Ketua Sinode Persekutuan Gereja-Gereja Babtis Papua, Rev. Sokratez Sofyan Yoman (foto Bapis) |
“Gereja sangat prihatin, tindakan tidak terpuji, teroris, kriminal dan biadab. Kita perlu mengutuk itu. Mereka harus menghentikan tindakan yang biadab itu,”tegasnya di kantor Sinode Babtis Papua di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (2/1/2015).
Kata Yoman, penembakan pada Desember semakin biasa sejak pembunuhan Kelly Kwalik di Timika 16 Desember 2009, Hubertus Mabel di Wamena 16 Desember 2012, empat siswa di Paniai 8 Desember 2014 dan pembunuhan selama Desember 2015 lalu.
“Aparat keamanan melakukan penembakan itu tanpa alasan yang jelas,sepele dan alasannya selalu normatif. Korban tertembak ketika melawan aparat, lebih dulu menyerang aparat sehingga aparat melakukan upaya melindunggi diri. Atau alasan politisnya, korban dituduh bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM),”katanya.
Kalaupun aparat mempunyai alasan, kata Yoman, siapapun tidak bisa membenarkan pembunuhan dan dengan alasan apapun, melakukan pembunuhan. “Kematian manusia itu kewenangan Tuhan atau karena usia lanjut,”tegas tokoh Papua yang produktif menulis buku sejarah pejajahan dan perjuangan Papua, sebanyak 15 buku ini.
Tujuan ganda lanjut Yoman, dalam dua tahun terakhir, pembunuhan itu terjadi menjelang kunjungan Presiden ke Papua. Pembunuhan empat siswa di Paniai menjelang kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Papua, menghadiri perayaan natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014 dan menjelang kunjungan ke Merauke, Wamena dan Raja Empat pada 2015.
Kata Yoman, di sini, terlihat jelas ada pengelolaan proyek keamanan negara. Dia menegaskan aparat negara ingin menambah pundi-pundi sakunya atas nama pengamanan dan penambakan pasukan. “Kalau tidak kelolah situasi ini, tidak ada proyek. Aparat mau dapat uang dari mana?”tanya Yoman.
Penembakan itu juga kata dia bagian dari operasi intelejen negara.
Kata dia negara ingin memancing reaksi dan menjustfikasi orang Papua dan mencap orang Papua itu kriminal, separatis dan jahat setelah ada respon pembalasan,selama Desember.
“Mereka mau bilang, lihat itu ada kekacauan di Papua menjelang natal. Mereka (aparat keamanan) ingin orang Papua melakukan reaksi, kemudian mau reaksi juga terhadap orang Papua. Mereka ingin konflik lebih besar, tetapi, bisa juga pembunuhan itu berlangsung selama Desember supaya tidak ada reaksi,”ungkapnya.
Sebenarnya, maksud lebih dari pembunuhan itu, kata Sokrates, tidak lebih dari sistem atau proses penghilangan etnis Melanesia di tanah Papua. Negara ingin menguasai tanah dan sumber daya alam di tanah Papua. “Negara ini tidak membutuhkan manusianya,”ungkap penulis buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” ini.
Sebelumnya kepada Jubi, Peneas Lokbere, Kordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia(SKP-HAM) Papua, mengatakan kekerasan negara yang terjadi selama Desember ini tidak bisa dipisahkan dari kekerasan negara di waktu lain. “Negara masih menilai orang Papua separatis, kriminal demi membenarkan tindakan pembunuhannya atas nama keamanan negara. Karena pembunuhan dengan tuduhan sepihak ini,”katanya.
Hal ini kata Lokbere, membuat orang Papua tidak pernah merasa bangga dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Orang Papua merasa tidak nyaman dan menikmati kehidupan sebagai bagian dari Indonesia sejak integrasi paksa 1969.
“Orang Papua dianggap tidak penting dan bernilai karena itu mereka menembak senaknya. Makin jelas juga karena kebanyakan aparat yang menembak mati tidak pernah diproses hukum dengan serius,”tegasnya mencontohkan kasus penembakan 4 siswa di Paniai 2014 yang terjadi di depan mata di siang hari.
Tak heran kalau Pdt Yoman, mengatakan butuh dialog politik sebab tidak akan pernah ada penyelesaikan persoalan Papua. Masalah Papua kata dia sangat kompleks, bukan masalah kesejahteraan, ekonomi, uang, pemekaran dan pembangunan fisik. “Orang Papua tidak membutuhkan itu semua. Orang Papua membutuhkan pendekatan dialog politik. Orang Papua dan pemerintah Indonesia harus duduk setara yang difasilitasi pihak ketiga yang netral,”ungkapnya.
Kata dia, pihak ketiga yang mediasi ini bisa negara, non negara (gereja, Ngo dan organisasi kawasan) dan tokoh. Organisasi, Forum Negara-negara Pacific dan Negara-negara Melanesia, misalnya, bisa menjadi pihak yang memediasi dialog ini. “Melanesia Spreahead Group (MSG) dan Pacific Island Forum (PIF) itu bisa mediasi dialog,”usulnya. (Mawel Benny)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar