Pages

Pages

Senin, 08 Desember 2014

Belajar dari "Tertahannya" Delegasi Papua Barat di PNG (Bagian 1)

Generasi Papua Barat di Kota Dekai, Yahukimo, Papua, ikut merayakan 1 Desember dengan perlihatkan bendera negara mereka. Foto: Ist


Beberapa kawan minta saya memetakan (memberikan pandangan), terkait persoalan yang menimpa sekitar 76 (atau lebih) delegasi Papua Barat (dan termasuk rombongan Papua New Guinea), yang hingga kemarin (4 Desember 2014)  "tertahan" di Distrik Gerehu, sebuah kota di pinggiran sebelah utara Port Moresby -- kota Gerehu dikenal luas karena memiliki perumahan besar, dan kebanyakan dihuni warga Papua Barat.

Saya menyanggupi tawaran tersebut dan semoga pemetaan ini bisa membantu kawan-kawan melihat "kesulitan" diplomasi kita hari-hari ini dan ke depannya, menuju cita-cita pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat.

Beberapa faktor (atau kelompok) yang menghambat keberangkatan puluhan delegasi --tokoh terkemuka di tujuh wilayah adat Papua-- ini ke Saralana, Port Villa, Vanuatu.

PERTAMA: Peran pemerintah Amerika Serikat (AS). Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Papua New Guinea (PNG) saat ini adalah Melanie Higgins. Melanie sebelumnya menjabat Sekertaris Dua Bidang Politik di Kedutaan Besar AS untuk Indonesia (2009-2013), dan pindah ke PNG awal tahun 2013).

Sistem di kedutaan AS (dan rata-rata hampir semua kedutaan), sekertaris dua bidang politik, adalah orang ketiga setelah Dubes, dan Wakil Dubes; Melanie banyak melakukan perjalanan ke tanah Papua -- saya mencatat hampir 9 kali-- dan bertemu dengan sejumlah tokoh  Papua-termasuk dengan beberapa tokoh perempuan yang sering melakukan perjalanan ke Jakarta dan luar negeri.

Saya mendengar, ia menjadi semacam harapan atau tumpuhan untuk tokoh-tokoh Papua selama di Kedubes AS. Padahal, perempuan ini tak pernah "sedikit pun" memberikan kontribusi untuk perkembangan dan kemajuan politik dan diplomasi rakyat Papua. Kecuali, ia membantu urusan keberangkatna tokoh-tokoh Papua saat hearing di Kongres Amerika Serikat itu pun setelah menerima surat undangan dari Eni Valeomavega --dan saat Hillary Clinton memberikan statement atas pelanggaran HAM di tanah Papua --itupun karena Kongres Rakyat Papua III yang terkenal brutal dan jahat. 

ITU SAJA kontribusi dia (Melanie Higgins) untuk orang dan tanah Papua!

Sedangkan apa yang kita (tokoh-tokoh Papua) berikan untuk dia; Informasi sekecil apa pun di Papua, termasuk pergerakan dan diplomasi Papua Merdeka, pelanggaran HAM, dan termasuk pergerakan tokoh-tokoh terkemuka di tanah Papua yang "harus didekati" selalu sampai ke telinga orang ini dari tokoh Papua, yang akan dikaji secara serius dan mendalam bersama asisten pribadi dia yang bernama Anggie.

Dan hinga saat ini Anggie masih terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh Papua setelah jabatan Melanie digantikan oleh James Feldmayer (mantan komandan AD yang memimpin pasukan AS invasi ke Irak).

Nah, apa hubungan Melanie dengan delegasi Papua yang tertahan?

(+).  Anda tahu, Melanie mampu dan sangat baik memetakan "kekuatan" politik rakyat Papua Barat, termasuk diplomasi di luar negeri, secara khusus di kawasan Pasifik dan "mendiskusikannya" dengan pemerintah Indonesia untuk menjadi sebuah strategi atau kebijakan dalam meredam diplomasi Papua Merdeka.

Peter O'Neil, sangat dekat dengan Indonesia, dan bahkan Amerika Serikat, karena peran dan kerja Melanie yang sangat gesit; Michael Somare yang diannggap anti AS disingkirkan, dan Peter O'Neil yang punya pengalaman dan studi di AS dianggap orang yang tepat untuk "menghambat" diplomasi Papua Merdeka. AS ikut bermain "mengganti" Somare di tengah jalan, karena Somare dianggap anti AS dan dukungan Papua Merdeka.

