Areki Wanimbo (kanan) bersama istrinya Tena Wakerkwa (Kiri) di penjara Wamena (Foto: Ist) |
*Oleh: Elisa Sekenyap dan Asrida Elisabeth
KETIKA dua wartawan Perancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourat, ditangkap polisi di Wamena pada 6 Agustus 2014, ada empat orang Papua, termasuk Akilo Logo penerjemah si wartawan, juga ditangkap. Tiga dari empat orang tersebut dibebaskan. Dandois dan Bourrat juga dibebaskan pada 2 November 2014 sesudah jalani hukuman 2,5 bulan penjara karena memakai visa turis buat kerja jurnalistik. Hanya satu masih ditahan polisi: Areki Wanimbo.
Areki Wanimbo adalah kepala suku besar dari Lanny Jaya, pernah menjadi guru SD di Nduga dan saat ini menjabat sebagai sekretaris Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili (YPPGI) di Nduga. Ia dijerat pasal KUHP makar 106 dan konspirasi 110.
Ceritanya, Dandois dan Bourat ingin meliput di Pirime, Lanny Jaya, dimana terjadi kontak senjata antara Enden Wanimbo dari Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) dengan polisi Indonesia. Mereka datang ke rumah Areki Wanimbo, buat minta nasehat soal pergi ke Pirime. Wanimbo tak menganjurkan kedua wartawan itu pergi. Alasannya, situasi tidak aman.
Enden Wanimbo mantan kepala sebuah sekolah menengah di Tiom, Lanny Jaya. Dia dulu ikut memperjuangkan agar Lanny Jaya berpisah dari Kabupaten Jayawijaya. Harapannya, dia bisa jadi kepala dinas pendidikan. Usaha tersebut berhasil pada 2008 ketika Dewan Perwakilan Rakyat setuju pembentukan Lanny Jaya. Namun Enden kecewa karena dia tak dijadikan kepala dinas. Enden masuk hutan dan gabung dengan Puron Wenda dari TPN-OPM.
Pada 28 Juli 2014, pihak Enden Wanimbo menghubungi polisi yang biasa jual amunisi –sesuatu yang sering terjadi di Papua– dan sepakat bertemu di kampung Indawa, Lanny Jaya, buat jualan. Ketika bertemu di Indawa, Enden lewat teropong curiga ada mobil lain datang ke arah transaksi. Dia curiga hendak disergap. Mereka langsung menembak polisi-polisi yang hendak jual amunisi, menurut Enden. Dua anggota polisi tewas dan enam lainnya luka-luka.
Tak lama berselang, polisi dan tentara bikin operasi buat menangkap Enden Wanimbo. Ini bikin ketakutan di beberapa kampung sesudah beberapa honai dibakar. Laporan gereja mengatakan, ratusan warga mengungsi ke Tiom dan Wamena hingga awal Agustus. Dandois dan Bourrat hendak meliput peristiwa ini. Namun di Wamena, polisi menangkap dua wartawan tersebut sesudah berkunjung ke rumah Areki Wanimbo. Polisi mengatakan mereka dicurigai menjual amunisi kepada Enden Wanimbo.
Wanimbo adalah nama marga yang besar di Pegunungan Tengah. Ada banyak orang pakai marga Wanimbo. Areki Wanimbo tak punya hubungan darah dengan Enden Wanimbo. Areki dicurigai menyembunyikan bahan peledak.
Namun dalam surat perintah penahanan, 7 Agustus 2014, pasal yang dikenakan hanya tindak pidana keimigrasian. Ini janggal karena Areki Wanimbo tak kenal dengan kedua wartawan Perancis tersebut sebelum mereka datang ke rumahnya di Wamena pada 6 Agustus. Ia baru dikenakan pasal makar ketika diperiksa di Polda Papua pada 19 Agustus 2014.
Merasa diperlakukan tak adil, Areki Wanimbo mengajukan gugatan pra peradilan kepada Kapolri, Kapolda Papua, dan Kapolres Jayawijaya. Sidang putusan berlangsung pada 17 September 2014 di Pengadilan Negeri Wamena dengan hakim tunggal Behinds Jefri Tulak.
Areki Wanimbo didampingi kuasa hukum dari Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar. Sehari sebelum putusan, Anum mendapat serangan saat akan kembali ke hotel tempatnya menginap di Wamena. Tangan kirinya ditikam, tas berisi dokumen dirampas. Hingga kini polisi belum menemukan pelaku penyerangan.
Pengadilan berlangsung sangat diskriminatif. Hakim Behinds Jefri Tulak hanya dengar kesaksian dari polisi serta tak menghadirkan saksi prinsipal. Tidaklah aneh jika kemudian Tulak menolak gugatan pra-peradilan Areki Wanimbo. Masyarakat sipil di Wamena melaporkan hakim Tulak ke Komisi Yudisial karena dianggap tak memberi rasa keadilan.
Pada 4 Desember 2014, Areki Wanimbo dipindahkan dari tahanan Polda Papua di Jayapura ke penjara Wamena. Dalam proses menunggu sidang dirinya di Pengadilan Negeri Wamena, kami melakukan wawancara singkat dengannya. Berikut petikannya:
Bagaimana Bapa bisa ditangkap?
Tanggal 6 Agustus 2014, saya ditangkap bersama dua wartawan asing yang menemui saya di rumah. Mereka datang tanpa konfirmasi. Saya tak tahu tujuan kedatangan mereka. Saya juga tak tahu kapan mereka tiba di Wamena, dimana penginapan, dan dari mana mereka datang.
