Interupsi Aktivis Papua Merdeka Kepada Wamenlu Indonesia
“Sebagai angggota PBB kami mengakui
kedaulatan Indonesia atas West Papua, tetapi PBB juga mengakui hak
mereka (West Papua) untuk penentuan nasib sendiri dan pelanggaran Hak
Asasi Manusia”. Kata Perdana Menteri Menasseh Sogavare, saat
menanggapi reaksi Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia yang menolak
intervensi Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) terhadap
persoalan West Papua (sumber: http://www.pmc.aut.ac.nz).
Menanggapi Indonesia yang tidak ingin
masalah HAM dibicarakan oleh PIF, Sogavare juga menyatakan: “Jika suatu
negara anggota PBB melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya,
itu bukan lagi urusan domestik negara itu, tetapi itu menjadi isu yang
harus dibicarakan oleh PBB.”
Pernyataan Menasseh Sogavare, yang juga
ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) merupakan jawaban bagi rakyat
West Papua dan penguasa kolonial Indonesia atas ‘polemik’ hasil
pertemuan PIF. Pernyataan seorang pemimpin Melanesia yang berhasil
membawa masuk West Papua menjadi observer di MSG ini patut menjadi dasar
penilaian kita dalam menyikapi hasil PIF.
Pertama, dasar pengakuan dan penghargaan
PIF terhadap kedaulatan Indonesia atas Provinsi Papua (bukan bangsa
Papua) merupakan bagian dari menjaga etika dan asas kemerdekaan,
kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara agar hidup berdampingan
secara damai.
Pengakuan itu tidak berarti menghilangkan
komitmen negara-negara Melanesia dan Pasifik untuk menghargai dan
memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri sesuai piagam dan konvenan
PBB, yang juga merupakan dasar keputusan komunike MSG di Noumea, 2013.
Sesuai dengan itu pula, Menasseh Sogavareh dalam akhir tahun ini, atau
awal tahun depan akan mengadakan pertemuan untuk membawa persoalan West
Papua ke Komite 24 PBB (komite dekolonisasi PBB).
Kedua, keputusan pemimpin PIF untuk
mengirim Tim Pencari Fakta ke West Papua bukanlah merupakan bentuk
intervensi asing sebagaimana yang sedang disikapi oleh penguasa kolonial
Indonesia. Tetapi, itu merupakan kewajiban bagi negara-negara anggota
PBB, termasuk PIF yang merupakan organisasi regional PBB sesuai dengan
konvenan PBB.
Bahwa penguasa kolonial Indonesia melalui
hukum Indonesia maupun Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) tidak berhasil
memproteksi dan mengadili hampir semua kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di wilayah West Papua yang diklaimnya sebagai bagian dari
teritori Indonesia. Sudah seharusnya PBB dan organisasinya mengirim tim
pencari fakta, sebab berbagai pertemuan dan hasil Komisi HAM PBB
membuktikan temuan pelanggaran HAM yang terus terjadi di West Papua.
Ketiga, Para Pemimpin PIF dalam dua poin
komunike itu juga menyepakati bahwa akan menyelesaian akar dari
persoalan West Papua secara damai. Perdana Menteri PNG, Peter O’neill
selaku Ketua PIF yang diberi tanggung jawab untuk berkonsultasi dengan
Jakarta mengatakan itu merupakan langkah awal untuk melakukan banyak hal
kedepan bersama Indonesia.
Peter O’neil sejak awal berhati-hati dan
sangat diplomatis dalam menyikapi isu West Papua sebab, menurut saya, ia
ingin Papua harus diselesaikan tanpa mengganggu stabilitas wilayah
Pasifik. Ia mempertimbangkan watak brutalisme dari penguasa kolonial
Indonesia yang selalu mengedepankan cara-cara militeristik dalam
penyelesaian persoalan West Papua.
Keempat, Perjuangan bangsa Papua untuk
menentukan nasibnya sendiri sudah menjadi perjuangan rakyat Melanesia
dan Pasifik. Apapun keputusan dan kepentingan para politisi Melanesia
dan Pasifik hal tersebut tidak akan menghilangkan dukungan dan desakan
kuat dari rakyat Melanesia dan pasifik yang terus menguat dan bergelora.
Dengan deimikian, rakyat West Papua harus
menyikapinya sebagai bagian dari kemajuan perjuangan yang terus terjadi
di luar negeri atas persatuan perjuangan bangsa Papua. Kita mesti
menilai ini sebagai perang diplomasi pasifik yang sedang diperjuangkan
melintasi kekuatan diplomasi kolonial Indonesia yang penuh dengan
rekayasa dan penyuapan.
Ketua Umum KNPB
Tim Kerja ULMWP