Saat terjadi penghadangan terhadap massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Terlihat pimpinan FKPM, M. Suhud berusaha untuk merampas poster Bintang Kejora. Foto: MS |
AMP YOGYA, 01/07/2014 --
Ratusan personil dari gabungan Polisi, Brimob lengkap dengan atribut
mereka, bersama organisasi masyarakat bernama FKPM yang mengaku utusan Sri Sultan Hamengkubuwono X Yogyakarta
menghadang massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di jalan Kusuma Negara,
Yogyakarta, ketika AMP berjalan kaki menuju Titik Nol KM, dalam rangka
peringati HUT ke-43 proklamasi kemerdekaan Papua 1 Juli 1971, hari ini,
Selasa (01/07/14).
Sebanyak 10 Truk
Sabhara dan 15 mobil patroli Polisi dan Brimob berkolaborasi
menghentikan demo damai AMP Komite Kota Yogyakarta. Ada 6 truk sabhara
disiagakan di dekat Titik Nol KM, titik yang dituju massa AMP yang
beranggotakan lebih dari seratusan mahasiswa Papua ini.
Dua truk Sabhara
bersama 2 mobil patroli biasa bersama 30-an anggota menahan massa AMP
dekat asrama Papua Kamasan I, Yogyakarta. Tak jauh dari tempat itu,
depan Istana Pakualaman, terlihat sebuah truk Sabhara dengan personil
polisi penuh siaga tepat di samping jalan.
Sementara itu, beberapa
warga berpakaian hitam, berikat kepala khas Yogyakarta, datang dalam
jumlah seratusan lebih, menghadang massa AMP sambil Menyeriakkan Allah
Wakbar yang sebelumnya ditahan polisi. Kelompok berseragam hitam ini
mengaku dari FKPM dan menjadi utusan sultan.
"Kami utusan dari
Sultan. Di Jogja tidak boleh ada separatis," teriak Muchamad Sahud,
pimpinan FKPM melalui pengeras suara tepat di depan massa pendemo yang
dihentikan paksa polisi ketika berjalan kaki menuju titik aksi.
FKPM terlihat membentangkan spanduk besar bertuliskan, "Yogyakarta Anti Anarkisme" berhadap-hadapan
dengan massa aksi AMP. Berkaitan dengan ini, Abbi D. koordinator
lapangan aksi berteriak, "Kami ini aliansi mahasiswa Papua yang menuntut
Papua merdeka. Bukan kelompok anarkis. Kami demo dengan damai. Jangan
halangi kami. Jangan labeli kami!".
Ketua IMPA Papua, Aris
Yeimo, beberapa waktu lalu menjelaskan, ada kelompok tertentu yang
terkesan sedang berusaha menempatkan mahasiswa Papua di Yogyakarta
sebagai pembuat onar, preman, pemabuk, pebuat anarkis, dan dengan
isu-isu negatif yang lain.
Selanjutnya, dari
tempat penghadangan, Sahud juga meminta massa aksi menyerahkan gambar
Bendera Bintang Kejora kepadanya sebagai simbol separatis. Ia juga
mendesak masa aksi membubarkan diri dan tidak lagi melakukan
kegiatan-kegiatan separatis, seperti demo damai. Sahud berusaha merebut
atribut aksi.
Para polisi diam saja,
dan kemudian berkolaborasi bersama FKPM mendesak massa aksi untuk tidak
melanjutkan aksi hingga ke titik Nol KM. Massa aksi tetap bersikeras,
tetapi anggota FKPM terlihat lebih emosional dan Omonganya diluar
konteks menghadapi masa aksi AMP.
Agustinus D.
koordinator umum aksi mempertanyakan status kota Yogyakarta yang
memperkenalkan diri di nusantara dan dunia sebagai kota pluralisme yang
menghargai perbedaan dan menjungjung demokrasi.
"Suara kami dibungkam
utusan sultan di Yogyakarta, ratusan personil kepolisian dan Brimob.
Saya pikir mereka ratusan. Suara kami dibungkam di kota yang katanya
kota dengan masyarakatnya yang menghargai perbedaan dan menjunjung
demokasi," tegas Agus.
Agus mengaku tak mengerti dengan tindakan polisi membantu ormas membubarkan aksi damai kami.
"Kami sudah memberitahu
soal demo ini kepada polisi, dan mereka sudah tahu. Seperti biasa, saya
pikir, mereka akan mengamankan kami sampai kami selesai demo. Ternyata
kami dipaksa mundur," jelas Agus.
"Kami tidak mau ada
separatis di kota ini. Semua separatis harus angkat kaki dari kota
Yogyakarta," begitu Sonny, anggota AMP yang turut serta dalam aksi ini
meniru kata-kata anggota FKPM kepada mahasiswa Papua dalam aksi.
Menurut Sonny, tindakan
ini jelas-jelas sudah bertentangan dengan prinsip pokok demokrasi dan
hak-hak manusia dan kelompok manusia untuk menyampaikan pendapat di muka
umum tanpa ada diskriminasi.
Beberapa anggota polisi ketika diminta kesediaan untuk diwawancarai media ini tampak tak acuh langsir majalahselangkah.com.
Kami
menuntut kepada Indonesia dan PBB untuk memberikan kebebasan kepada
rakyat Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai solusi
demokratis.
Kami juga minta
hentikan semua aktivitas eksploitasi melalui perusahaan-perusahaan asing
seperti Freeport, LNG, PB, Tangguh, Mecdo, Corindo, dan yang lainnya. Juga menyerukan untuk menarik Militer ornanik dan non organik dari Papua.
Terkait penghadangan
ini, dalam waktu dekat kami bekerja sama dengan Pengurus IPMA Papua
akan audensi dengan pihak kesultanan mengenai kebebasan menyampaikan
pendapat yang mulai dibungkam dan terkait isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini di Yogyakarta tentang mahasiswa Papua.
Kami masih pegang kata Istri Sri Sultan Hamengkubuwono X Yogyakarta tahun 2011 ketika itu DIY mintah Refreedom bahwa Papua masuk dalam NKRI lewat Yogyakarta dan Keluar pun dari Yogyakarta .(AMP YK/Telius Yikwa)
Sumber : http://nblo.gs/Y6o9z