(++).  
Anda tahu, Melanie mampu dan dengan sangat baik memetakan "diplomasi" Papua di wilayah pasifik, termasuk PNG, untuk djadikan sebuah bahan atau kajian, yang akan ditelaah oleh AS, dan PNG, untuk menghambat diplomasi Papua Barat di wilayah AS, juga di Australia, dan negara-negara kawasan pasifik. Jangan salah, kegagalgan Papua di dalam keanggotaan MSG turut dimainkan secara cantik oleh Melanie; Frans Albert Yoku, Nick Messet, dan Michael Manufandu adalah boneka yang disetir oleh Melanie.

(+++). 
Anda tahu, hingga saat ini dia masih melakukan komunikasi dan kontak secara intensif dengan tokoh-tokoh Papua, walau sudah menjadi Wakil Dubes AS. Seorang tokoh gereja yang saya hormati, dengan bangganya pernah bercerita pada saya, bahwa Melanie sangat rutin mengirimkan informasi soal kegiatan di PNG dan ia juga selalu rutin memberikan informasi soal situasi politik dan HAM di Papua.

Ini ada apa dan untuk apa? Dan apakah tokoh gereja ini tidak sadar, ia menjadi "informan" untuk pemerintah AS?

(++++). Anda tahu, Peter O'neil akan dianggap penghianat, atau "menampar" AS dari depan, jika bisa memberangkatkan rombongan Papua Barat ke Port Villa dengan pesawat milik PNG. Seorang kawan beritahu saya, Dubes AS untuk PNG, Walter Noth, dan Melanie berulang kali melakukan pertemuaan dengan Menlu PNG, Rumbink Pato, dan Peter O'Neil. Sangat rapi orang-orang ini bermain!

KEDUA:
 Peran Pemerintah Indonesia. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Repulik Indonesia untuk PNG, Andreas Sitepu (walau sudah hampir 4 tahun) tak tahu apa-apa dan tak mengerti apa-apa soal diplomasi Papua Merdeka di kawasan pasifik. Dan, ia tak begitu dekat dengan tokoh-tokoh Papua Merdeka di PNG yang terkanal ekstrem dan radikal.

Dua orang yang punya pengaruh penting di Kedubes RI untuk PNG justru Robertus Suryonohadi dan Kolonel (TNI) Ignasius Wahyu Hadi. Robertus menjabat sebagai Sekertaris Dua bidang politik dan Wahyu menjabat sebagai kepala atase keamanan di Kedubes RI untuk PNG. Dua orang ini pemeluk Katolik tulen.

Mereka punya pengalaman panjang di organisasi yang namanya Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan memiliki banyak kawan-kawan intelektual Katolik, termasuk jaringan gereja Katolik yang selama ini mampu memetakan persoalan Papua dengan sangat baik, termasuk untuk mematahkan diplomasi-diplomasi di wilayah Pasifik.

Robertus mendekatkan diri dengan tokoh-tokoh politik Papua di Jakarta dan luar negeri, termasuk di Roma. Sedangkan, Wahyu mendekatkan diri dengan tokoh-tokoh Papua dari kalangan militer yang Katolik di Papua dan termasuk di PNG, untuk kebutuhan analisis bidang keamanan, termasuk membangun hubungan baik dengan militer Indonesia di wilayah perbatasan yang sering memberikan kajian informasi terkait tokoh-tokoh Papua Merdeka di Jayapura dan sekitarnya. 

Apa hubungan kedua orang ini dengan delegasi Papua di Port Moresby?

(+). Saya melihat dua orang ini (sekarang atau setelah semua tokoh bertemu di Port Moresby) tahu siapa saja tokoh-tokoh Papua yang menyeberang atau sudah sampai di Port Moresby. Mereka tahu demi kepentingan "data dan kajian" untuk Indonesia ke depannya. Saya juga cukup heran, sekitar 70 orang lebih menyeberang dengan gampangnya atau tak terdeteksi oleh aparat keamanan Indonesia?

(++). 
Dua orang ini akan melakukan sebuah kajian tentang pergerakan Papua Merdeka, termasuk "mendata" nama tokoh-tokoh Papua yang menyeberang dan dijadikan bahan untuk "melakukan" pemantauaan untuk kepentingan hari ini dan di masa mendatang.

