Pages

Pages

Sabtu, 20 Juni 2015

Perlunya Perang Revolusi Rakyat Papua

Foto ilustrasi. Ist.

Sudah berdiplomasi kita terdesak! Kini telah sampailah rakyat Papua yang hanya 40% dari total penduduk di atas Tanah Papua dalam pimpinan The United Movement for West Papua (ULMWP) yang baru lahir 6 builan lalu itu, pada forum Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam meniti perjuangan pembebasan dengan jalan diplomasi dan dialog yang damai. Keputusan MSG soal keanggotaan yang akan memudahkan diplomasi kemerdekaan Papua Barat belum turun, masih dirapatkan hingga tanggal 24 Juni 2015.

Tetapi, lihatlah para saudara kita di Melanesia sama dengan para pejabat kita di West Papua: diplomasi ekonomi, tekanan politik mudah melemahkan solidaritas kekeluargaan Melanesia, melemahkan rasa turut merasakan penjajahan yang diderita rakyat Melanesia di Papua Barat.

Bila rakyat Papua Barat tidak diterima jadi anggota tetap MSG besok, kupikir, saatnya telah tiba untuk perang rakyat!

Lihatlah jalan panjang kita masa lalu dan berkacalah padanya: jalan panjang diplomasi itu soal keuntungan-kerugian, soal bisnis, soal kepentingan, soal eksistensi diri, kelompok, golongan. Hampir tak ada kemurnian niat dalamnya. Kekecualian di sini adalah rakyat akar rumput negara-negara Melanesia di Pasifik dan rakyat akar rumput di seluruh dunia, dimana hati nurani murninya membisik kuat, menggerakkan tangan dan kaki untuk melakukan tindakan-tindakan solidaritas mendukung perjuangan pembebasan rakyat Papua Barat kita.

Lebih-lebih rakyat dan negara Vanuatu, lepas dari segelintir kecil politisi dengan kepentingannya dan rakyat Kanaky. Kita hormati mereka.

Tetapi soal Melanesian Spearhead Group (MSG), soal Pasific Island Forum (PIF) adalah soal untung rugi segelintir politisi yang menentukan arah negara milik ribuan rakyat Melanesia di dalamnya, kecuali Vanuatu dan Kanaky yang kita hormati atas solidaritas dan dukungannya.

Maka, sekali lagi, saatnya telah tiba untuk perang rakyat!

Mata negara-negara di dunia telah lama tertuju kepada kekayaan alam tanah air kita yang kaya.  Lelehan liur mereka untuk menguras merampok kekayaan kita telah lama menetes dari mulut rakus mereka. Dan titik terang bagi mereka dalam jajahan Indonesia adalah undang-undang penanaman modal. Mereka dapat masuk dalam bentuk korporasi perusahaan multinasional, perusahaan-perusahaan asing dan nasional dan menguras-merampok semua kekayaan alam di atas tanah air kita.

Liciknya para perampok itu, sifat mereka telah merangsek masuk ke dalam sendi dan nadi yang menjadi intisari semua kebijakan negara penjajah -hingga kaki tangannya di atas tanah air kita Papua: sistem ekonomi-politik.

Sistem ekonomi neo-liberal di Indonesia sangat lebar memberi ruang untuk hutan, emas, perak, tembaga, uranium, minyak bumi, gas alam, kayu milik kita di atas tanah Papua itu dirampok habis-habisan hingga tandas-ludes: tak peduli anak adat Papua melarat, mati bergelimpangan, kelaparan dan tersingkir. Tak pelak, tanah adat ikut dirampas pula. Lambat laun, inti penghidupan kita: hutan dan tanah, yang kita sebut, mama (pemberi hidup) kini menjadi milik para tamu yang tak lain adalah bangsa-bangsa lain di dunia. Dan kita semakin tak memiliki apa-apa.

Pemerintah daerah di Papua dan lembaga-lembaga dalamnya sebagai kaki tangan penjajah tak mampu berbuat apa-apa karena masih berkutat dalam sistem ekonomi-politik penjajah yang tersistematis untuk pro penjajah.  Dalam sistem yang menjajah ini, Suku Kamoro-Amugme telah jadi korban pertama (PT Freeport), diikuti Malind di Merauke (MIFEE). Antrean panjang para perampok-pencuri dengan modal besar-besar telah ada di Jakarta dan Jayapura menanti giliran menguras apa yang kita punya.

