Presiden SBY saat di demo aktivis kemerdekaan Papua (Foto: lst) |
Hal ini disampaikan Sekertaris Jenderal (Sekjend) Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Papua se-Indonesia (AMPTPI), Markus Haluk, di Jakarta, Kamis (16/10/2014).
“Dalam kurun waktu 2004-2014, pelanggaran hak-hak sipil dan politik warga Papua telah meningkat secara drastis,” ujar Haluk, dalam Seminar Sehari yang bertemakan “Refleksi 10 Tahun Kepemimpinan SBY bagi Tanah Papua” di Aula Utama Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur.
Haluk menyebutkan 12 bentuk kekerasan selama 10 tahun kepemimpinan SBY, yakni penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penahanan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan pemerkosaan terhadap perempuan Papua, pembakaran rumah, penggerebekan, penghancuran rumah dan asrama mahasiswa.
Juga terjadi pengekangan Demonstrasi Damai, penolakan surat pemberitahuan aksi demo damai, pembatasan atas kunjungan anggota Kongres, parlemen, diplomat Internasional, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis lokal, nasional dan internasional, serta ancaman terhadap para pembela Hak Asasi Manusia di Papua.
“Kekerasan-kekerasan ini umumnya dilakukan oleh aparat keamanan, TNI dan atau Polri dan menyebabkan korban bagi warga Papua,” tandasnya.
Berdasarkan catatan AMPTPI, telah terjadi 445 peristiwa kekerasan di tanah Papua yang menyebabkan 2.914 korban warga Papua Asli. Dari 445 peristiwa kekerasan tersebut, sebanyak 66 TNI dan 263 Polri terlibat dalam tindakan kekerasan tersebut.
“Pemerintahan SBY tidak pernah serius mengungkapkan dan menindak tegas pelanggaran HAM di Tanah Papua terutama yang melibatkan TNI dan Polri. TNI dan aparat keamanan yang melakukan pelanggaran HAM di Papua tidak pernah dipenjara lebih dari 11 bulan,” tegasnya.
Haluk juga mengungkapkan fakta lain yang terjadi selama 10 tahun kepemimpinan SBY, yakni depopulasi warga asli Papua lantaran ada migrasi besar-besaran ke tanah Papua.
“Dalam kurun waktu 2004-2014, pelanggaran hak-hak sipil dan politik warga Papua telah meningkat secara drastis,” ujar Haluk, dalam Seminar Sehari yang bertemakan “Refleksi 10 Tahun Kepemimpinan SBY bagi Tanah Papua” di Aula Utama Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur.
Haluk menyebutkan 12 bentuk kekerasan selama 10 tahun kepemimpinan SBY, yakni penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penahanan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan pemerkosaan terhadap perempuan Papua, pembakaran rumah, penggerebekan, penghancuran rumah dan asrama mahasiswa.
Juga terjadi pengekangan Demonstrasi Damai, penolakan surat pemberitahuan aksi demo damai, pembatasan atas kunjungan anggota Kongres, parlemen, diplomat Internasional, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis lokal, nasional dan internasional, serta ancaman terhadap para pembela Hak Asasi Manusia di Papua.
“Kekerasan-kekerasan ini umumnya dilakukan oleh aparat keamanan, TNI dan atau Polri dan menyebabkan korban bagi warga Papua,” tandasnya.
Berdasarkan catatan AMPTPI, telah terjadi 445 peristiwa kekerasan di tanah Papua yang menyebabkan 2.914 korban warga Papua Asli. Dari 445 peristiwa kekerasan tersebut, sebanyak 66 TNI dan 263 Polri terlibat dalam tindakan kekerasan tersebut.
“Pemerintahan SBY tidak pernah serius mengungkapkan dan menindak tegas pelanggaran HAM di Tanah Papua terutama yang melibatkan TNI dan Polri. TNI dan aparat keamanan yang melakukan pelanggaran HAM di Papua tidak pernah dipenjara lebih dari 11 bulan,” tegasnya.
Haluk juga mengungkapkan fakta lain yang terjadi selama 10 tahun kepemimpinan SBY, yakni depopulasi warga asli Papua lantaran ada migrasi besar-besaran ke tanah Papua.
Dikatakan, hasil statistik pemerintah Provinsi Papua pada 2010 dengan jelas menyebutkan bahwa jumlah orang asli Papua 49 persen sedangkan jumlah penduduk non Papua 51 persen.
“Jumlah warga Papua asli akan semakin kecil dibandingkan pendatang. Banyak orang migrasi ke Papua dengan motivasi penting yakni, uang, bahan bangunan, bahan makanan dan orang atau manusia datang ke Papua. Jika tidak ada kebijakan yang strategis membendung hal ini, warga asli Papua akan habis,” pungkasnya.
Acara seminar ini dihadiri juga oleh Ketua Pusat Studi Kajian Papua UKI, Antie Solaimin, Komisioner Komnas HAM Natalis Pigai, Anggota Pokja Papua Tim Transisi Jokowi-JK Hironimus Hilapok, dan Tokoh Buruh Indonesia, Mochtar Pakpahan.
MARSELINO TEKEGE
“Jumlah warga Papua asli akan semakin kecil dibandingkan pendatang. Banyak orang migrasi ke Papua dengan motivasi penting yakni, uang, bahan bangunan, bahan makanan dan orang atau manusia datang ke Papua. Jika tidak ada kebijakan yang strategis membendung hal ini, warga asli Papua akan habis,” pungkasnya.
Acara seminar ini dihadiri juga oleh Ketua Pusat Studi Kajian Papua UKI, Antie Solaimin, Komisioner Komnas HAM Natalis Pigai, Anggota Pokja Papua Tim Transisi Jokowi-JK Hironimus Hilapok, dan Tokoh Buruh Indonesia, Mochtar Pakpahan.
MARSELINO TEKEGE
Sumber : www.suarapapua.com/