KEKUASAN INDONESIA DI PAPUA ILEGAL
IST |
Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat, sangat berbeda dalam perjuagan masa laluTidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia saat ini.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).
Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat membutikan bahwa, dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami di Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:
Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua).
Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Perjuagan Papua Baratmembuktikan bahwa, Indonesia masa perjuangan sampai dengan proklamasi kemerdekan wilayah teritorial atau batas negara Indonesia (Sabang sampai diAmboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).[i] Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quowilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.[1]Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.
Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.
Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
Sejarah Perjuangan Papua Barat, Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Baat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:
MANIVETO POLITIK PAPUA BARAT
1. Menetukan nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi sOetelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de juresebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia oleh Soekarno Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah:
1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.
3. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.
Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya sejarah tertulis.
Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.
Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
1. Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore.
Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore.
2. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).
Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).
Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplohk Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda. Oleh karena itu kekuasan indonesia di papua barat harus diakhiri, sebab indonesia tidak ada dasar hukum mengusai wilayah papua barat, Keberadan Indonesia di papua Ilegal.
Utuk itu kepada Generasi Mudah Papua bahwa jangan pernah terlena degan uang banyak dan gula-gula manis NKRI saat ini di papua, terus berjuang untuk mengusir Penjajahan klonialisme NKKRi di Papua.
1. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
1. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York)[i] antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:
1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatangananNew York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
2. Papua Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Proklamasi 1 Juli 1971
Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) lewat perjuangan diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai[vi] sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL, dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.
Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
(Brigadir-Jenderal)
b. Imajinasi Negara Melanesia Barat
Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.
c. Gelombang Pengungsian dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Papua Barat, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua New Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Pembunuhan ini berawal dari sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sebelum “ditawar” untuk melarikan diri, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri.
Arnol dibunuh karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. Selain itu, Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik Manbesak yang dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk merdeka lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
\
Akibat kemelut politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea. Sebanyak 11.000 orang Papua dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp pengungsi Wabo dan Yako yang lebih dikenal dengan nama Black Water dan Black Wara, dimana para pengungsi tersebut diurus oleh perwakilan UNHCR (United Nations High Commision for Refugees) di Vanimo.
d. Proklamasi Melanesia Barat
Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun 1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya. Kematiannya dicurigai karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan diri ke luar negeri.
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi Tom Wanggai punya appealyang besar terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain empat peristiwa politik yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya.
Sementara secara gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat.
Sebagai balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International yang mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua Barat yang berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State Apparatus and a Current Needs Assessment of the Papua People”
1. Kebangkitan Nasional Papua Barat (Era Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya “raja”[i] Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi di Indonesia. hal itu terjadi sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua Barat untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut ini beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan berdaulat, yaitu:[ii]
1. Demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi tersebut menuntut pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Papua Barat.
2. Surat Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status politik kedua daerah”.
3. Aksi Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan rakyat Papua Barat menuju Papua Baru yang merdeka dan berdaulat semakin nyata dari sejumlah aksi-aksi politik yang berkisar pada pengibaran Bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi pengibaran Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a. Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli 1998
b. Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c. Pengibaran Bendera Papua di di Sorong, tanggal 2 -3 Juli 1998
d. Pengibaran Bendera Papua di Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e. Pengibaran Bendera Papua di Manokwari, tanggal 2 Oktober 1998
f. Aski pengibaran Bendera Papua juga terjadi di beberapa kota di Papua seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Merauke.
g. Demonstrasi mahasiswa Papua dibawah komando Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi demosntrasi mahasiswa di Bali dan Sulawesi.
4. Pendirian FORERI
Dengan melihat perkembangan aspirasi dan perjuangan “Papua Barat Merdeka”, maka tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham Kotaraja Jayapura. Forum ini dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat atau kemungkinan solusi lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat, terutama dalam masalah kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah Indonesia, masalah pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik dan beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya.
5. Tim Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta. Pada tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu dengan para pendiri FORERI di hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua, kemudian Theys Hiyo Eluay mengusulkan untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog Internasional mengenai masalah Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai memaparkan penderitaan rakyat Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan kemerdekaan Papua Barat.
