Ilustrasi.Ist/Senator Papua |
Oleh : Willem Wandik, S.Sos
Tanah Papua,(KM)
– Tidak ada yang perlu ditakutkan oleh para politisi dan penguasa
Jakarta, dengan kebijakan Presiden Jokowi yang membuka ruang bagi para
jurnalis asing untuk masuk ke Tanah Papua. Opini Jakarta yang selalu
menempatkan Tanah Papua sebagai wilayah rawan konflik, dan perlu
dikendalikan oleh militer telah menciptakan “monster konflik” yang tidak
pernah ada ujungnya di negeri Papua. Kehidupan masyarakat pedalaman
Papua yang arif dengan alam dan tradisinya, dibayang-bayangi oleh teror
militer yang telah lama hadir di tanah ini, terhitung semenjak Militer
pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Papua dalam proses pembebasan
Irian Barat, di Tahun 1962.
Sebuah
aksioma yang menggambarkan sikap paranoid para politisi dan para
pemimpin militer yang mempersoalkan akses yang diberikan oleh Presiden
Jokowi bagi para jurnalis asing untuk masuk ke Tanah Papua, yaitu “hanya
pencuri yang takut ketahuan dengan modus kejahatan yang selama ini
dilakukannya“. Sebagai negara yang telah mengklaim pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia dan menjunjung tinggi demokrasi, tidak seharusnya
segelintir penguasa jakarta dan para politisinya, ketakutan dengan
kehadiran para jurnalis dan media asing di Tanah Papua.
Tanah Papua
adalah tanah yang indah, penuh dengan keajaiban jika bertemu dengan
masyarakat pedalaman yang masih mempertahankan kehidupan tradisional
mereka. Ketakjuban akan semakin menguat ketika menyaksikan hamparan alam
yang begitu luas dan dipenuhi dengan vegetasi hutan tropis yang masih
terawat, bersama keberadaan satwa endemis yang benar-benar tidak
dimiliki oleh daerah lainnya, semakin melengkapi perjalanan yang
menakjubkan di Tanah Papua. Negeri yang indah ini, tidak perlu ditakuti
dan di isolasi dari dunia luar. Rakyat di Tanah Papua, bukanlah koloni
jajahan yang harus di jaga oleh para elit Jakarta dan para petinggi
militernya, dengan dalih ingin melindungi Tanah Papua dari agenda asing.
Bukankah selama ini, Jakarta telah menggadaikan seluruh kekayaan di
negeri Papua kepada sejumlah negeri-negeri asing, dimana rakyat di tanah
ini hanya menjadi budak pekerja yang telah berlangsung puluhan tahun
lamanya, dan entah sampai kapan kondisi ini akan segera berakhir.
Selama ini,
sepeninggal Bung Karno, faksi-faksi militer sepenuhnya menguasai
struktur bernegara. Sehingga posisi-posisi strategis negara selalu di
isi oleh para petinggi militer. Mulai dari jajaran menteri-menteri,
kepala Lembaga-Lembaga tinggi negara, hingga para Kepala Daerah (para
Gubernur, Bupati, Walikota), pernah dikuasai cukup lama, ketika rezim
militer orde baru berkuasa. Tujuan mereka adalah untuk mengontrol
kekuasaan Pemerintah, melalui struktur birokrasi yang menggurita hingga
ke daerah-daerah.
Peran dan
posisi militer pada saat ini, telah jauh berevolusi menjadi “alat” yang
efektif untuk mempertahankan “status quo” kepentingan-kepentingan bisnis
militer, dan peran mereka disejumlah daerah telah menjadi “mesin ATM”
bagi para petinggi-petinggi militer. Jika dizaman perjuangan
kemerdekaan, posisi militer menjadi alat perjuangan rakyat untuk
mempertahankan kedaulatan nasional, dari ancaman invasi dari para
kolonialis. Namun pada hari ini, mereka justru melayani para pemilik
modal melalui “service pengamanan“.
Saat ini
bukti nyata pengaruh militer begitu sangat kuat dalam mengawal
kepentingan “rezim militer” di Tanah Papua, melalui penunjukkan
komisaris PT. Freeport Indonesia, yang berasal dari mantan petinggi
Badan Intelijen Negara (BIN) yang juga seorang Letnan Jenderal Militer
(Purnawirawan). Ini bukanlah kebetulan, tetapi sebuah skenario yang
telah lama menjadi wajah kehidupan bernegara di Tanah Papua.
Pemberian
Otsus di Tanah Papua pada tahun 2001, dipandang oleh sebagian besar
faksi-faksi militer yang hingga saat ini terus memberikan bisikan kepada
setiap Presiden terpilih di negeri ini, sebagai sebuah “Aib Bernegara“.