(+++). 
Dua orang ini berpikir, kapanlah bertemu dengan 70-an tokoh Papua yang "mati" merdeka, artinya mereka sudah datang serahkan diri, tentu sudah baik untuk diterima dan selanjutnya dihambat semua pergerakan tersebut di Port Moresby dan untuk ke depannya.

(++++). Dan kedua orang ini berperan penting dalam "menggagalkan" keberangkatan delegasi Papua dengan Nugini Air, dengan ancaman, bantuan pemerintah Indonesia untuk O'Neil dan rakyat PNG akan dihentikan dan dua orang ini berperan penting dalam pertemuan O'neil dengan Jokowi setelah beberapa jam Presiden RI kurus ini dilantik.

KETIGA: Peran pemerintah PNG. Walau tidak signifikan, tapi ada. Seorang kawan saya di PNG yang cukup dekat dengan sekertaris pribadi Menteri Pertahanan PNG (Dr Fabian Pok), yang memberitahukan saya, O'Neil tulus ingin membantu, bahkan sampai ingin meminjamkan jet pribadi negara untuk membawa rombongan ke PNG, tapi apa boleh buat, sudah "ada" intervensi" yang cukup besar dari AS dan Indonesia untuk membatalkan rencana tersebut, dengan "tawaran-tawaran" yang saya sebutkan di atas, diantaranya akan buat "ekonomi dan politik" PNG tidak stabil.

Termasuk, yang lebih gilanya, "O'Neil" diancam untuk diturunkan di tengah jalan, alias sebelum sampai 2017. Apalagi, kelompok Michael Somare, mantan Perdana Menteri dianggap masih berambisi duduki posisi Perdana Menteri. Saya pribadi yakin, hati kecil O'Neil ingin tulus membantu, artinya:

(+). 
Secara pemerintahan, PNG berjalan dengan efektir, namun dari segi ekonomi politik, termasuk sistem pemerintahan dikuasai oleh AS dan Indonesia.

(++).
 Pelajaran ini tentu harus dilihat baik-baik oleh tokoh-tokoh Papua Merdeka, bahwa suatu kelak pemebebasan nasional itu tercapai, kita tak boleh didikte siapa pun, termasuk AS atau Indonesia. Harus berdiri di atas kaki sendiri, seperti Timor Leste yang no hutang, dan justru mampu mempidanakan Australia di Mahkamah Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda.

(+++).
 O'Neil tentu ingin dan akan meminta maaf ke Papua, tapi tidak secara terbuka, dia merasa "bagian" dari "Brother Melanesia" atau saudara Melanesia.

(+++). Saya tidak melihat PNG membatasi delegasi Papua ke Port Villa, apalagi mampu menampung, dan bahkan berikan sedikit "wang" untuk delegasi dan memberikan "tumpangan" di kota Port Moresby. Walau pun, banyak orang mengatakan O'neil anti Papua Merdeka, saya tidak berpikir seperti itu, Gubernur Port Moresby pasti tahu O'Neil.

KEEMPAT:
 Peran orang Papua sendiri. Saya akan membagi dalam dua kelompok.

(+). Orang Papua pro-Indonesia. Di sini, yang kita kenal, dan dianggap berperan dalam menghambat diplomasi Papua Merdeka adalah Nick Messet, Alber Yoku, dan Michael Manufandu. Tapi ada kelompok lain, istilah Benny Giay dan Socretez "Garis Keras", mereka ini justru yang paling dan berperan aktif.

Anda tahu, kenapa Joel Rohrohmana (pernah calonkan diri jadi Bupati Fakfak tapi kalah), dua tahun lalu ditugaskan menjadi Kepala Konjen Indonesia untuk Kuba. Orang ini dipakai Indonesia agar "Orang Papua" tak membangun hubungan atau relasi dengan Kuba dan bahkan negara-negara kiri.

Indonesia lebih dulu ingin menyampaikan ke negara-negara komunis, bahwa di Indonesia ada orang Papua (ras melanesia), sebelum diplomat-diplomat Papua menyentuh negara-negara ini. Sekarang, Joel Rohrohmana bertugas di Kedutaan Besar RI untuk Afrika Selatan. Lagi-lagi ini strategi untuk mematahkan diplomasi Papua di negara-negara kulit hitam.

