Pages

Pages

Sabtu, 20 Juni 2015

30 Bahasa Daerah di Papua Terancam “Dibunuh” Bahasa Indonesia

Ilustrasi (Foto Ist)
Jayapura, Jubi – Lima bahasa daerah dari 276 bahasa daerah di Papua telah hilang dari penuturan atau punah. Lima bahasa yang punah itu bahasa Saponi di Waropen, Bahasa Dusner dan Tandia di teluk Wondama, Bahasa Fitjin Lha di Kiamana, dan Bahasa Nambla di Senggi (Keerom).
“Bukan dua bahasa yang punah tetapi lima bahasa. Ini berarti tinggal 271 suku bahasa dari suku-suku bangsa Papua,” kata Handro Yonathan Lekitoo, kandidat doktor Antropologi di Universitas Indonesia kepada Jubi, Jumat (19/6/2015), mengomentari pemberitaan Jubi, Selasa (16/6) tentang dua bahasa Papua, bahasa Saponi dan Mapia dari 14 Bahasa daerah di Indonesia yang punah.
Kata pria dosen antropologi Universitas Cendrawasih (UNCEN) ini, 271 bahasa-bahasa Papua yang tersisa pun terancam punah. Bahasa-bahasa itu terancam karena sebagian kosa katanya sudah tidak ada lagi dalam penuturan. Jumlah yang terancam punah itu mencapai angka 30 an bahasa daerah.
“Kita tidak perlu jauh-jauh. Masyarakat Kayu Batu dan Kayu Pulau di kota Jayapura itu saja sudah tidak tahu angka dalam bahasa mereka. Dalam bahasa asli, mereka bisa hitung sampai 24 tetapi sekarang mereka hanya bisa sebut sampai angka 6,” katanya.
Lekitoo mengatakan ada sejumlah penyebab utama bahasa-bahasa daerah Papua hilang dan terancam punah. Penyebab pertama, jarang mengunakan bahasa daerah akibat perkawinan campur. “Orang-orang yang kawin beda suku dan bahasa menyebabkan jarang mengunakan bahasa daerah dalam komunikasi,” ungkapnya.
Orang jarang mengunakan bahasa daerah juga akibat perbedaan bahasa. Perbedaan bahasa yang ada mendorong semua orang di Papua mengunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan dalam rangka membangun nasionalisme tetapi tidak memperhitungkan kebangsaan Indonesia itu terdiri dari keragaman suku dan bangsa.
Penyebab kedua, menurut penulis buku ‘Potret Manusia Pohon’ ini, migrasi penduduk dalam jumlah besar. Kaum mayoritas penduduk mendatanggi kampung tertentu sangat mempegaruhi. Kaum mayoritas mendominasi komunikasi hari-hari sehingga kelompok minoritas ikut larut mengunakan bahasa mayoritas. “Lihat wilayah trans di Papua. Orang Papua pintas bicara bahasa Jawa tetapi tidak tahu bahasa daerahnya,” katanya mencontohkan salah satu daerah trans di Merauke.
Penyebab ketiga, perkembangan teknologi yang datang ke Papua. Teknologi ini sudah mempunyai bahasa komunikasi. Orang-orang Papua yang mengakses informasi dan komunikasi lewat teknologi lupa lagi mengunakan bahasa mereka. “Orang tidak melihat bahasa daerah sebagai indentitas yang membangakan. Baik kalau orang komunikasi lewat teknologi dengan bahasa daerah”.
Menurut Lekitoo, kalau orang sudah tidak merasa bahasa sebagai identitas, dengan sendirinya bahasa dilupakan. Orang tidak lagi memiliki identitas dirinya sebagai orang Papua. Bangsa Papua terancam punah. “Bahasa menunjukkan bangsa. Tidak ada bahasa berarti tidak ada bangsa,”tegasnya.
Kata Lekitto, ancaman ini sangat serius. Karena itu, pemerintah daerah harus serius melihat, punahnya bahasa sama dengan kepunahan suatu bangsa. UU otonomi khusus harus menjadi hokum yang bisa membuat kebijakan untuk melindunggi orang Papua. Pemerintah harus membuat kurikulum yang mengajarkan bahasa daerah.
“Kalau sekolah ada di Nafri, anak-anak harus belajar bahasa nafri si sekolah. Sekolah di Joka, anak-anak harus belajar dalam bahasa Yoka. Saya pikir ini satu tanggung jawab pemerintah yang harus pemerintah wujudkan,” harapnya.
Engelbertus Surabut, ketua Dewan Adat Wilayah Lapago mengatakan punahnya bahasa makin nyata kepunahan orang Papua. Orang Papua makin jelas masa depanya seperti apa tanpa bahasa daerah. “Cerita-cerita peradaban hidup orang Papua akan hilang. Hilang sudah masa depan Papua maka perlu kesadaran orang Papua mengunakan bahasa daerah”.(Mawel Benny)