Pages

Pages

Minggu, 31 Agustus 2014

AI MINTA INDONESIA MEMBUKA RUANG BEREKSPRESI DI PAPUA

Ilustrasi. (IST)
Jayapura, 30/8 (Jubi) – Amnesty Internasional (AI) meminta pihak berwenang Indonesia agar  membuka ruang berekspresi di Papua dan menghentikan semua bentuk represi atau serangan terhadap kebebasan berekspresi di Bumi Cenderawasih.

Juru kampanye Amnesty Internasional untuk Indonesia, Josef Roy Benedict, dalam pesan elektroniknya yang diteruskan ke media ini mengatakan, hak atas kebebasan berekspresi, beropini, dan berkumpul secara damai dijamin oleh konstitusi Indonesia dan Kovenan Internasional hak-hak sipil dan politik.

“Pasukan keamanan Indonesia harus mengakhiri serangan-serangan terhadap kebebasan berekspresi di wilayah Papua, seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, yang menjadi gambaran dari lingkungan represif yang dihadapi oleh para aktivis politik dan jurnalis di Papua, dan impunitas yang terus berlanjut bagi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di sana,” kata Josef Roy Benedict melalui pesan elektroniknya, Sabtu (30/8).

Menurutnya, akhir-akhir ini suasana represif sangat terlihat nyata terjadi terhadap aktivis politik, jurnalis, maupun pegiat HAM di Papua. Padahal yang mereka lakukan hanya sebuah bentuk kebebasan berekspresi.

Amnesty International juga menyerukan pihak berwenang Indonesia mencabut atau paling tidak mengamandemen produk hukum yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk Pasal 106 dan 110 KUHP, agar mematuhi hukum dan standard-standard  HAM internasional.

“Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun terkait status politik dari provinsi mana pun di Indonesia, termasuk menyerukan kemerdekaan. Namun, organisasi kami percaya hak atas kebebasan berekspresi juga mencakup hak untuk mengadvokasi secara damai referendum, kemerdekaan, atau solusi politik lainnya,” ujarnya.

Dikatakan, serangan terhadap kebebasan berekspresi harus berakhir. Pihak berwenang harus melakukan investigasi yang cepat, menyeluruh, kompeten, dan imparsial.

“Pelaku kejahatan-kejahatan semacam ini harus dibawa ke hadapan hukum di persidangan yang adil tanpa menggunakan hukuman mati, dan para korban dan keluarga mereka harus diberikan reparasi,” katanya.

Sebelumnya, Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) menyampaikan pernyataan keprihatinan terhadap pembatasan kebebasan berekspresi di Papua. Pernyataan ini disampaikan ICP ketika sidang tahunan Dewan HAM PBB di Jeneva, 11 Juni 2014.

Situasi pembatasan kebebasan berekspresi ini mendorong ICP merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan  amandemen KUHP Indonesia sehingga mematuhi semua perjanjian hak asasi manusia, terutama kriminalisasi dan larangan penyiksaan dan pembatalan Pasal 106 dan 110.

“Selain itu, pemerintah Indonesia diharapkan meninjau kebijakan kepolisian di Papua dan pelatihan pasukan keamanan untuk memastikan bahwa hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sepenuhnya dihormati,” kata Budi Tjahjono, anggota ICP dari Fransiskan Internasional saat menyampaikan pernyataan ICP kepada Dewan HAM PBB kala itu. (Jubi/Arjuna)