Pages

Pages

Selasa, 18 November 2014

Wajah Pendidikan Papua, Suram

Pelajar di Pedalaman Papua. Disiplin dalam belajar. Foto ist
Pelajar di Pedalaman Papua. Disiplin dalam belajar. Foto ist
Persoalan pendidikan masih menjadi isu strategis di Papua. Setelah satu dekade berlalu, wajah suram itu belumlah pudar.

Salah satu masalah besar yang dihadapi Papua saat ini adalah kualifikasi guru Sekolah Dasar (SD). Sesuai data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta LPMP Papua, dari 11.461 guru, baru 1.224 berkualifikasi S1 atau 10,6 persen. Hal ini tentu tidak sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyebutkan bahwa pada tahun 2015, pemerintah mesti menuntaskan kualifikasi guru ke jenjang S1.

“Sangat mustahil pada akhir tahun 2015, kita mampu menuntaskan kualifikasi guru-guru kita, kita tidak bisa memecahkannnya secara konvensional dan bekerja sendiri,” kata Gubernur Papua Lukas Enembe, belum lama ini.

Menyikapi masih minimnya guru yang belum berkualifikasi, Lukas meminta semua pihak bekerja keras serta mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kunci. “Harus segera kita realisasikan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan seperti FKIP Uncen dan Kolose pendidikan guru, serta lembaga pendidikan  tinggi di Indonesia untuk menjawab masalah ini,” tandasnya.

Salah satu tantangan pendidikan adalah masalah geografis dan terbatasnya akses, fasilitas dan sumber daya manusia untuk menunjang proses belajar.

Lukas menambahkan, sampai saat ini masih banyak penduduk usia 0 sampai 6 tahun yang belum mendapatkan layanan Pendidikan Anak Usia Dini karena terbatasnya lembaga PAUD.

Lagi, masih banyak penduduk usia 7 sampai 12 tahun dan 13 sampai usia 15 tahun belum memperoleh kesempatan menikmati layanan pendidikan dasar, karena terbatasnya ketersediaan gedung sekolah di sejumlah kampung di daerah gunung dan lembah.

Hal ini mengakibatkan rendahnya capaian Angka Partisipasi Murni SD dan Angka Partisipasi Murni SMP di beberapa kabupaten. Dampaknya jelas berpengaruh pada rendahnya rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf di Papua yang digunakan sebagai indikator pengukur keberhasilan pembangunan pendidikan oleh MDGs.

Salah satu contoh kabupaten yang memiliki APM SD terendah yakni, Kabupaten Nduga, 15,6 persen. Ini artinya penduduk usia 7 sampai 12 tahun di Kabupaten Nduga yang bersekolah di SD hanya 15,6 persen, sedangkan 84,4 persen tidak bersekolah.

“Masih banyak sekolah dasar di wilayah terpencil dan terisolir juga belum memiliki rumah kepala sekolah dan guru, sehingga banyak dari mereka meninggalkan tempat tugas yang berdampak tingginya angka ketidakhadiran di tempat tugas,” ucapnya.

Problema pendidikan ini terlihat pula dari tingginya angka tuna aksara atau buta aksara penduduk usia 15 – 59 tahun. Terdapat sekitar 675,253 jiwa atau 35,98 persen dari  1,876,746 jiwa,  masih tuna aksara.

Ditempat terpisah, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua mengklaim hampir di seluruh wilayah Papua, minim guru. Walau ditempatkan guru, tapi tak pernah melaksanakan tugas secara baik. Bahkan, terdapat satu sekolah dengan enam kelas, namun hanya ada satu guru saja mengajar.

“Guru (selalu) menetap di ibukota provinsi dan tak berada di tempat tugas. Sehingga, ketika siswa datang ke sekolah, gurunya tak ada,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua, Elias Wonda.

Selain itu, kata Elias, beberapa wilayah seperti di Kabupaten Puncak Jaya, anggota Tentara Nasional Indonesia mesti turun tangan membantu mengajar sebagai guru dalam kelas. “Ada juga di kampung-kampung yang sebenarnya sebagai guru sekolah Alkitab, tapi terpaksa mengajar pelajaran umum di sekolah. Hal seperti ini juga terjadi di daerah pedalaman lainnya di Papua.”

Sebenarnya, kata Elias, guru yang mangkir dari tugas, disebabkan pula rendahnya tingkat kesejahteraan mereka. Misalnya saja, sampai saat ini di daerah-daerah pedalaman Papua, banyak guru yang belum memiliki rumah. “Kita bangun sekolah, tapi gurunya tinggal jauh. Jika rumah guru dibangun dekat sekolah, saya rasa mereka akan bertahan di situ,” katanya.

