Ilustrasi Freeport dari kacamata Minoritas (Foto: Ist) |
“Menjadi suatu yang fair kalau mereka mengharapkan perpanjangan karena smelter-nya dibangun,” kata Sudirman, di Jakarta, Minggu (25/1/2015) dikutip dari kompas.com.
Dia mengatakan, jika izin operasi Freeport tidak diperpanjang, smelter yang rencananya akan dibangun di lahan milik PT Petrokimia Gresik terancam tidak mendapat pasokan bahan baku. (Baca: Menggagas Wilayah Pertambangan Rakyat di Areal PT FI)
Sudirman mengatakan, suplai bahan baku akan dipasok dari tambang bawah tanah yang saat ini juga sudah disiapkan oleh Freeport.
Sejak empat tahun lalu, perusahaan tambang raksasa berbasis Amerika Serikat itu melakukan eksplorasi tambah bawah tanah dengan total investasi mencapai 15 miliar dollar AS.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, R Sukhyar mengatakan, cadangan mineral di tambang Grassberg akan habis pada 2017. (Baca: Enembe: Freeport Tidak Serius Menangani Masalah di Papua)
“Cadangan mineral terbesar memang ada di bawah itu. Kalau tidak ada underground mining, maka tidak akan ada pasokan (ke smelter). Ini dua hal paralel yang dilakukan,” ucap Sukhyar.
Chairman Freeport McMoran, Jim Bob Moffett, mengklaim, investasi smelter di lahan PT Petrokimia Gresik yang bakal menghasilkan 2 juta ton konsentrat adalah investasi terbesar untuk fasilitas pemurnian bijih mineral. Adapun investasi yang dikeluarkan Freeport sebesar 2,3 miliar dollar AS.
Sementara itu, Deklarator Asosiasi Pertambangan Rakyat di Tanah Papua (ASPRATAPA) dan Ketua Dewan Adat Paniai, John NR Gobai mengatakan, aturan yang dibuat pemerintah seharusnya Papua melayani orang Papua, bukan investor yang datang mengambil kekayaan orang Papua secara cuma-cuma.
“Peraturan perundang-undangan dibuat pemerintah adalah untuk melindungi dan melayani rakyat Papua. UU Otsus ada untuk pemerintah provinsi Papua dan Pemkab di Papua melayani orang Papua, bukan investor yang datang mengambil kekayaan orang Papua secara cuma-cuma,” ungkap Gobai dalam tulisannya yang kirim ke suarapapua.com, Minggu (25/1/2015).
Gobai juga mengatakan, pertambangan harus menjadi berkat bagi orang Papua, bukan investor. Pertambangan di Papua haruslah dikerjakan mayoritas oleh orang Papua, agar mereka mandiri sejahtera untuk memasuki peradaban baru. (Baca: Mantan Wakil Kepala BIN Jadi Bos Baru Freeport Indonesia)
"Keputusan MKRI telah jelas memberikan prioritas kepada WPR terkait pasal 52, UU Nomor 4 tahun 2009 dan standar paling lambat 15 tahun telah dikerjakan sebagai penambangan rakyat telah ditolak karena tidak mempunyai alasan yang jelas terkait pasal 22 UU Nomor 4 Tahun 2009,” ujar Gobai.
Gobai juga menambahkan, Pemerintah Provinsi Papua, berdasarkan Perdasi 14 Tahun 2008 tentang Pertambangan Rakyat, mestinya dapat berkoordinasi dengan PTFI, agar PTFI melepaskan lahan tertentu kepada masyarakat serta dilakukan pemetaan dan pematokan oleh Dinas Pertambangan Papua agar dapat ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
“Pemda Mimika mesti membuat Perda tentang Pertambangan Rakyat di Mimika, mengeluarkan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) dan memberikan pembinaan serta pengawasannya,” saran Gobai di akhir tulisannya.
“IPR dikeluarkan atas nama pemilik hak ulayat agar mereka mempunyai posisi tawar dengan pemodal dan mereka menjadi tuan di kampungnya atas kekayaannya,” tegas Gobai.
Editor: Oktovianus Pogau
MIKAEL KUDIAI
Sumber : www.suarapapua.com