Ilustrasi |
Oleh, Marko Sani
Terlalu ribet bicara masalah transmigrasi hingga
harus jelaskan secara rinci pengertian, fungsi, hingga yang mendetailnya
mengenai transmigrasi secara teoritis. Kalau bicara soal teoritis mengenai
permasalahan sosial berarti kita harus kembali ke pendidikan Indonesiadi bangku
SD Kelas 4.
Transmigrasi kalau secara kenyataan dan realita
bahwa kita antar orang yang tidak mampu (orang miskin) ke tempat yang lain. Tempat
dimana mereka bisa hidup damai dan sejahtera di tempat tertentu.
Beberapa waktu lalu saya sempat baca status di
facebook. Atas nama, Yason Ngelia. Statusnya dituliskan begitni, “Gubernur sendirian Tolak Tranmigrasi di
Papua. Sama Nilainya ketika mahasiswa Tolak Otsus Plus. Sama~sama sendirian.
Mahasiswa sendirian, kini Gubernur sendirian tanpa mahasiswa.”
Sedikit lucu baca
percakapan tersebut. Tapi lucunya dosorot ke gubernurnya bukan penulis status. Kenapa
sedikit lucu, kita bukan bicara soal kenyataan dan realita ini baru pendapat
orang yang tidak tahu nantinya akan terjadi seperti bagaimana.
Gubernur tolak transmigrasi di Papua, tapi gubernur menerima Otsus Plus di Papua. Terus mahasiswa menolak Otsus Plus, mahasisa belum keluarkan pernyataan dalam bentuk aksi tentang penolakan transmigrasi di Papua.
Kedua pernyataan ini
yang menjadi pertimbangannya, kenapa saya menuliskan judul gubernur Papua
bermain mata di atas. Secara logika bahwa gubernur sudah melakukan suatu
tindakan yang disebut sebagai instrumen problem.Sistem masalah tidak tahu
gubernur sadar atau tidak.
Gubernur Papua main
mata dengan pemerintah Pusat. Tidak disangka, secara kebetulan kasus-lasus dulu
tentang pernyataan gubernur mengenai pemekaran dan transmigrasi yang dikirim
dari luar Papua. “Saya akan pindah negara lain, kalau pemerintah pusat kasih
pemekaran untuk Papua dan kasih transmigrasi untuk Papua.” Slogan yang sempat
dikeluarkan oleh gubernur Papua, Lukas Enembe.
Sekarang bagaimana
tanggapan pemerintah pusat. Pergantian pemeritahan dari rezim SBY hingga
sekarang rezim Jokowi-JK. Dalam hal ini bahwa masyarakat Papua secara
menyeluruh menolak dengan tegas adanya transmigrasi dan pemekaran wilayah dan
provinsi di tanah Papua.
"Jadi, pemekaran
harus mendapat persetujuan dari lembaga-lembaga ini dulu, pusat jangan proses
sembarang,” kata Lukas Enembe kepada wartawan, di Kota Jayapura, Papua, Minggu
(2/11) dalam suarapapua.com edisi Senin, 3 November 2014.
Kalau lembaga-lembaga
yang dimaksudkan gubernur setuju atas pemekaran yang akan diadakan, sama halnya
dengan gubernur kerjasamasambil main mata dengan pemerintah pusat, alias Jakarta.
Kasus gubernur dengan
istilah-istilah kalau pemekaran nanti pindah wargan egara, lah, sama seperti
Anas Urbaningrum yang katanya tidak melakukan korupsi apa pun, kalau ada
sepeser pun yang di korupsi, gantung dia di Monas.
Tidak disangka, kalau
kita melihat kembali garis kordinasi yang begitu kentara. Saya secara tegas
menolak adanya pembuatan buku yang berjudul “Anak Gunung Jadi Gubernur”. Secara
esensinya dan implementasinya rakyat Papua belum menikmati yang namanya
kesejahteraan yang menyeluruh.
Sudah banyak sekali
kasus yang sudah dibuat gubernur Papua dengan berbagai cara yang sudah
dilakukan dari berbagai bentuk dan prospek mulai dari pemilihan hingga jalannya
roda pemerintahan di Papua.
Semua tersistem hanya
saja kalau kita mencoba untuk menganalisis. Saya bukan peramal atau tukan
prediksi, tapi secara kordinasi memang menjadi kenyataan bahwa gubernur Papua
seenaknya saja seperti anak kecil yang mengandai-andai sesuatu yang tidak
mungkin terjadi.
Program pembangunan
sampai saat ini belum juga berjalan dengan baik. Salah satunya pendidikan
gratis dan kesehatan gratis yang jelas-jelas baleho-baleho yang sudah
ditempelkan di seluruh tanah air Papua.
Saya menuliskan
tulisan ini bukan untuk membuat
kehancuran di tanah Papua, secara tutor perubahan belum sepenuhnya sampai
kepada masyarakat jelata. Dalam hal ini revolusi harus menajdi sasaran utama
kalau menajdi seorang gubernur yang bisa memanusiakan manusia dalam masa
pemimpinnya.
Akhirnya bahwa, menjadi
seorang gubernur tak hanya seenaknya mebuat janji yang tidak masuk di akal. Gubernur
main mata, melihat perkembangan yang sudah terjadi, hanya saja tindakannya
harus ada dari pihak-pihak untuk melarang keras proses pembangunan melalui
transmigrasi dan pemekaran kota dan wilayah.
Penulis adalah peneliti kehidupan sosial para pemimpin Papua dari gubernur hingga bupati dan kepala-kepala kampung