Mereka tanya siapa saya. Saya jawab Kepala Suku Adat Lanny dan Nduga. Saya biasa selesaikan masalah besar di Pegunungan Tengah. Mereka minta saya izinkan mereka ke Pirime, Lanny Jaya. Situasi di sana sedang tidak baik, maka saya tidak izinkan mereka pergi. Sekitar 30 menit mereka bicara di rumah saya.
Selesai bicara, mereka pulang dan akhirnya ditangkap polisi. Selang satu jam kemudian, saya ditangkap di rumah. Ada tujuh mobil sudah parkir di jalan dan satu mobil masuk ke halaman rumah.
Polisi-polisi itu masuk ke dalam pakai topi tudung, moncong senjata diarahkan ke saya, siap mau tembak, begitu. Ada enam polisi masuk ke rumah, sisanya jaga di luar. Kejadiannya jam 1 siang.
Mereka tanya saya, ‘Kau punya nama siapa? Kau Areki?’
Saya jawab, ‘Siap, saya Areki.”
Lalu mereka masuk ke rumah dan memeriksa seluruh isi rumah. Mereka ancam anak-anak di dalam rumah tidak boleh lari, semuanya disuruh duduk di halaman.
Mereka periksa semua kamar dan barang-barang. Naik plafon rumah, periksa WC, juga kolam ikan. Ikan-ikan sampai mati karena airnya dikuras semua.
Setelah itu mereka bawa saya ke Polres Jayawijaya. Mereka tanya banyak hal. Kapolres Jayawijaya (Adolf Rudi Beay) juga tanya-tanya saya. Padahal sebelumnya mereka bilang mau tanya saya sedikit saja di kantor polisi, setelah itu dipulangkan.
Saat di Polres, penyidik pertama yang periksa saya, tanya seluk beluk saya. Dia banting kursi dan meja, tokok dinding, hambur kertas. Dia bilang sama saya, ‘Babi anjing kau, kau punya muka nanti saya belah dua baru tahu. Kamu saya kasih racun saja habis kau.’
Pernyataan itu menjadi catatan bagi saya. Saya jadi mengerti cara itu yang mereka pakai untuk menghabiskan orang Papua. Saya sebagai anak daerah sedih. Perlakuan mereka begitu yang membunuh anak-anak Papua. Saat dibawa ke bagian Reskrim, saya menangis sedih akan nasib orang Papua.
Berapa lama Bapa ditahan?
Saya ditahan sampai 20 hari di Polres Wamena. Kemudian saya dibawa ke Jayapura dengan borgol di tangan. Di Jayapura saya ditahan 40 hari. Jadi saya ditangkap karena dikira kerjasama dengan orang Barat itu. Padahal saya ini bodoh bahasa Inggris. Saya tidak tahu siapa mereka.
Wartawan asing ini datang kepada saya. Mereka mau minta izin ke Pirime. Mungkin mau ambil gambar dan lain-lain. Kejadian di Pirime sebenarnya saya tidak terlibat. Yang saya tahu TPN-OPM di sana baku tembak dengan TNI dan Polri. Akibatnya beberapa warga desa mengungsi dan sampai hari ini belum masuk kampung.
Jadi bagaimana wartawan asing bisa tahu Bapa?
Mereka tahu saya dari Akilo Logo. Mereka tanya dia, ‘Bagaimana bisa ke Pirime dan harus lewat siapa?’ Akilo Logo tahu saya kepala suku Lanny-Nduga, maka dia berpikir saya bisa cari jalan. Makanya Akilo Logo bawa wartawan asing itu kepada saya. Waktu itu saya bilang kalau peristiwa di Pirime itu bukan urusan saya.
Bagaimana latar belakang hidup Bapa dan keluarga?
Saya pernah bekerja sebagai guru SD YPPGI Pirime, kemudian di PSW YPPGI bagian tata usaha. Saya juga menjabat kepala suku besar Lanny dan Nduga.
Saya punya istri satu dan anak tiga orang. Waktu saya ditangkap, anak saya paling kecil masih umur dua tahun. Istri saya, Tena Wakerkwa, sambil menangis susul saya ke Jayapura. Selama 40 hari dia tinggal di Jayapura. Anak saya paling kecil dijaga kakaknya yang SMP.
Saya punya adik kandung, namanya Yunus Wanimbo. Dia baru datang dari Jayapura ke Wamena setelah selesai pendidikan sarjana hukum. Dia sakit-sakitan. Jadi saya harus perhatikan dia. Tapi karena polisi tangkap saya, saya tak bisa perhatikan dia sampai akhirnya dia meninggal.
Adik bungsu saya, Weminus Wanimbo juga meninggal karena sakit. Saya tidak ada di tempat karena sudah ditangkap. Keluarga saya ikut jadi korban karena penangkapan ini.
Anak-anak saya sekarang sudah putus sekolah karena tidak ada uang. Sejak saya ditangkap, isteri saya ke Jayapura jadi tak bisa urus anak-anak. Kami sudah tidak punya biaya lagi. Kondisi keluarga saya terlantar sekarang.
Mereka sedih karena saya sudah tidak di rumah. Saya juga tidak bisa cari uang karena dipenjara. Selama ini saya yang menafkahi keluarga. Saya juga sudah tinggalkan pekerjaan sebagai kepala suku. Masyarakat membutuhkan saya dalam mengatasi permasalahan mereka. Mereka berharap saya segera dibebaskan.
*Elisa Sekenyap adalah reporter Warga Noken dan Asrida Elisabeth adalah sutradara film “Tanah Mama” dari Wamena.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Indoprogress.com, diposting kembali atas izin penulis.
Sumber : www.suarapapua.com