Logo Amnesty International – Jubi/IST |
Laporan Prosecuting Beliefs (Pengadilan Keyakinan) yang dikeluarkan AI menunjukan jumlah angka hukuman penodaan agama menjulang tinggi selama satu dekade pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
“Undang-undang penodaan agama di Indonesia menantang hukum dan standar-standar hukum internasional dan harus dicabut segera.,” kata Rupert Abbott, Direktur Riset Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International melalui rilis yang diterima Jubi, Senin (24/11).
Lanjut Rupert, tidak ada satu orang pun harus hidup dalam ketakutan hanya karena mengekspresikan pandangan agama dan keyakinannya. Pemerintahan baru Presiden Joko Widodo berkesempatan membalik kecenderungan yang bermasalah ini dan mengawal era baru penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“Meski Undang-undang Penodaan Agama di Indonesia merupakan ketentuan hukum yang umum digunakan untuk mengadili orang-orang atas penodaan agama telah menjadi produk hukum sejak 1965 dan merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi sangat jarang digunakan hingga saat Yudhoyono berkuasa,” katanya lagi.
Menurut Ruppert, sejak 2004, AI telah mendokumentasikan paling tidak 106 individu dipidana di bawah undang-undang penodaan agama, beberapa dipidana hingga lima tahun penjara. Banyak dari mereka yang dipidana karena dianggap memiliki pandangan dan keyakinan religius minoritas. Kasus-kasus penodaan agama hampir semuanya diajukan pada tingkat lokal, di mana aktor-aktor politik, kelompok-kelompok Islam garis keras, dan aparat keamanan kadang-kadang berkolusi untuk menyasar para kelompok minoritas.
Terkait hal ini, Theo Van DenBroek, aktivis HAM asal Belanda yang berdomisili di Jayapura mengatakan antisipasi penodaan agama yang ada di Papua saat ini, penting bagi semua pihak untuk menjaga agar Tanah Papua tetap damai. Itu cara mencegah agar tidak ada potensial konflik.
“Lebih baik kita mencegah dari pada menyembuhkan dari belakang. Padahal, potensi konflik itu tampak sekali di Papua seperti pertumbuhan penduduk yang sangat cepat karena sekarang Orang Papua bisa bicara tentang mayoritas dan minoritas,” kata Theo kepada Jubi melalui seluler, Senin (24/11).
Ketika orang Papua semakin sedikit, lanjut Theo, akan membuat orang Papua sulit menyuarakan aspirasinya. Ini kemudian akan menimbulkan suatu ketegangan yang luar biasa. Apalagi ketika migrant adalah mayoritas Islam dan penduduk Papua mayoritas Kristen. Ini adalah potensi konflik yang luar biasa besar di Papua saat ini. (Aprila Wayar)
Sumber : www.tabloidjubi.com