6. Deklarasi 1 Agustus 188
Dalam usaha untuk mengakomodir semua gerakan kebangkitan Papua Barat yang semakin marak di Papua Barat, maka Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th. Raweyai menggelar pertemuan di Gedung BPD Jayapura. Pertemuan ini diawali dengan dengan doa kemudian dilanjutkan dengan penyampaian aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam pertemuan tersebut. Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan ini adalah:
a. Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat ingin “Papua Merdeka”.
b. Diusulkan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua.
c. Perlu dilakukan Dialog Nasional antara rakyat Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d. Theys Hiyo Eluay mengundurkan diri dari segala aktivitas politik dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut “Merah Putih” yang disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai “Pemimpin Gerakan Papua Merdeka” ke depan.
7. Tim Seratus (T-100)
Dalam pertemuan Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, seratus orang perwakilan rakyat Papua Barat dengan tegas menyampaikan keinginannya untuk merdeka sebagai negara berdaulat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari isi pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a. Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membentuk negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri sejajajar dengan bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah dapat dibangun tanah dan bangsa Papua.
b. Segera dibentuk pemerintahan peralihan dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan Maret 1999.
c. Sebagai tindak lanjut politis adalah segera diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d. Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam Pemilihan Umum 1999.
8. Musyawarah Besar Papua 2000
Pada tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani, Jayapura. Mubes ini dilakukan sebagai sebuah langkah strategis untuk mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua, Mubes juga mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda penting sebagai pilar-pilar (tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda itu antara lain tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan Konsolidasi Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini adalah membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9. Kongres Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang, selain itu dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat yang tidak diundang. 3000 peserta resmi itu terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
a. Presidium Dewan Papua 31 orang.
b. Panel Dewan Papua 400 orang.
c. Utusan Langsung Masyarakat Papua 1800 orang
d. Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e. Pengamat 50 orang
f. Peninjau Khusus 30 orang
g. Pers-Jurnalis 100 orang
h. Undangan Khusus 100 orang.
Kongres ini telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dalam empat bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial (Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan), Bidang Budaya, dan Bidang Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula melahirkan sebuah Resolusi Kongres Papua 2000[iii]yang menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di duniai: “mengakui kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak New York Agreement 1962, menolak hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM, mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa Papua.”
Selanjutnya dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua untuk melaksanakan beberapa hal, seperti: “memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua Barat, memperjuangkan pelaksanaan Referendum, mengadakan usaha dana perjuangan, Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan kepada Presidium Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil perjuangan pada 1 Desember 2000.
Inti dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah: Papua Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
WEST PAPUA DAN Penyelesaian Sengketa International
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.Penyelesaian sengketa secara damai dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam PBB yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikansengketa,diantaranya :
a. Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
1. Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukumdan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan Pengadilan. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secaradiplomatik.
2. Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
3. Masalah yang dapat diambil ke ICJ ( Mahkamah International ) adalah suatu masalah hukum international.
4. Kasus PEPERA 1969 dapat dikatakan sebagai masalah International dan merupakan suatu masalah hukum international. Karena pelaksanaan PEPERA 1969 itu tercantum dalam Perjanjian New York 1962, dan ini merupakan suatu hukum international.
5. Kasus PEPERA 1969 pada Perjanjian New York 1962 dapat diajukan ke Mahkamah International, untuk selanjutkan Mahkamah International akan menguji kebenaran pelaksanaan perjanjian tersebut.
6. Yang dapat mengajukan suatu Perkara ke Mahkamah International adalah Negara, untuk itu jika kasus PEPERA 1969 masuk ke Mahkamah International, maka harus didukung oleh salah satu negara.
Status politik Papua Barat dalam NKRI adalah masalah utama bangsa Papua Barat. Statusnya, belum final.
Trus, Bagaimana menyelesaikannya?
Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan secara internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa. Tapi, setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan tidak dengan
paksa. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasajasa baik, mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian dibawah naungan PBB. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional).
Mahkama Internasional
Mahkama Internasional, International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Ia berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanganpertimbangan hukum Internasional. Jadi, kalau masalah Papua Barat mau selesai, maka orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang sedang bertikai. Jangan diam, bergerak dan beraksi.
