantor gereja yang selalu saya ikuti mana kala berada di negeri ini. Doa dan dan terutama pujian pagi dengan irama lautan pasifik yang merdu dalam beberapa suara yang mengalir spontan tidak mampu membendung ke sedihan hati yang mendalam.
Berita ini laksana kilat di tengah hari ketika hati saya belum lagi terobati karena minggu lalu di Sorong, bangsa papua juga kehilangan seorang Tokoh Papua, Johanis Goram. Seorang pemimpin Bangsa Papua dari gugusan kepulauan Raja Ampat yang amat berani bukan saja dalam menyatakan aspirasi politiknya namun juga ketika mengambil keputusan menyangkut pilihan hidup. Dia meninggalkan segala kemewahaan di Perusahaan Freeport dan memilih pulang kampung Sorong dan bangun masyarakat dan movement di daerah Kepala Burung. Kepada Abram Goram adiknya, dari Brisbane Australia saat memimpin Solidarity Group saya hanya bisa mengirim pesan di facebook kata turut berduka. Sama dengan saat keponakanku di Nabire menyampaikan berita kematian Johana Mote, kaka perempuan tertua. Cuma terhentak sebentar, air mata mengalir dan bangkit lagi sesuai pesannya 1 minggu sebelum saat dia dengan sukacita bergabung dengan orang-orang yang dia cintai: ayah kami Didimus Mote, suaminya Natalis Pakage dan tentu saja kaka tertua kami, Romo Jack Mote, Pr. Dia berkata, adik saya tidak akan mampu lawan yang ini, saya akan pergi tapi lanjutkan apa yang adik sedang lakukan karena itu penting untuk bangsa kita.
Saya tahu Goram pun akan berkata sama bila saja saya berkesempatan ngobrol dengan dia sebelumnya sebagaimana berkali-kali saya senantiasa lakukan, up date perkembangan di luar. Dia akan kumpulkan masyarakat, dengar cerita perjuangan ibarat nafas yang menguatkan mereka dalam hadapi ekspansi kolonial Indonesia yang setiap hari membanjiri negeri kami. Saya bicara dengan adik Okto pogau yang terakhir kalinya ketika ia berkunjung ke Amerika. Hampir setiap malam kami dua ngobrol melalui telpon berjam-jam sekalipun dia terbang dari satu kota ke kota lain. kami campur dalam 3 bahasa, mee mana, indonesia dan disisipi bahasa Inggris sana sini. kami bicara banyak ide dan rencana. Dia share begitu banyak inside info dan sebagainya dan sebagainya. Di setiap kota yang dia lampui saya sarankan siapa yang patut dia temui dan dalam konteks apa?
Adik Okto, si senama ini saya kenal sejak dia masih duduk di Sekolah Menengah Atas di Kota Nabire. Kami bersahabat dan akrab apalagi sesudah Agus Sumule menceritakan siapa Okto dan segala puja puji akan kelebihan anak ini yang tidak perna saya ketemu in person. Ketika itu, kepada Okto saya tanya segala sesuatu dari urusan politik di DPRD dan masyarakat hingga urusan masyarakat. Mendengar semua penjelasannya, kita tidak akan percaya bahwa yang kita ada lagi bicara ini cuma seorang anak SMA. Pikiran yang begitu dewasa, dirangkai dalam rasional berpikir yang tersusun rapi dan jernih dan sungguh-sungguh kritis. maka tidak heran bila anak mudah ini dalam usia yang begitu muda, bikin banyak peristiwa bersejarah yang akan dikenang oleh bangsa papua.
Document terakhir yang Okto kirim kepada saya adalah Laporan Lengkap BIN yang memetakan seluruh pejuang Papua baik didalam dan luar negeri. Laporannya saya kirim ke beberapa lembaga dan meminta mereka menerbitkannya. Laporan itu tentu saja menjadi document tidak terbantahkan yang kami pakai dalam diplomasi internasional akan perilaku kolonial Indonesia. Pagi ini, ketika saya mendengar kematiannya, saya juga mendengarkan wawancara di ABC TV 7:30 program. Dalam program bergengsi itu diwawancarai Dr Jame Elmslie dari Universitas Sydney mengenai dokumen BIN yang bocor dan jatuh di tangan kami. Tentu saja, James Elmslie tidak menyebutkan nama sumber utamanya sesuai permintaan saya dan juga demi keselamatan Okto. Kemarin, saya juga di kabari bahwa Departmen Luar Negeri Indonesia membunuh secara tidak langsung suara Papua, media internet yang Okto dirikan dan kelolah secara sangat profesional. Teman itu berkisah bahwa Suara Papua tidak akan bisa terbit lagi dan nyawanya mulai terancam terkait dengan dokumen BIN yang dia kirim tersebut. Dan pagi ini, bukan hanya medianya, Suara Papua yang mati dibunuh tetapi saya di kejutkan oleh kematiannya.
Selamat jalan my friends. Walau kita terpaut jauh dari sisi usia you are really my friends. Kami dua diskusi, baku ganggu dan kadang saya marah tetapi kemarahan itu adik terima secara dewasa. Kepadamu saya cari berita di balik berita, sekalipun saya tahu semua yang sudah diturunkan di Suara Papua adalah suara rakyat Papua, suara kemerdekaan papua. Adik tidak memilih kehidupan yang mewah dengan bekerja di surat kabar yang kaya raya dengan segera selesaikan sarjana karena itulah syarat menjadi wartawa saat ini.
Tidak. Seakan adik tahu perjalananmu akan begitu singkat di bumi ini, adik memilih berhenti dari kuliah dan fight di jalan dengan penah sebagai Wartawan dan suara sebagai aktivis di jalan hingga masuk hutan membakar gerilyawan TPN OPM di kampung kita. Dan lebih lagi adik adalah anggota PIS, Papua Intelligent Servis walau tidak ada yang mengangkatmu. Tapi semua document dan cerita yang adik kirim membuktikan kehebatanmu. Semua itu sudah menjadi modal kami dalam melanjutkan diplomasi di luar negeri.
Adik Okto, saya cuma hendak berkata, Kita, Bangsa Papua PASTI akan merdeka. Ini cuma masalah waktu saja. Weneka, selamat jalan dengan damai. Canda dan ketawamu yang bebas apalagi karyamu akan abadi ditengah kami, rekan-rekan wartawan, teman-teman aktivismu dan apalagi di kalangan orang Mee dan Moni serta bangsa papua.
Oleh : Sekertaris Jendral (Sekjen) ULMWP, Octovianus Mote
Tidak ada komentar:
Posting Komentar