oleh: I Ngurah Suryawan *
“Tanah dibutuhkan, tapi orang tidak!” (Tania Murray Li, 2010)
Pendahuluan
Saat mengunjungi sebuah kampung di Distrik Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan pelajaran berharga pada sebuah diskusi di para-para kampung bersama 4 paitua yang menemani saya ke kebun mereka yang saling berdekatan. Seorang paitua mengungkapkan, “Orang Papua itu belum mampu kelola hidup. Hutan itu yang hidupi Orang Papua. Orang Papua tidak bisa kelola tanah yang tandus. Bagaimana tong mau kelola hutan kalau hutan su dijual ke pengusaha.”
Mereka belajar dari pengalaman saudara mereka di Aroba, Tofoi, Furwata dan Tanah Merah (Kabupaten Teluk Bintuni). Hutan-hutan yang terbentang antara Aroba, Furwata sampai Teluk Arguni Atas (Kaimana) sudah habis ditebang karena masuknya perusahaan kayu dan kelapa sawit. Mereka tidak lagi mempunyai hak atas hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Pengalaman pahit dari saudara mereka itulah yang membuat mereka kini berhati-hati menjaga hutan agar tidak lepas dari kepemilikan adat mereka. “Tongsekarang tra sembarang jual hutan dan tanah. Bagaimana tong pu generasi selanjutnya?”, tanya seorangpaitua sambil menunjukkan ke arah ujung bukit yang mereka sebut dengan jaindab (lokasi matahari turun)[1].
Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak kepemilikan terhadap hutan mereka diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Hal ini tidak terlepas dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menetapkan hutan adat adalah hutan negara. Jauh sebelumnya, jika melacak genealogi kepemilikan tanah di Indonesia kira-kira dimulai pada abad 19, selalu saja terjadi kontestasi (baca: pertarungan sekaligus negosiasi) di antara negara dan masyarakat. Penetrasi dari perusahaan-perusahaan Trans−National Corporation (TNC) dan gurita kuasa kapital yang bekerjasama dengan rezim otoritarian dan kapitalistik Orde Baru untuk menggerus jutaan hektar hutan dan tanah-tanah milik masyarakat adat. Intinya, yang diperlukan oleh rezim kapitalistik negara yang bekerjasama dengan otoritas negara hanyalah tanah saja, bukan manusia yang menempati tanah tersebut. Secara tajam, Tania Murray Li sebagai pembicara utama dalam pertemuan European Association of Asian Studies di Gothenburg (Swedia) 2010 mengungkapkan: “tanah dibutuhkan, tapi orang tidak!” dan “sumber daya manusia dari Jawa didatangkan tanpa pelayaran balik” (Martin Ramstedt 2011: 42).
Namun kini, orang yang berada di atas tanah/hutan seolah mendapat angin segar. Akhirnya, perjuangan masyarakat adat yang dikawal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat anggotanya, tercapai. MK (Mahkamah Konstitusi) mengabulkan judicial review atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini artinya masyarakat adat memiliki kewenangan atas hutan adat dan tidak ada lagi status Hutan adat adalah hutan negara! Putusan MK itu dibacakan oleh pimpinan sidang, Akil Mukhtar pada hari Kamis, 16 Mei 2013 di gedung MK, Jakarta. Dalam keputusannya Akil mengatakan bahwa UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah hukum adat.”, tegas Akil[2].
Ini tentu saja berita yang sangat mengembirakan. Namun persoalan baru justru akan muncul seiring dengan berlangsungnya proses pendaftaran, pemetaan, dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas wilayah-wilayah hukum adat masing-masing di seluruh Indonesia. Dinamika dan kompleksitas di internal masyarakat adat tentu adalah salah satu poin penting yang harus dicermati. Politisasi adat untuk kepentingan para agen-agen atau elit-elitnya susah terbantahkan. Komunitas adat dan kebudayaannya juga salah kaprah jika dianggap “murni” dari polusi-polusi inter-koneksi global yang menyasar kampung-kampung. Introduksi pembangunan dan investasi sebagai kesadaran baru melepaskan relasi historis rakyat dengan tempat (tanah/hutannya) (Laksono, 2002).