Ketika Mahkamah Internasional mau bicara, orang Papua Barat butuh Pengacara Internasional. Maka, saat ini kita punya Internasional Lawyers for West Papu ILWP. Ingat, ILWP adalah pengacara Papua Barat. Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional.
IPWP (Internasional Parliamentarians for West Papua) atau ParkumpulanParlemen-Parlemen untuk Papua Barat. IPWP diluncurkan di London 15Oktober 2008. Anggota IPWP kini mencapai 68 orang. Dan, Internasional Lawyers for
West Papua (ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua Barat. ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional. Anggota ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang selanjutnya
mendorong ke Majelis Umum PBB. Resolusi PBB Ada dua kemungkinan resolusi PBB. Pertama, pengakuan Kemerdekaan Papua Barat.
Pengakuan bagi kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama Internasional bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541. Kedua, Referendum.
Majelis Umum dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat karena Pepera 1969
yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak kuat hukum.
Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan secara internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa. Tapi, setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan tidak dengan
paksa. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasajasa baik, mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian dibawah naungan PBB. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional).
Mahkama Internasional, International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Ia berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanganpertimbangan hukum Internasional. Jadi, kalau masalah Papua Barat mau selesai, maka orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang sedang bertikai. Jangan diam, bergerak dan beraksi.
Ketika Mahkamah Internasional mau bicara, orang Papua Barat butuh Pengacara Internasional. Maka, saat ini kita punya Internasional Lawyers for West Papu ILWP. Ingat, ILWP adalah pengacara Papua Barat. Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional.
Mahkama Internasional
ILWP : International Lawyers For West Papua
ILWP adalah sebuah lembaga Pengacara yang didalamnya tergabung pengacara-pengacara International yang memainkan peran advokasi hukum atau sebagai pengacara untuk dapat menyiapkan draft-draft gugatan hukum tentang Pelaksanaan PEPERA 1969 ke ICJ atau lembaga Mahkamah International. Draft-draft hukum yang dibuat oleh ILWP ini akan dipakai oleh negara yang mendukung West Papua untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah International.
ILWP melaksanakan tugas sebagai advokasi dan bantuan hukum untuk menyukseskan “ Agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat, dengan cara sebagai pengacara dalam gugatan masalah Papua ke Pengadilan International Memperjuangkan keinginan masyarakat West Papua yang mempunyai hak fundamental untuk menentukan nasib sendiri dibawah hukum international
Mempunyai komitmen untuk membantu masyarakat West Papua untuk dapat mengunakan hak kebebasan kemerdekaan secara damai dalam penentuan nasib sendiri
Mempunyai komitmen untuk memperkuat hak kemerdekaan fundamental orang West Papua dibawah hukum international.
Mendesak Masyarakat International dan PBB menjunjung tinggi hukum dan aturan international.
IPWP : International Parlementatians For West Papua
IPWP (Internasional Parliamentarians for West Papua) atau Parkumpulan Parlemen-Parlemen untuk Papua Barat. IPWP diluncurkan di London 15 Oktober 2008. Anggota IPWP kini mencapai 68 orang.
IPWP adalah sebuah lembaga international yang didalamnya terdapat sejumlah anggota parlement negara –negara yang memainkan peran politik guna mendesak sejumlah negara untuk mendukung Hak penentuan Nasib Sendiri bangsa Papua Barat di PBB
IPWP memperjuangkan “ Agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat, dengan cara melobby sejumlah negara-negara untuk dapat mendukung Agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat ke PBB. Dan terus mengkapanyekan keabsaan PBB terhadap Pelaksanaan New York Agreement 1962 tentang Pelaksanaan PEPERA 1969
Memperjuangkan hak orang West Papua yang tidak dapat dicabut untuk menentukan nasib sendiri yang telah dilanggar oleh PEPERA 1969
Melobby pemerintah dan PBB untuk dapat membawah West Papua untuk dapat melaksanakan hak kebebasaan kemerdekaannya. Sehingga Orang West Papua dapat melaksanakan demokrasinya untuk menentukan masa depan mereka sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia, prinsip-prinsip hukum Dan, Internasional Lawyers for
West Papua (ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua Barat. ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional. Anggota ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang selanjutnya
mendorong ke Majelis Umum PBB. Resolusi PBB Ada dua kemungkinan resolusi PBB. Pertama, pengakuan Kemerdekaan Papua Barat.