Apakah ada orang Papua yang mengamati dengan baik, atau memetakan "strategi" seperti ini?

Sejauh ini saya tidak melihatnya. Dan, saya tak tahu di mana lagi Felix Wanggai, tapi adik atau kakak perempuan dia, Suzana Wanggai di Indonesia yang menjadi kepala perbatasan juga turut berperan aktif untuk menggagalkan delegasi Papua yang akan ke Port Villa. Dua orang yang saya sebutkan ini semacam "guru" untuk Kementerian Luar Negeri Indonesia terkait persoalan dan diplomasi-diplomasi  Papua Merdeka.

Kalau tiga manusia karbitan yang saya sebutkan diatas, tentu kalian sudah tahu, dan saya tak perlu jelaskan lagi --dan mereka hanya jadi objek, jadi tempelan di media-media, yang tentu bikin konflik devide et impera semakin mulus dan berjalan.

(++). Tokoh-tokoh Papua Merdeka sendiri.

Hal pertama, apakah sebuah diplomasi yang elegan, sebuah pertemuan akbar, yang tentu dan akan punya dampak politik yang besar, diumbarkan di media massa secara luas. Saya membaca di Radio New Zealand, dan AFP sangat rutin memberitakan pertemuan ini.

Di sisi lain, informasi penting tapi bukankah bukan sebuah hal yang paling substansial. Perlu tingkat internal organisasi-organisasi perjuangan yang diinformasikan secara matang dan efektif. Artinya, pertemuan ini hanya dibicarakan di internal-internal perjuangan.

Dan maaf kata, adalah tindakan bodoh, semua foto, video, dan rekaman diumbar di media massa, dan jadi bahan bacaan umum. Anda coba mengunjungi Youtube dan melihat sekitar enam video yang di upload oleh salah satu tokoh Papua Merdeka, Sebby Sambom secara detil video saat pawai di Port Villa, 1 Desember, saat pembukaan atau upacara penyambutan.

Dan bahkan, saat pidato PM Joe Natuman diunggah untuk jadi tontontan intelijen Indonesia. Apakah ini bentuk-betul diplomasi orang-orang Papua yang elegan  dan merupakan sebuah kemajuaan. Saya katakan tidak, justru pertontonkan kebodohan dalam diplomasi.

Coba lihat saja, pertemuan Kaledonia Baru dalam KTT MSG, tak banyak video dan tak banyak foto yang dipublikasikan, namun kita "kalah", artinya, bukan berarti besok kita kalah lagi, tapi belajar untuk berdiplomasi yang cerdas dan terdidik itu penting.

Hal kedua, apakah bukan sesuatu yang tidak elegan dan terlihat bodoh, pertemuan akan dilangsungkan pada 1 Desember, namun para delegasi-delegasi dari Papua Barat baru ke Port Moresby tiga hari atau dua hari sebelum kegiatan dilangsungkan. Jarak dari PNG ke Vanuatu itu 1.940 KM, bukan seperti dari Wasior ke Manokwari atau dari Demta ke Sentani.

Pikir logis, soal transportasi, soal kemudahan, seharusnya satu minggu atau dua minggu sebelum simposium dilangsungkan, delegasi sudah harus berada di Port Moresby, agar dapat memudahkan semuanya, termasuk sedikit mengurangi kesulitan-kesulitan yang sudah terlihat di depan mata, dan baru saja kita alami saat ini.

***
Setelah melihat pemetaan di atas, saya ingin memberikan catatan-catatan saya pada tiap-tiap point. Tentu agar ke depan, diplomasi kita menuju pembebasan nasional bangsa Papua Barat bisa lebih elegan, bermartabat, dan dapat dianggap sebuah kemajuaan perjuangan.

Catatan ini hanya sekedar kajian untuk menambah wawasan kawan-kawan. Saya sebenarnya masih ingin lanjut tulis. Tapi sepertinya saya harus koma dulu, angin laut bagus, cakalang sudah maronta di laut, saya harus pigi melaut. Ipar-ipar dong tunggu catatan bagian kedua eh.

Tabea, 

Waondivoi, 5 Desember 2014, 11.49 Wit. 

Vo Nguyen Giap Mambor 
Adalah Nelayan, tinggal di Wasior, Teluk Cenderawasih, West Papua.