Bagaimana bisa kita pemilik kekayaan ini menonton harta kita dijarah di depan mata? Saatnya telah tiba untuk perang rakyat!

Sistem ekonomi-politik yang menjadi roh gerak negara penjajah telah menghasilkan pula sistem pendidikan, kurikulum, memproduksi bacaan-bacaan, buku-buku, narasi-narasi sejarah, sosial, kebudayaan, doktrin-doktrin yang penuh dengan upaya penghilangan jati diri ke-Papua-an, penghilangan jati diri Melanesia, penuh upaya meng-Indonesia-kan orang Papua, sehingga dampaknya makin kentara kini depan mata.

Antara lain daftar pengangguran yang tiap tahun mengantri untuk jadi pelayan penjajah (PNS) makin bertambah tiap tahun akibat doktrin selama minimal 16 tahun masa pendidikan yang merangsang setiap kita berkesimpulan, 'Kehidupan baik dan bermartabat, yakni keberhasilan berpendidikan diukur dari menjadi PNS/tidaknya kita, menjadi DPR, menjadi Bupati, menjadi Gubernur, menjadi Tentara, menjadi Polisi, menjadi karyawan tambang PT Freeport, dan lain-lain'.

Kita sama-sekali tidak dirangsang untuk menyadari kehancuran kebudayaan Melanesia di Papua dan tanggungjawab moral kita sebagai kalangan terpelajar untuk mengangkat-membangkitkan lagi; Tidak dirangsang untuk menjadi kritis; Tidak diarahkan untuk jadi pendidik rakyat kita untuk melawan perendahan martabat dalam segala lini secara sistematis oleh penjajah; Menjadi petugas kesehatan di desa-desa terpencil dan bergerilya menekan angka kematian yang mengurangi eksistensi populasi manusia asli Papua di atas tanah air kita.

Generasi muda kita semakin menjadi manusia-manusia Indonesia, manusia-manusia mesin untuk kapital yang siap menjawab kebutuhan pasar: menjadi sekrup-sekrup penguat nadi kapital untuk semakin erat mencengkeram-menguasai, mengeksploitasi-menghisap, merampok-mengambil semua yang menjadi hak segenap kita sebagai rakyat Papua Barat dari Sorong hingga Merauke.

Ini tak bisa kita biarkan. Saatnya telah tiba untuk perang rakyat!

Kebudayaan, adat istiadat, lagu-lagu daerah, tarian adat, upacara-upacara adat yang menjadi media pemujaan kita pada Tuhan yang Maha Melindungi kita manusia Papua dan alam; Media pemujaan kita pada alam anugerah Tuhan untuk kehidupan kita: Media pemujaan pada roh-roh leluhur kita yang menjadi pelindung kita; Media pemelihara persatuan dan wahana merawat kehidupan dalam tatanan nilai dan norma hidup telah dihancurkan oleh masuknya pemerintahan, ekspansi pasar kapital, dominasi kebudayaan dengan streotip 'budaya kita kelas binatang', agama, pendidikan dan sistemnya dari SD hingga PT yang sentralistik  penuh narasi-narasi rekayasa untuk kepentingan penjajah.

Akibatnya rakyat Papua Barat kehilangan landasan yang menghidupi hidup: kita tidak lagi sayang lingkungan dan membiarkan perampok merampok semuanya; Kita tidak lagi sayang diri kita dan membiarkan segala kekayaan budaya, kearifan lokal musnah; Kita menjadi patung-patung hidup di depan saluran ekspolitasi menuju pemusnahan ras, etnis, kebudayaan, identitas Melanesia yang melekat pada diri setiap orang asli Papua.

Inilah alasan mesti ada perang rakyat!