Pengakuan bagi kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama Internasional bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541. Kedua, Referendum.
Majelis Umum dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat karena Pepera 1969
yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak kuat hukum.
International Parliamentarians for West Papua [IPWP]
MSG dan PIF Kawasan Pasific
Selain dua lembaga internasional bagi bangsa Papua Barat itu, tahapan politik yang sudah dan terus dilakukan
yaitu melalui loby politik di kawasan pasifik, seperti: MSG (Melanesian Spearhead Groups) dan PIF (Pasific Islands Forum). MSG adalah sebuah group antar Negara-negara Melanesia. Dalam pertemuan itu Negara-negara Melanesia membicarakan isu-isu penting serta kesepakatan kerja antar Negara -negara Melanesia ini. PIF (Pasific Islands Forum) atau Forum Pulaupulau (negara-negara) pasifik adalah sebuah forum Negara-negara di wilayah pasifik.
Melalui jalur politik kita membuhtukan dukugan penuh dari Negara-negara Melanesia serumpun membawa masalah papua barat di tingkat internasional, Negara –negara melanesia sekitar 16 negara yang tergabung dalam MSG dan FIM untuk mempersoalkan status wilayah papua barat dalam sidang majelis Umum PBB melalui Komisi 24 yang memiliki hak suara penuh adalah PNG. Untuk itu kita menempu jalur plitik membawa masalah papua di mayelis umum PBB maka ada sebuah Negara melanesia yang membawa masalah dan dipersoalkan di majelis umum PBB.
INTERVENSI NEGARA ASING
PERTAMA, Tiap Negara ada kode etik internasional untuk menghargai dan menghormati integritas dan kedaulatan Negara lain. Negara tidak mendukung secara langsung tetapi mendukung penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya melibatkan pihak Internasional, lembaga internasional seperti PBB. Negara anggota PBB berhak mempersoalkan konflik Papua Barat dengan memaksa PBB mereview proses memasukan Papua Barat ke dalam Indonesia.
KEDUA, Intervensi suatu Negara kalau di Papua sangat darurat, yaitu kondisi yang memaksa pihak-pihak internasional intervensi demi penegakan prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional. Hal ini pun terjadi atas restu PBB, karena Indonesia adalah anggota PBB.
KETIGA, Komisi Dekolonisasi PBB masih melakukan tugas sesuai resolusi 1514 untuk memerdekakan wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan atau masih dijajah. Ada sekitar 16 wilayah yang menjadi tugas komisi ini. Komisi ini diketuai oleh Marty Natalegawa yang kini menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia.
Sepertinya tidak strategis bila kasus Papua Barat dibawa lewat komisi ini.
KEEMPAT, orang Papua Barat sebagai warga pribumi Papua Barat berhak untuk menentukan nasip mereka sendiri. Hal ini didukung oleh deklarasi Komisi Indigenous People di PBB, di mana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani dan meratifikainya.
KELIMA, Proses internasionalisasi persoalan status politik Papua Barat akan semakin menuju pada target seperti yang tergambar di atas bila status politik Papua Barat terus menjadi masalah yang dipertentangkan di Papua Barat melalui aksi-aksi dengan metode apa pun. Artinya, Papua Barat harus dalam kondisi yang emergency (darurat) agar menjadi perhatian internasional, serta mendorongnya ke tahapan penyelesaian.
KENAM, Indonesia dan Amerika Serikat yang masing-masing sedang menindas dan mengeksploitasi wilayah Papua Barat akan terus mengaburkan (menghilangkan) isu perjuangan bangsa Papua yang sedang dilakukan atas kebenaran sejarah ini. Mereka cap kita teroris, separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk tutupi kejahatan.
******************FREE WEST PAPUA *********************************