Aksi Bakar Draft Otsus Plus (Jubi/Aprila) |
Abepura, Jubi – Perjuangan Lukas Enembe, Gubernur Papua untuk
mengesahkan RUU Otonomi Khusus Plus tidak semudah yang dibayangkan.
dari Papua hingga di Jakarta, Enembe dan tim asistensinya menghadapi
sejumlah cibiran, cacian dan penolakan.
Penolakan pertama datang dari rakyat Papua, ketika Lukas Enembe
melontarkan ide Otsus Plus. Penolakan datang dari masyarakat adat, LSM,
pemuda dan mahasiswa.
LSM pemerhati masalah Papua menuding Enembe bersama timnya telah meng copy paste atau
menyotek draf UU pemerintah Aceh. Majelis Rakyat Papua telah mengakui
tindakan menjiplak ide itu. “MRP Temukan Draft Otsus Plus Papua Copy
Paste UU Pemerintahan Aceh,” sebagaimana dikutip bintangpapua.com.
MRP yang mengakui kelemahan itu secara halus bersama masyarakat adat
menolak ide UU pemerintah Papua. Masyarakat adat bersama MRP yang
melakukan evaluasi Otsus menghasilkan dua rekomendasi.
Pertama, Otonomi khusus dinyatakan gagal total untuk membangun Papua.
Kedua, otonomi khsus plus dilaksanakan setelah dialog Papua Jakarta
yang difasilitasi pihak ketiga yang netral.
Pemerintah provinsi Papua tidak pernah peduli dengan keputusan rakyat
itu. Lukas Enembe memaksakan kehendak, meletakan draf idenya ke mulut
akademisi Uncen. ada indikasi tentang akademisi yang “melacurkan”
kapasitasnya, oportunis dan berusaha melegitimasi kehendak elit
politik Papua atas nama rakyat.
Ketika para akademisi berusaha melegitimasi draf, terjadi penolakan
mahasiswa melalui demonstrasi. Akademisi Uncen tidak menghiraukan
demontrasi mahasiswanya. Malah mahasiswa yang berdemonrasi dibiarkan
berteriak, dibiarkan objek pelampiasan egoisme kepolisian.
Kita ingat, Yason Ngelia yang menjadi motor pengerak demontrasi
mahasiswa menolak otsus Plus pun ditahan polisi. Polisi menjebloskan ke
sel hingga mengadukannya ke meja hijau dengan masalah internal kampus
yang sepele.
di Jakarta, Lukas dan timnya menghadapi begitu banyak penokan dan
pertanyaan dari pemerintah pusat. Pemerintah Pusat berusaha memangkas
sejumlah pasal penting dalam draf yang terdiri 456 pasal itu.
Pemangkasan itu berujung penolakan. Pemerintah pusat melalui Komisi
II DPR RI mempertanyakan proses melahirkan draf otonomi khusus plus.
Apakah proses melibatkan rakyat Papua atau kehendak elit pilitik?
Pertanyaan itu menjadi satu Indikasi penolakan pengesahan draf UU
pemerintahan Papua.
Pemangkasan hingga indikasi ancaman penolakan itu membuat ketua MRP,
Timotius angkat bicara. “Kami tidak meminta uang. Kami meminta
kewenangan tetapi mengapa pemerintah pusat mencurigainya,”kata Ketua
Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murid, di Kantornya, di Kotaraja,
Kota Jayapura, Papua, Jumat (26/9).
Pemerintah pusat tidak rela memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah lantaran curiga. Pusat curiga dengan pasal Partai Politik Lokal
dan pasal yang mengatur satu MRP. Pasal-pasal itu terancam dihapus.
Kalau dihapus, menurut Murib, ada ketakutan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat takut pasal-pasal itu mengancam keutuhan wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia. “Kenapa pemerintah pusat takut dengan satu
MRP?”tanya Murib.
Berhubungan dengan penghapusan partai lokal, Murib menilai ada
diskriminasi politik. Politik rakyat Aceh dan rakyat Papua dalam
pemerintah Indonesia. Mengapa ada Partai lokal Aceh, Papua tidak ada?.
“Partai Lokal Papua harus ada,”kata Murib tegas.
Penghapusan itu, nilainya, adalah akibat ketakutan pemerintah Pusat
namun menjadi ketakutan pula bagi orang Papua. Orang Papua akan tetap
berada dalam situasi terpuruk. Orang Papua akan terus miskin di atas
kekayaan alam yang berlimpah.
Bila orang Papua terus berada dalam kemiskinan, satu kelemahan besar
bagi pemerintah Indonesia di mata publik lokal, Nasional dan
internasional. Kalau, Pemerintah Indonesia tidak mampu mensejahterakan
orang Papua yang kaya raya akan hasil alamnya,”mestinya pemerintah
Indonesia harus malu,”tegas Murib.
Philipus Robahak, Aktivis gerakan mahasiwa Pemuda dan Rakyat (GempaR)
Papua, disahkan ataupun ditolak, sama-sama kerugian bagi orang Papua.
Orang Papua tidak akan pernah menikmati hasilnya. Orang Papua kembali
menikmati situasi masa otonomi khusus no 21 tahun 2001.
Drama UU pemerintah Papua menjelaskan kepada kita jelas bahwa ada
perbedaan keinginan. Keiginan rakyat Papua berbeda dengan kepentingan
elit Politik Papua. Elit Papua berbeda dengan elit Jakarta.
Perbedaan kehendak itu membuat kita terus berdebat. Waktu debat kita
semakin panjang. Persoalan yang hendak kita atasi pun, malah terus
menumpuk.
Kalau terus berdebat, kapan kita akan membangun Papua? Kalau kita
terus berdebat, kapan kita berhenti berdebat? Kalau kita terus saling
mencurigai, kapan kita saling percaya?(Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com