Saya mengajukan pendekatan etnografi dan sejarah kerakyatan untuk menangkap suara-suara dan bahasa-bahasa masyarakat adat dengan berbagai macam kompleksitasnya. Kedua pendekatan ini menyasar kepada proses pembentukan kebudayaan dan adat (pusat reproduksi makna) yang dialami dalam keseharian masyarakat. Dalam usaha pemetaan hak-hak masyarakat adat dan penegakan identitas budaya masyarakat adat, kedua pendekatan ini sangat penad dilakukan karena perpaduan observasi partisipatif dan menggali sejarah sosial (baca: kerakyatan) masyarakat adat sendiri. Yang jauh lebih penting adalah keduanya bisa membaca dinamika internal masyarakat adat dan kompleksitas transformasi sosial yang terjadi kini pada masyarakat adat.
Pembangunan, Tanah, dan Hidup Orang Papua
Pembangunan jelas memerlukan tanah untuk mendirikan infrastruktur fisik sebagai salah satu wujud pembangunan selain pembangunan sumber daya manusia di lokasi pembangunan itu sendiri. Hadirnya pembangunan tentu membawa kesadaran dan pemahaman baru ke dalam masyarakat lokal. Bertemunya ide baru pembangunan dengan kehidupan masyarakat lokal mendatangkan berbagai implikasi. Cara pandang program pembangunan terhadap masyarakat bertemu dengan cara pandang masyarakat melihat pembangunan. Dalam bahasa Paschalis Maria Laksono (2002: 383), perspektif pembangunan yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru adalah sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan, sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap “keterbelakangan”. Hal yang dianggap terbelakang salah satu dan yang terpenting adalah kebudayaan tradisional komunitas tempatan yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan, yang kemudian diartikan secara sempit sebagai modernisasi. Dengan demikian, pembangunan itu identik dengan kesadaran baru yang hadir dan diterima lepas dari budaya tempatan.
Pembangunan yang diintrodusir negara merasuk dalam kesadaran masyarakat tempatan bukan sebagai sintesa proses historis budaya-budaya tempatan, tetapi lewat daya pikat citra sukses pembangunan di negera-negara industri maju yang didukung kekuatan modal. Lambat laun tapi pasti, tergusurnya masyarakat tradisional tidak semata-mata merupakan soal hilangnya keaslian budaya tradisional masyarakat tempatan, tetapi juga merupakan soal hilangnya pribadi dan rasa percaya diri masyarakat tempatan dan juga masyarakat Indonesia pada umumnya (Laksono, 2002: 384).
Hadirnya “rezim-rezim baru” berkedok pembangunan dan pemberdayaan dalam berbagai wujudnya di Tanah Papua sering kali mengabaikan atau alpha merekognisi (mengakui) pengetahuan dan sejarah masyarakat lokal yang telah mempunyai ikatan sejarah dengan tanah, lingkungan, sosial budaya, dan berbagai nilai dan norma yang lahir dan hidup bersama kehidupan mereka. Salah satunya adalah filosofi dan pemahaman mereka tentang tanah yang jauh berbeda dengan tanah yang dianggap sebagai modal (capital) yang bisa diperjual-belikan.