Menjawab masalah edukasi ini, Pemerintah Provinsi Papua memberi respon luar biasa atas peluncuran program ‘Bagimu Guru Kupersembahkan’ yang dilaksanakan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) bekerja sama dengan Unit Implementasi Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR).

Program ‘Bagimu Guru Kupersembahkan’ adalah sebuah project untuk meningkatkan keahlian para guru sehingga memiliki kemampuan ajar yang baik. Hasil dari program ini, diharapkan guru akan memiliki kompetensi dan keahlian yang baik untuk mendukung tugas-tugasnya sebagai guru yang nantinya berpengaruh pada anak didiknya.

Pelajar di Pedalaman Papua. Disiplin dalam belajar. Foto ist
Pelajar di Pedalaman Papua. Disiplin dalam belajar. Foto ist
Masalah pendidikan di Merauke
Kekosongan tenaga guru di wilayah pedalaman Merauke bukan hal yang baru. Di SD Inpres Rawa Biru, Kampung Rawa Biru Distrik Sota, Merauke, sejumlah guru selama empat bulan bahkan tak pernah datang mengajar.  

“SD Inpres Rawa Biru ada 15 guru, 13 PNS dan 2 guru honor. Namun yang aktif hanya 7 guru PNS dan 2 guru honor,” beber Novita, salah seorang tenaga pengajar.

Mantan Ketua Komisi A DPRD Merauke, Dominikus Ulukyanan mengemukakan, masalah pendidikan di Merauke, begitu kompleks. “Roling kepala sekolah beberapa waktu lalu perlu segera dievaluasi. (Ini disebabkan) antara lain, karena para guru yang ditugaskan di pedalaman tidak betah. Mereka hanya ke sekolah pada waktu ujian akhir,” ujarnya.

Menurut dia, disiplin pengelolaan keuangan sekolah juga membingungkan. “Pengelolaan keuangan sekolah sekehendak hati.”

Terkait program asrama, Ulukyanan meminta Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke untuk mulai menganggarkan biaya operasional asrama pelajar pada tahun 2015 mendatang. “Supaya kepala asrama tidak mencari donatur ke sana kemari, kalau dianggarkan, harap seadil-adilnya, sesuai dengan jumlah pelajar di asrama.”

Katanya, pendidikan memang tidak terlepas dari berbagai masalah. Pendidikan sesungguhnya membutuhkan totalitas dalam penanganannya, baik oleh penyelenggara, praktisi maupun pada tataran pelaku pendidikan.

Wakil Bupati Merauke, Sunarjo menegaskan, pendidikan di Merauke, masih menjadi masalah besar dan diibaratkan bencana. “Karena banyak sekolah, terutama di kampung-kampung lokal, kegiatan belajar mengajar tak jalan sama sekali.”

“Saya harus jujur mengatakan, ketika ada program kompetensi yang merupakan aturan dari tingkat pusat, hampir semua guru berbondong-bondong meninggalkan tempat tugas untuk melanjutkan kuliah di kota,” tegasnya.

Dengan ketidakhadiran para guru di kampung, demikian Wabup, secara tidak langsung proses belajar mengajar terhenti.

Soal Umum
Potret pendidikan di Papua memang jauh dari unggul. Ketua Badan Pengurus Harian Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai (IPMADO) se-Jawa dan Bali, Martinus Pigome mengatakan, pemerintah mesti transparan dalam pembagian dana pendidikan, pemondokan, dan tugas akhir pada anggaran tahun 2014. “Pembagian dana pendidikan selayaknya transparan dan tepat sasaran bagi mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di berbagai kota studi,” kata Martinus.

Di Biak, Kepala Kampung Sunyar, Distrik Yendidori, Kabupaten Biak Numfor Yesaya Ayer, mengeluhkan pula kegiatan belajar mengajar di SD Inpres Sunyar yang berjalan morat marit. “Saya bingung kenapa bisa begitu, padahal ada rumah guru dan rumah kepala sekolah yang tinggal kosong-kosong,” kata Ayer.

Rumah guru dibangun sebanyak tiga unit berisi 6 kopel. Namun tak pernah ditempati.

Melihat KBM di sekolah tersebut, Ayer berharap ada perhatian Pemerintah Daerah Biak Numfor. “Pemerintah perlu menambah guru mengingat tenaga guru di SD Inpres Sunyar hanya tiga orang saja,” pinta Ayer.
(JO/dari berbagai sumber)
  Sumber : www.jeratpapua.org