)
JAYAPURA
- Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik dan HAM FISIP Uncen
Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, Presiden Jokowi sedang berupaya
keras mencegah proposal Papua ke MSG, hanya saja aksi kekerasan,
penangkapan, dan penembakan serta semua aksi brutal yang tidak
menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam 1
bulan terakhir ini di Papua. merupakan aksi-aksi kontra produktif dengan
upaya diplomasi Jokowi.
Dikatakan, Papua kalau terus kedepankan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, maka peluang Papua untuk masuk MSG semakin kuat. Papua akan menuju referendum apabila terus menerus kebijakan main tangkap dan penjarakan tanpa prosedur hukum tetap dipertontonkan pihak kepolisian.
“Tindakan main tangkap dan penjarakan, merupakan bentuk pelanggaran HAM yang paling menonjol sekarang ini di Papua,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura, Selasa, (9/6).
Dikatakan, Polisi telah menutup ruang demokrasi di Papua dan tidak mengijinkan adanya perbedaan pendapat yang diagungkan dalam demokrasi. Kalau perbedaaan pendapat ditafsirkan melawan negara, maka pemerintah harus berpikir kembali untuk menata hubungan dengan Papua kedepannya. Karena sampai kapanpun Papua akan tetap meminta merdeka dan tidak menginginkan untuk hidup bersama dengan Indonesia.
Presiden Jokowi harus menunjukkan sikap yang tergas terhadap aksi-aksi kekerasan di Papua. Kalau mau berdialog, kalau mau membangun kepercayaan orang Papua, kalau mau Papua berdamai dengan Jakarta, maka hentikan kekerasan dan penangkapan tanpa prosedur hukum seperti yang berlangsung saat ini di Papua.
Dikatakan, Papua kalau terus kedepankan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, maka peluang Papua untuk masuk MSG semakin kuat. Papua akan menuju referendum apabila terus menerus kebijakan main tangkap dan penjarakan tanpa prosedur hukum tetap dipertontonkan pihak kepolisian.
“Tindakan main tangkap dan penjarakan, merupakan bentuk pelanggaran HAM yang paling menonjol sekarang ini di Papua,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura, Selasa, (9/6).
Dikatakan, Polisi telah menutup ruang demokrasi di Papua dan tidak mengijinkan adanya perbedaan pendapat yang diagungkan dalam demokrasi. Kalau perbedaaan pendapat ditafsirkan melawan negara, maka pemerintah harus berpikir kembali untuk menata hubungan dengan Papua kedepannya. Karena sampai kapanpun Papua akan tetap meminta merdeka dan tidak menginginkan untuk hidup bersama dengan Indonesia.
Presiden Jokowi harus menunjukkan sikap yang tergas terhadap aksi-aksi kekerasan di Papua. Kalau mau berdialog, kalau mau membangun kepercayaan orang Papua, kalau mau Papua berdamai dengan Jakarta, maka hentikan kekerasan dan penangkapan tanpa prosedur hukum seperti yang berlangsung saat ini di Papua.
“Presiden Jokowi harus bisa kendalikan aksi-aksi melawan kemanusiaan di Papua. Polisi harus mengerti bahwa Indonesia sudah berada dalam era demokrasi, bukan lagi otoriter. Cara-cara otoriter harus dikuburkan dalam penyelesaian masalah Papua,” bebernya.
Jikalau Papua terus dikelola dalam keadaan perang dan konflik. Pertanyaan yang kemudian untuk apa kita harus hidup bersama dalam negara ini. Apa konsep negara hadir di Papua diterjemahkan dalam bentuk penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan saja?. Apakah sesungguhnya konsep negara hadir model Jokowi? Kalau hadirnya negara hanya untuk membunuh dan menghilangkan hak hidup penduduk asli Papua di tanahnya sendiri, maka negara Indonesia telah menjadi negara gagal.
Kata dia, tanpa adanya ketegasan Presiden Jokowi, maka Papua selangkah lagi jadi anggota MSG dan kristalisasi isu Papua akan semakin membesar dan meluas baik didalam negeri maupun luar negeri, sehingga pemerintah akan semakin sulit membendungnya.(Nls/don/l03)
http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/22155-marinus-yaung-presiden-berupaya-cegah-proposal-papua-masuk-msg