Oleh : Willem Wandik
Gambar : Mi;iter di Papua/Sumber Semator Papua.com |
Kabar Mapegaa.com- Aksi kekerasan yang
melibatkan militer dan warga sipil di Tanah Papua tidaklah terjadi secara
kebetulan. Tidak dipungkiri bisnis keamanan menjadi mata rantai dari
setiap aksi kekerasan yang melibatkan militer di Tanah Papua. Keterlibatan
militer di Tanah Papua selama ini melibatkan kepentingan militer terhadap
birokrasi dan dunia usaha di Tanah Papua.
Sejumlah perusahaan asing di Tanah Papua dengan
terang-terangan menggunakan aparat militer sebagai personil yang melayani
kegiatan pengamanan, termasuk apa yang dilakukan oleh PT. Freeport. Penggunaan
aparat militer bersenjata lengkap dilakukan untuk men-service
sejumlah perusahaan asing, yang dananya tidak hanya dinikmati oleh personel
militer yang terlibat dalam pengamanan, namun juga dinikmati oleh para komandan
militer.
Kekerasan demi kekerasan dengan dalih keamanan
negara selalu menjadi potret utama sikap Pemerintah menghadapi gejolak
sosial masyarakat asli Papua. Cara-cara kekerasan telah menimbulkan
kebencian yang luar biasa terhadap militer. Kekerasan di Tanah Papua hadir
sebagai dampak dari pendekatan keamanan, dimana persoalan Papua selalu disikapi
dengan model keamanan dan ancaman.
Lingkaran kekerasan tidak akan pernah berhenti jika
Pemerintah Pusat masih melanggengkan pendekatan militeristik untuk merespon
gejolak sosial di Tanah Papua. Diakui oleh kalangan masyarakat asli
di Tanah Papua, kehadiran aparat militer yang massif di Tanah Papua,
justru menimbulkan persepsi di dunia luar bahwa Papua dalam kondisi tidak
aman. Banyak dari kalangan masyarakat asli justru merasa trauma dengan tindakan
represif aparat militer. Kehadiran aparat militer di tengah-tengah masyarakat
asli Papua justru menimbulkan suasana yang mencekam.
Kehadiran Militer di Tanah Papua menimbulkan
kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik di rasakan dengan adanya aktivitas
operasi militer yang dapat mengancam nyawa warga sipil. Kekerasan psikis
terjadi dengan adanya suasana yang dianggap tidak aman di tengah-tengah
kehadiran aparat militer bersenjata lengkap.
Merespons konflik dengan pendekatan konflik
hanya akan memperbesar situasi konflik dan tidak menyelesaikan masalah. Gejolak
sosial yang muncul lebih disebabkan oleh ketidakpuasan dalam tata
kelola negara. Papua merupakan daerah yang kaya sumber daya alam namun
tingkat kesejahteraan dan pendidikannya jauh tertinggal.
Akar masalah yang dirasakan oleh rakyat di Tanah
Papua, adalah permasalahan kronik terkait kesenjangan ekonomi dan sosial.
Wilayah Tanah Papua pada hari ini masih dihadapkan pada persoalan regional yang
sangat banyak. Pelaksanaan Otonomi Khusus yang dimaksudkan untuk meredam
gejolak sosial, pada gilirannya tidak berhasil menghadirkan kesejahteraan
dan keadilan bagi masyarakat asli di Tanah Papua.
Pemerintah Pusat telah menciptakan dan memelihara
monster paranoid dalam menghadapi gejolak sosial di Tanah Papua. Akibatnya
benturan konflik “kekerasan bersenjata” selalu menjadi wajah dalam penyelesaian
konflik yang menghadap-hadapkan masyarakat asli Papua dengan
militer bersenjata lengkap.
Penggunaan kekerasan di Tanah Papua bukanlah
menciptakan solusi, alih-alih menciptakan stabilitas dan kehidupan sosial
yang damai, pendekatan militeristik justru semakin memperdalam relasi konflik
yang terjadi.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tidak
boleh berdiam diri, dan wajib turun tangan memecahkan setiap
simpul-simpul kekerasan yang melibatkan militer di Tanah
Papua. Pemerintah Pusat tidak membutuhkan kekuatan militer untuk
menghadapi gejolak sosial di Tanah Papua. Karena objek persoalan bukanlah
persoalan keamanan tetapi permasalahan kesejahteraan dan kesenjangan.
Pendekatan keamanan dan militeristik selama ini
hanya berfokus pada pengamanan teritorial dan kepentingan simbolik
militer. Dengan justifikasi keamanan negara, Militer tidak segan-segan
menembak mati warga sipil dengan dalih di curigai sebagai anggota OPM.
Model pendekatan keamanan tersebut, tidaklah
menyentuh hati masyarakat asli di Tanah Papua. Pendekatan keamanan selama ini
mengabaikan “human security“/ “keamanan manusia di Tanah Papua”,
dan justru menciptakan teror terhadap kemanusiaan.
Setiap tindakan militeristik tidak pernah
mendapatkan respek dan simpati dari masyarakat asli di Tanah Papua. Kekerasan
yang di lakukan oleh aparat bersenjata lengkap hanya semakin menguatkan
simpul-simpul kebencian terhadap militer dan kebencian masyarakat asli terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Musuh negara di Tanah Papua bukanlah rakyat yang
hidup dengan noken, hidup dengan koteka, hidup dengan kondisi
keterisolasian, namun musuh negara sebenarnya adalah setiap penjarahan harta
kekayaan rakyat di Tanah Papua yang di ambil oleh kepentingan asing, namun
negara tidak kuasa melawannya.
Kemerdekaan yang di proklamirkan pada 17 Agustus
1945, bukanlah kemerdekaan dengan mempersenjatai personel militer di seluruh
wilayah Nusantara. Kemerdekaan yang dicapai adalah berkat dukungan seluruh
rakyat Indonesia, dengan permufakatan terkait konsensus
kebangsaan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat termasuk social
justice bagi rakyat sipil di Tanah Papua. (SA)
Sumber : www.kabarmapegaa.com