Pdt. Dr. Benny Giay (kiri) bersama Pdt. Socratez Yoman (Foto: Ist) |
“Waktu kami bertemu dengan Presiden SBY 16 Desember 2011 di Jakarta, beliau bilang ada kelompok garis keras yang tidak mau demokrasi, tidak mau dialog, dan mau menang sendiri, alias ultra-nasionalis, kelompok ini sedang bermain di tanah Papua, karena itu Jokowi harus berani ungkap identitas mereka,” kata Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, di damping Pdt. Socratez Sofyan Yoman, saat memberikan keterangan pers, Rabu (24/9/2014) siang, di Kantor Sinode Kingmi, Jayapura, Papua.
Menurut Giay, Jokowi perlu mengungkap identitas kelompok ini, agar cita-cita umat Tuhan melihat Papua sebagai Tanah damai bisa segera terwujud, termasuk agar dapat mengakhiri kekerasan di tanah Papua yang sudah berlangsung sejak tahun 1961.
“Kami mencatatat dalam satu tahun terakhir terjadi banyak kekerasan, namun aparat keamanan tidak pernah mengungkap siapa pelakunya, dan apa motifnya menciptakan kekerasan di tanah Papua. Karena itu kami minta Jokowi harus berani mengungkapkannya agar diketahui publik,” ujar Giay.
Melihat fenomena kekerasan yang meningkat tiap tahunnya, Giay mengatakan, Gereja selalu mengangkat thema refleksi, bahwa kekerasan dan kejahatan sedang menggagahi umat Tuhan dan tanah Papua.
“Secara sosial kami bertanya, dimana Negara saat kami dan jemaat kami menjalani kekerasan ini? Kalau ada, apa perannya, sebab kekerasan terus beranak pinak, dan menyengsarakan umat Tuhan,” kata Giay. Yang lebih memprihatinkan, lanjut Giay, dalam suasana kekerasan yang terus terjadi, Negara melalui aparat keamanan sepertinya tidak ada untuk menjalankan amanatnya melindungi umat Tuhan.
“Kalaupun ada, mereka adalah pelaku yang kebal hukum, bahkan terkesan aparat ikut bermain dan peran memperkeruh situasinya, alias pagar makan tanaman,” tegas Giay.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Yoman menambahkan, Gereja selama ini prihatin dengan insiden-insiden kekerasan yang berujung pada impunitas, atau kebal hukum bagi pelaku kekerasan, terutama aparat keamanan.
Yoman merincikan beberapa insiden kekerasan yang terjadi di tahun 2014, seperti adanya pembiaran terhadap konflik dan perang suku di Timika, di Januari 2014; Insiden di Pasar Youtefa, pada tanggal 02 Juli 2014, yang mana aparat keamanan bertindak brutal dan menewaskan lima orang mahasiswa; Peristiwa tanggal 28 Juli 2014 yang terjadi di Lani Jaya, yang menurut warga jemaat, berawal dari aparat Polisi yang hendak menjual amunisi dan senjata kepada TPN/OPM, lalu terjadi baku tembak yang menelan korban.
Kemudian, insiden penangkapan dan penyiksaan Robert Yelemaken (16) dan Onny Weya (23), pada tanggal 08 Agustus 2014, di Manokwari, Papua Barat. Juga insiden penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan kilat terhadap Ketua KNPB Sorong Raya, Mathinus Yohame (26), yang hingga kini tidak jelas pengungkapannya.
Kemudian berlanjut insiden tanggal 22 Agustus 2014, Korea Wakerkwa (kepala suku) dibunuh di Timika, yang awalnya menurut masyarakat aparat keamanan karena mencurigai korban sebagai pendukung TPN/OPM di Lani Jaya. Berikutnya, tanggal 06 September 2014, Polres Keerom-Arso, tidak mengawal massa sehingga terjadi insiden pembakaran 21 rumah warga, dan sejumlah rumah lainnya di rusak massa.
Berikutnya, tanggal 15 September 2014, terjadi pemaksaan kehendak oleh pihak Polisi yang memaksa Jemaat Kingmi Haleluyah, Entrop, Jayapura Kota, untuk penggunaan fasilitas Gereja dalam rangka penyambutan dan pengukuhan Kapolda Papua yang baru secara adat Papua.
Tindakan kriminalisasi dan teror terhadap Pengacara HAM, seperti Olga Hamadi, 19 September 2012 di Wamena, Gustaf Kawer, 12 Juni 2014 di Jayapura dan Anum Siregar, 16 September 2014 di Wamena. Dan yang terakhir, tanggal 18 September 2014 lalu, terjadi penembakan terhadap Videlis Jhon Agapa di Jalan Trans Nabire-Illaga, KM 74, menurut masyarakat, korban ditembak oleh aparat keamanan.
“Masih banyak lagi peristiwa lain yang tidak dicatat di sini. Tapi dari semua yang kami sebutkan diatas, terjadi impunitas, siapa pelaku kekerasan, dan apa motifnya tidak pernah diungkap oleh aparat kepolisian, ini ada apa?” ujar Yoman.
“Kami sebagai Gereja Papua dan Jemaat terus-menerus hidup dalam kondisi seperti ini sejak tahun 1960-an. Artinya, Papua telah dan terus dikelola sebagai situs kekerasan dan situs pertumpahan darah anak negeri oleh berbagai kepentingan, Jokowi harus memperhatikan persoalan ini,” ujar Yoman.
OKTOVIANUS POGAU
sUMBER ; WWW.suarapapua.com