Pertanyaannya, mengapa harus perang? Bukankah perang dilarang agama dan bertentangan dengan ajaran agama? Bukankah perang bukan zamannya karena dunia kini berbeda dengan dunia masa lalu? Bukankah ada cara yang lebih elegan dan bermartabat dari perang yakni diplomasi? Bukankah perang hanya memperpanjang konflik? Semua pertanyaan itu, mari kita ambil, bersama untung-ruginya perang revolusi rakyat Papua Barat, mari jejerkan di atas meja keputusan rakyat Papua Barat!

Satu yang pasti: diplomasi dan jalan damai butuh waktu panjang!

Selama perjalanan itu, bila kita tidak konsisten mendidik rakyat, maka sebagian besar rakyat Papua Barat melalui saluran pendidikan, sistem budaya dan tatanan sosial yang semakin berkembang cepat ini, dengan dominasi-dominasi di segala lini, akan menjadi manusia Indonesia. Menjadi manusia-mesin pekerja kapitalisme global yang berpikir seperti penjajah, berperilaku seperti penjajah, bertindak seperti penjajah. Mereka itu akan menikmati perubahannya yang seperti penjajah itu karena lebih enak walau sementara, dan cenderung memandang rakyat asli Papua kebanyakan seperti penjajah memandang kita saat ini. Kalian mengerti maksudku!

Maka, ingin kutegaskan padamu rakyat Papua Barat dari Sorong hingga Merauke, terlepas dari diskusi struktur/komando, persiapan-akmodasi, strategi-taktik dan sejenisnya, perang revolusi rakyat Papua Barat adalah harus dan mendesak! Perang revolusi rakyat Papua Barat adalah perang kemerdekaan demi mengusir kolonialisme dan perbudakan Indonesia, pembebasan hidup segenap kita Bangsa Papua Barat dari belenggu sistem ekonomi-politik Indonesia dan global yang menjajah.

Perang revolusi rakyat Papua Barat adalah perang yang satu-satunya di dunia damai saat ini untuk membuktikan kebulatan tekad kita demi eksistensi kita sebagai negara dan bangsa Papua Barat yang setara dengan penjajah Indonesia dan bangsa-bangsa perampok kekayaan alam kita itu.

Perang revolusi rakyat Papua Barat juga adalah perang pendidikan kesadaran dan kemandirian: mendidik rakyat kita untuk memilih dengan tegas, kemerdekaan Papua Barat sebagai jalan keselamatan hidup, memperjuangkannya dengan mempertaruhkan tubuh dan jiwa, dengan cucuran darah dan keringat, dengan gelimpangan mayat kita. Perang revolusi rakyat Papua Barat juga adalah perang kemandirian: bahwa kekuatan kita bersama akan bisa mengakhiri penderitaan dan kemerdekaan itu diraih dengan kekuatan dan daya upaya rakyat Papua sendiri!

Perang revolusi kemerdekaan bangsa Papua Barat adalah perang 'diplomasi darah' rakyat Papua Barat: akan berteriak dengan lebih keras kepada negara-negara yang saat ini mengaku menjunjung demokrasi, menghargai persamaan hak, menghargai kebebasan bangsa-bangsa pribumi di dunia untuk menentukan nasib sendiri, bahwa mereka selama 54 tahun lebih telah abai pada suara jeritan, tangisan, pekik kematian rakyat Papua Barat yang dibantai rezim penjajah.

Perang revolusi kemerdekaan adalah soal rakyat Bangsa Papua Barat memilih cara mati: (1) Mati dan musnah dalam tempo cepat di tangan militer Indonesia dalam perang memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dan kebebasan, atau (2) memilih mati lama dalam tempo lama dengan terus hidup dan menyaksikan penjajahan berlangsung, menjadi patung hidup, menanggung malu pada anak cucu yang masih harus kita lahirkan dalam nuansa penjajahan.

Perang revolusi kemerdekaan bangsa Papua Barat adalah pilihan hidup sadar dengan persiapan cukup dan kemantapan tekad: merdeka atau mati memperjuangkan merdeka dengan terhormat bersama impian kemerdekaan bangsa Papua Barat.


Patrick Yakobus adalah aktivis West Papua  



http://majalahselangkah.com/content/perlunya-perang-revolusi-rakyat-papua