Dimata para kelompok faksi-faksi militer, pemberian Otsus bagi Tanah
Papua, dipandang sebagai anak haram reformasi.
Cipta
kondisi yang selama ini menjadi wajah konflik di Tanah Papua, yang
selalu bersinggungan dengan kepentingan bisnis pengamanan, terhadap
sejumlah korporasi besar di Tanah Papua, merupakan bagian dari mata
rantai kekerasan yang sampai hari ini telah banyak menimbulkan tragedi
kemanusiaan di Tanah Papua.
Sebagai
generasi yang lahir di Tanah Papua, yang hingga hari ini menjadi bagian
dari masyarakat pedalaman di pegunungan tengah Tanah Papua, saya
menyaksikan begitu banyak peristiwa kemanusiaan yang sengaja diciptakan
oleh para jaringan militer. Secara jujur harus dibuka dihadapan publik
nasional maupun dunia internasional, bahwa kondisi di Tanah Papua
“bukanlah daerah yang menakutkan” dan tidak menjadi ancaman bagi
siapapun.
Perbedaan
yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat asli Papua, terkait persoalan
berbangsa dan bernegara, oleh banyak kalangan di Tanah Papua, memang
menjadi persoalan penting yang harus segera dituntaskan. Namun sebagian
besar masyarakat asli Papua menempuh perjuangan dengan “jalan damai“,
seperti ajaran Tuhan Jesus Kristus.
Terlihat
aneh, dalam penangkapan sejumlah orang yang di duga sebagai bagian dari
gerakan bersenjata, justru ditemukan senjata-senjata yang mereka gunakan
sebagian besar buatan PT. Pindad, dan amunisi yang digunakan oleh
mereka juga buatan PT. Pindad. Seperti yang diketahui oleh publik di
Tanah Papua, para pengguna senjata dan amunisi yang berasal dari PT.
Pindad hanya berasal dari kalangan personil milter dan Kepolisian
Republik Indonesia.
Tanpa
memperkeruh kondisi sosial-politik di Tanah Papua, dan terus terjebak
dengan “permainan” rezim militer yang menguasai sejumlah kepentingan di
Tanah Papua. Rakyat pastinya membutuhkan rasa aman dan tenteram.
Faktanya konflik bersenjata selalu melibatkan personil militer dengan
kelompok orang yang tidak dikenal, dengan senjata dan amunisi yang
dibuat sebagian besar oleh PT. Pindad.
Telah
menjadi wacana publik, bahwa sebagian besar media-media daerah/ nasional
dikontrol dan dikendalikan oleh para jenderal dengan pengaruh yang
mereka miliki. Tidak jarang, pemberitaan menjadi tidak berimbang ketika
intervensi para jenderal menghalang-halangi investigasi sejumlah kasus
yang melibatkan kepentingan militer.
Sehingga
tidak berlebihan rasanya, jika kehadiran media dan jurnalis asing di
Tanah Papua, sangat dibutuhkan untuk memberikan kontrol terhadap
praktek-praktek militerisme yang selama ini tidak dapat dilakukan oleh
media nasional/ daerah yang dapat dibeli dan dikontrol oleh penguasa
(militer).
Sebagai
putera daerah yang berasal dari daerah pedalaman, yang telah lama
menyaksikan keganjilan dalam kehidupan berbangsa di Tanah Papua, dan
sebagai representasi masyarakat “indigenous” di Tanah Papua, merasa
berterimakasih kepada bapak Presiden Jokowi yang telah mengizinkan para
jurnalis asing untuk masuk ke Tanah Papua, dan sebagai pintu masuk untuk
membuka “cakrawala Tanah Papua” kepada publik nasional dan publik
dunia.
Dizaman yang
telah mengakui adanya reformasi dan penguatan terhadap hak-hak asasi
manusia, dimana kehidupan demokrasi di junjung tinggi, bukanlah saatnya
lagi, Tanah Papua selalu di isolasi dari dunia laur, oleh sistem yang
sengaja diciptakan oleh para kelompok faksi militer yang telah
berpuluh-puluh tahun lamanya menguasai “Cara Pandang” Negara mengelola
konflik dan persoalan kebangsaan di Tanah Papua.
Merdeka
menurut konsiderans UUD 1945 itu mendeskripsikan tentang “bangsa yang
bebas dari rasa takut, rasa tidak aman, nyaman dan bahagia hidup sebagai
sebuah bangsa, dan memiliki hak-hak asasi yang dilindungi oleh hukum
dan negara“.(willemwandik.com/Mako/KM)
Penulis adalah Mantan MPR Periode 2009-2014
Penulis adalah Mantan MPR Periode 2009-2014
http://www.kabarmapegaa.com/2015/07/jurnalis-asing-versus-rezim-militer.html#.Va0yFyFgMcA.facebook