Orang Mee ―yang menyebut diri mereka “manusia utama”― memaknai tanah (Maki) sebagai mama (Akukai) yang memberikan kehidupan dari tanah maupun manusia. Jika tanah tidak diperhatikan maka hubungan manusia, Tuhan, dan alam itu tidak akan ada. Orang Mee sering menyebut para penjual tanah dengan Dimi Beu (orang gila atau orang yang tidak mempunyai pikiran). Tanah menurut orang Mee juga memiliki klasifikasinya sendiri yaitu tanah yang sakral, tanah untuk mata pencaharian, dan tanah untuk umum[3]. Dalam bahasa Maybrat, tanah disebut dengan Tabam. Filosofi tanah menurut orang Maybrat ialah menggambarkan alam semesta, termasuk di dalamnya kehidupan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dalam bahasa Maybrat: “Tabam Fo Msaka Ra Msikowah Fe, Anu Ra Oh Bsikowah Bo To” (Dunia atau alam semesta itu tidak merusak manusia tetapi manusia-lah yang merusak). Jadi kehidupan atau tingkah laku manusia di dunia digambarkan dalam filosofi tanah (Tabam)[4].
Filosofi dari pengetahuan lokal itu sangat berbeda dengan filosofi pembangunan yang justru melakukan kapitalisasi terhadap tanah. Dalam konteks yang lebih problematik, pembangunan juga telah menjadi pemicu dari keterpecahan dan sikap pragmatis—salah satunya terhadap tanah—yang telah menjalar di tengah masyarakat Papua dan juga Indonesia secara umum. Berbagai program pembangunan melalui proyek-proyek berlangsung. Kontraktor-kontraktor pun bermunculan di kampung-kampung guna mengakses proyek yang ditawarkan oleh Pemerintah Daerah. Ini belum termasuk berbagai program-program pembangunan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dengan berbagai nama bertajukkan pemberdayaan masyarakat kampung. Masyarakat di kampung dihadapkan pada situasi banyaknya program pembangunan yang masuk ke daerah mereka dengan berbagai tawaran dana-dana yang tidak sedikit jumlahnya.
Ada baiknya kita memeriksa kembali cara kita memandang masyarakat adat dan relasinya dengan tanah, hutan dan sumber daya alam. Meminjam perspektif James C. Scott (1995; R. Yando Zakaria dan Anu Lounela, 2002: 7) yang menjelaskan bahwa untuk negara seringkali melakukan penyederhanaan-penyederhanaan dalam mengelola dan menetapkan regulasi (aturan) terhadap tanah dan hutan. Penyederhanaan inilah yang disebut dengan “simplifikasi negara” (state simplifications) dalam memandang heterogenitas kebudayaan dan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat atas hutan dan tanah. Proses penyeragaman atau membuat heterogenitas itu tidak berarti adalah sebuah usaha untuk meredam gerakan-gerakan rakyat yang dilakukan oleh negara yang berkolaborasi dengan kuasa kapital global.
Sejarah relasi historis masyarakat adat dengan tanahnya, hutannya itulah yang harus direkognisi (diakui), digali pengetahuan-pengetahuan lokal yang tersimpan di dalamnya, dan di-revitalisasi dalam konteks perubahan sosial yang dialami masyarakat adat sehingga berguna untuk dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat adat kekinian. Menangkap kompleksitas relasi historis masyarakat adat dengan tanah/hutannya serta transformasi sosial yang menimpa masyarakat adat kini, perspektif penyederhanaan (simplifications)yang dilakukan oleh negara melalui pendekatan “pembangunanisme” terancam kekurangan bahasa untuk menangkap “isi hati” masyarakat dan semangat perubahan sosial yang mereka inginkan.
