Pages

Pages

Jumat, 09 Januari 2015

PRESIDEN RI JOKOWI : HENTIKAN KEKERASAN MILITER DI PAPUA

Oleh : Willem Wandik
Gambar : Mi;iter di Papua/Sumber Semator Papua.com
 
Kabar Mapegaa.com-  Aksi kekerasan yang melibatkan militer dan warga sipil di Tanah Papua tidaklah terjadi secara kebetulan. Tidak dipungkiri bisnis keamanan menjadi mata rantai dari setiap aksi kekerasan yang melibatkan militer di Tanah Papua.  Keterlibatan militer di Tanah Papua selama ini melibatkan kepentingan militer terhadap birokrasi dan dunia usaha di Tanah Papua.  

Sejumlah perusahaan asing di Tanah Papua dengan terang-terangan menggunakan aparat militer sebagai personil yang melayani kegiatan pengamanan, termasuk apa yang dilakukan oleh PT. Freeport. Penggunaan aparat militer bersenjata lengkap dilakukan untuk men-service sejumlah perusahaan asing, yang dananya tidak hanya dinikmati oleh personel militer yang terlibat dalam pengamanan, namun juga dinikmati oleh para komandan militer.

Kekerasan demi kekerasan dengan dalih keamanan negara selalu menjadi potret utama sikap Pemerintah menghadapi gejolak sosial masyarakat asli Papua. Cara-cara kekerasan telah menimbulkan kebencian yang luar biasa terhadap militer. Kekerasan di Tanah Papua hadir sebagai dampak dari pendekatan keamanan, dimana persoalan Papua selalu disikapi dengan model keamanan dan ancaman.

Lingkaran kekerasan tidak akan pernah berhenti jika Pemerintah Pusat masih melanggengkan pendekatan militeristik untuk merespon gejolak sosial di Tanah Papua. Diakui oleh kalangan masyarakat asli di Tanah Papua, kehadiran aparat militer yang massif di Tanah Papua, justru menimbulkan persepsi di dunia luar bahwa Papua dalam kondisi tidak aman. Banyak dari kalangan masyarakat asli justru merasa trauma dengan tindakan represif aparat militer. Kehadiran aparat militer di tengah-tengah masyarakat asli Papua justru menimbulkan suasana yang mencekam. 

Kehadiran Militer di Tanah Papua menimbulkan kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik di rasakan dengan adanya aktivitas operasi militer yang dapat mengancam nyawa warga sipil. Kekerasan psikis terjadi dengan adanya suasana yang dianggap tidak aman di tengah-tengah kehadiran aparat militer bersenjata lengkap.

Merespons konflik dengan pendekatan konflik hanya akan memperbesar situasi konflik dan tidak menyelesaikan masalah. Gejolak sosial yang muncul lebih disebabkan oleh ketidakpuasan dalam tata kelola negara. Papua merupakan daerah yang kaya sumber daya alam namun tingkat kesejahteraan dan pendidikannya jauh tertinggal. 

Akar masalah yang dirasakan oleh rakyat di Tanah Papua, adalah permasalahan kronik terkait kesenjangan ekonomi dan sosial. Wilayah Tanah Papua pada hari ini masih dihadapkan pada persoalan regional yang sangat banyak. Pelaksanaan Otonomi Khusus yang dimaksudkan untuk meredam gejolak sosial, pada gilirannya tidak berhasil menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat asli di Tanah Papua. 

Pemerintah Pusat telah menciptakan dan memelihara monster paranoid dalam menghadapi gejolak sosial di Tanah Papua. Akibatnya benturan konflik “kekerasan bersenjata” selalu menjadi wajah dalam penyelesaian konflik yang menghadap-hadapkan masyarakat asli Papua dengan militer bersenjata lengkap.

Penggunaan kekerasan di Tanah Papua bukanlah menciptakan solusi, alih-alih menciptakan stabilitas dan kehidupan sosial yang damai, pendekatan militeristik justru semakin memperdalam relasi konflik yang terjadi.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tidak boleh berdiam diri, dan wajib turun tangan memecahkan setiap simpul-simpul kekerasan yang melibatkan militer di Tanah Papua. Pemerintah Pusat tidak membutuhkan kekuatan militer untuk menghadapi gejolak sosial di Tanah Papua. Karena objek persoalan bukanlah persoalan keamanan tetapi permasalahan kesejahteraan dan kesenjangan.
 
Pendekatan keamanan dan militeristik selama ini hanya berfokus pada pengamanan teritorial dan kepentingan simbolik militer. Dengan justifikasi keamanan negara, Militer tidak segan-segan menembak mati warga sipil dengan dalih di curigai sebagai anggota OPM.

Model pendekatan keamanan tersebut, tidaklah menyentuh hati masyarakat asli di Tanah Papua. Pendekatan keamanan selama ini mengabaikan  “human security“/ “keamanan manusia di Tanah Papua”, dan justru menciptakan teror terhadap kemanusiaan.

Setiap tindakan militeristik tidak pernah mendapatkan respek dan simpati dari masyarakat asli di Tanah Papua. Kekerasan yang di lakukan oleh aparat bersenjata lengkap hanya semakin menguatkan simpul-simpul kebencian terhadap militer dan kebencian masyarakat asli terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Musuh negara di Tanah Papua bukanlah rakyat yang hidup dengan noken, hidup dengan koteka, hidup dengan kondisi keterisolasian, namun musuh negara sebenarnya adalah setiap penjarahan harta kekayaan rakyat di Tanah Papua yang di ambil oleh kepentingan asing, namun negara tidak kuasa melawannya.

Kemerdekaan yang di proklamirkan pada 17 Agustus 1945, bukanlah kemerdekaan dengan mempersenjatai personel militer di seluruh wilayah Nusantara. Kemerdekaan yang dicapai adalah berkat dukungan seluruh rakyat Indonesia, dengan permufakatan terkait konsensus kebangsaan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat termasuk social justice bagi rakyat sipil di Tanah Papua. (SA)