Tujuh (7) Wilayah Adat di tanah Papua. Foto: Ist. |
Budaya Semakin Dilupakan
Mikael Tekege, mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD "APMD") Yogyakarta, yang memimpin diskusi kali ini mengajak peserta untuk kembali melihat kekayaan budaya, baik dalam bentuk tarian, bahasa, lagu, perkakas, juga yang lebih penting, pandangan dan falsafah hidup.
Salah satu peserta diskusi, Hery Tebay, mengatakan, tidak ada kontrol diri dan penyaringan oleh orang Papua atas budaya luar yang masuk ke Papua, sehingga semua budaya luar, entah itu sesuai dan baik bagi orang Papua, atau yang tidak, diterima orang Papua. Inilah yang menjadi persoalan menurutnya.
"Pendirian kita sekarang itu tidak kuat seperti saman dulu. Dulu itu, sesuatu yang baru akan diterima setelah dipertimbangkan secara matang, untung dan ruginya. Sekarang itu tidak. Pendirian kita kidak sekokoh dulu," kata Hery, mahasiswa Ilmu Ekonomi jurusan Manajemen di Sanata Dharma ini.
Sementara Mikael Tekege, yang juga adalah ketua FKPMKP Yogyakarta saat ini, mengatakan, semua itu karena falsafah adat ditinggalkan.
"Misalnya, kalau manusia Mee itu punya Dou, Gai, Ekowai (Melihat, Berpikir, dan Bertindak). Kita tidak lihat secara jernih, kita tidak berpikir memilah dan memilih mana yang baik dari kebudayaan luar yang masuk, makanya kita terperangkap kebudayaan luar yang kurang baik," urainya.
Tatanan Hidup Orang Papua Hancur
"Dahulu, di Pegunungan Bintang, kehidupan leluhur kami aman," kata Frans Kasipmabin, mahasiswa di Sanata Dharma, juga mantan ketua FKPMKP ini mengawali uraiannya.
"Di tanah saya, itu satu yang saya lihat, itu etos kerja sudah tidak ada lagi. Kebun rumput tinggi. Rakyat tinggal harap uang dari pusat, beras, uang dari pejabat yang keluarga mereka, itu saja. Padahal, adat sudah bilang, manusia kerja dulu baru dapat makan," kata Frans lagi.
Budaya luar datang, awalnya adalah ketika para misionaris, penyebar agama, bersentuhan langsung dengan orang Papua. Mereka datang, kemudian mulai menggoyah sistem kepercayaan, dan sedikit tatanan adat dan kehidupan orang asli Papua.
Mereka, bangsa Barat datang ke Papua di bawah misi 3 G: Gold (Emas, kekayaan), Gospel (Penyebaran agama Kristen), dan Glory (Kemuliaan, kejayaan). Jadi, ketika Agama sudah diterima, maka misi untuk kejayaan dan kekayaan masuk. Maka, terjadilah eksploitasi, pengerukan kekayaan alam, dan dalam satu sisi, semua yang datang dari luar menganggap kebudayaan, tatanan hidup orang Papua saat itu rendah martabat dan derajatnya.
"Dulu, rasa memiliki tanah, alam, dan sifat melindungi alam sebagai mama itu ada. Sekarang tidak ada lagi," kata Yakobus Dogomo, mahasiswa Ilmu Komunikasi di STPMD "APMD."
"Juga rasa kekeluargaan, sifat sosial, saling membantu, melengkapi, sekarang sudah tidak ada. Individualis yang semakin tinggi. Ini bahaya. Padahal, ajaran adat sudah denga jelas mengatakan, hidup harus saling berbagi dan melengkapi. Agama juga bicara yang sama," kata Yakobus lagi.
Dalam hal umur hidup orang Papua misalnya. Menurut Mikael Kudiai, mahasiswa jurusan Ilmu Sosiologi pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), umur orang Papua zaman dahulu, yang notabene mengonsumsi makanan dan minunan asli tanpa ada bahan pengawet, umurnya relatif lebih lama dari orang Papua zaman ini, yang hanya berkisar 60-80 tahun.
Banyak Budaya Tidak Baik Sudah Masuk ke Papua
Diakui peserta diskusi, bahwa banyak kebudayaan luar yang negatif, telah masuk ke Papua. Togel misalnya, dengan hanya menebak angka, seseorang dijanjikan uang yang banyak, bila tebakannya benar.
"Ini sudah jelas bertentangan dengan budaya orang Papua pada umumnya, khususnya orang Mee yang mengatakan, kerja dulu, baru dapat makan," kata Mikael menanggapi paparan Frans Kasipmabin tentang perkembangan terkini di Pegunungan Bintang.
Sementara Budaya Minuman Keras, juga bukan budaya orang Papua, kini telah menjadi seakan-akan budaya orang Papua.
Beberapa yang telah membudaya adalah, budaya minta-minta, budaya malas kerja, individualisme, dan ketergantungan. Sementara budaya solidaritas, budaya kasih, semua mulai punah.
Akulturasi Budaya
Andreas Yeimo, mahasiswa Ilmu Ekonomi Jurusan Manajemen di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) mengatakan, sesuai dengan teori Sosiologi, orang Papua dengan kebudayaannya dahulu, ketika berbenturan dengan kebudayaan baru yang datang, akan menghasilkan sebuah kebudayaan baru, yang merupakan gabungan dari dua kebudayaan itu. Itulah yang dinamakan Akulturasi Budaya.
Menurut Andreas, yang mesti dibuat orang Papua saat ini adalah, bagaimana memperkuat penyaringan, agar semua kebudayaan luar disaring. Yang baik, kita terima, yang tidak, kita buang.
"Kita tetap pertahankan budaya kita yang asli, tetapi tetap terima yang baik dari luar," kata Andreas.
Perlu Ada Sekolah Rakyat
"Perlu ada sekolah rakyat, dimana sekoah rakyat ini menjadi media akulturasi budaya, dimana kebudayaan asli Orang Papua dipelajari kembali, dan dilengkapi oleh kebudayaan luar yang baik. Sekolah rakyat juga menjadi tempat menyaring kebudayaan luar yang masuk."
Itulah solusi akhir diskusi FKPMKP tentang budaya ini. Bahwa melalui sekolah rakyat, disana, sejak usia dini, ditanamkan identitas sesungguhnya pada setiap manusia Papua di seluruh suku bangsa yang ada, agar sejak dini, anak Papua menyadari siapa dirinya, dan tetap menjadi anak Papua yang sungguh Papua.
Namun, Mikael Tekege, pemimpin diskusi menutup diskusi ini denganmengatakan, solusi, membangun Sekolah Rakyat di Papua juga butuh banyak hal. Sokongan dana, siapa yang bergerak, bagaimana kurikulumnya, dan beberapa hal lainnya.
"Juga, untuk saat ini, kita mahasiswa hanya bisa melahirkan ide. Kita belum cukup untuk bertindak. Nanti, bila sudah cukup waktu, kita bertindak sesuai dengan yang kita bicara saat ini atau tidak, ini juga pertanyaan renungan buat kita semua," tutur Mikael.
"Diskusi ini mantap, walau tidak hasilkan kesimpulan pas. Ini kita sudah buka wacana. Ke depan kita akan diskusi lagi. Yang penting, kemauan kita untuk pelan-pelan membangun Papua, itu saja," kata Mikael Tekege menutup.(MS/Topilus B. Tebai)