Saya menawarkan pendekatan etnografi dan sejarah kerakyatan untuk memahami kompleksitas masyarakat adat dalam pemetaan wilayah-wilayah adatnya. Pendekatan sejarah kerakyatan yang memulai argumentasi dari suara-suara rakyat ini mengawali dialognya dengan ilmu-ilmu sosial bahwa sejarah memerlukan antropologi dan sudah tentu etnografi untuk mempertajam analisisnya. Membaca ranah kultural, antropologi dan etnografi menjadi hal yang mutlak untuk diperdalam. Pada titik inilah pertemuan yang terjadi antara sejarah kerakyatan dan etnografi. Hal lainnya yang juga sangat penting adalah bahwa sejarah kerakyatan membicarakan suatu peristiwa dari bawah. Menulis sejarah dari bawah berarti mengisahkan kegiatan individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang selama ini tidak pernah dijamah oleh sejarah resmi. Sejarah kerakyatan juga mengangkat derajat aktivitas sehari-hari orang biasa yang tampak sepele menjadi sejajar dengan kisah-kisah perang besar dan keputusan-keputusan yang diambil di bangsal agung keraton-keraton dunia. Secara institusional, sejarah kerakyatan berkembang di luar institusi resmi pendidikan di universitas, meski ada beberapa sejarawan akademik yang mulai melek menggunakan sejarah jenis ini[5].
Kesimpulan
Membaca transformasi sosial masyarakat adat dalam perspektif etnografi dan sejarah kerakyatan, ada beberapa catatan yang setidaknya perlu didiskusikan dan dipikirkan untuk selanjutnya melakukan langkah-langkah praksis (baca: advokasi):
Pertama, tanah adalah kehidupan Orang Papua itu sendiri. Jika tanah dijual atau hilang, maka “terjual” dan “hilang” pula kehidupan Orang Papua. Memang mereka masih bisa hidup dalam keseharian, tapi relasi historis terhadap tanah yang (dulu) pernah mereka miliki menjadi hilang. Implikasi yang lebih serius adalah terkait dengan masa depan kehidupan berkomunitas dan relasinya dengan konstruksi kebudayaan yang secara total akan berubah. Pada momen inilah transformasi sosial terjadi dengan hadirnya kuasa eksternal bernama investasi global yang memutus relasi historis masyarakat tempatan dengan tanahnya. Masyarakat adat adalah pemilik tanah yang secara etnografis dan sejarah membentuk kebudayaan bersama tanah yang turun-temurun ditempati dan mengelola sumber daya-nya secara teratur.
Kedua, pemahaman tanah sebagai kapital (modal) adalah hasil dari proses modernisasi (pembangunan). Momen ini dimanfaatkan oleh aktor-aktor lokal di dalam masyarakat adat yang berkolaborasi dengan negara dan investor untuk menipu masyarakat adat agar menyerahkan tanahnya untuk kepentingan negara atau investor. Tidak jarang, kasus-kasus sengketa pertanahan mengakibatkan konflik dan kekerasan yang berujung kalahnya masyarakat adat.
Ketiga, terjadi proses klaim negara terhadap tanah-tanah adat sehingga tanah ulayat diserahkan kepada negara. Kondisi seperti ini jelas merugikan masyarakat adat yang tidak bisa mendaku tanah di mana mereka dilahirkan.
Keempat, mengembalikan tanah kepada masyarakat adat dalam bentuk pemetaan, pengakuan, dan pengelolaan tanah ulayat harus dipikirkan dengan matang. Transformasi sosial dan siasat pragmatisme yang melanda masyarakat adat sangat riskan terjadinya keterpecahan di internal masyarakat adat sendiri. Usaha pemetaan dan kajian atas tanah-tanah ulayat masyarakat adat bisa dilakukan dengan pendekatan etnografi dan sejarah kerakyatan. Melalui dua pendekatan ini, akan terbaca kompleksitas internal dan tantangan-tantangan perubahan sosial yang masyarakat adat hadapi.
Kelima, usaha-usaha advokasi setelah melakukan pemetaan dan kajian didasarkan pada prinsip bahwa gerakan masyarakat adat harus diarahkan menjadi gerakan-gerakan berbasis isu kelas daripada etnisitas (David Henley dan Jamie Seth Davidson 2010: 54). Isu-isu kelas maksudnya adalah melakukan konsolidasi dengan kelompok–kelompok gerakan sosial baru lainnya yang memperjuangkan kelompok minoritas.
Gunung Salju Amban, Manokwari, 4 September 2013.
C a t a t a n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar