Foto: Sejarah Papua Barat/Dok. ist/NN |
BAGIAN I
Penemuan Pulau
Papua dan Pemberian Nama
Menurut
sejarah Kuno, pada masa-masa kerajaan, bahwa Papua pernah dikunjungi oleh
pedagang China pada abad ke 14, dan menamai pulau Papua dengan nama TUNG-KI atau JANGGI. Kemudian, Papua telah diperkenalkan
oleh Pedagang China kepada Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Indonesia pada abad ke 13 dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, Indonesia pada abad ke
14.
Menurut sejarah KUNO bahwa Papua juga telah tercatat dalam Kitab
Negara-Kertagama, dibawah kekuasaan Raja Majapahit pada tahun 1365, dimana Raja
Mpu Prapanca membangun jalur-jalur perdagangan dan dapat memberikan dua bagian
wilayah orang Papua yaitu, ONIN dan SERAN dengan maksud untuk mudah control dari Jawa. Disamping itu
kerajaan Islam pertama didirikan di WAIGAMA Kepulauan Misol pada tahun 1350, sebagai jalur perdagangan dengan Arab. (Hubungan tidak tetap dan terbatas).
Selanjutnya, dalam tahun 1511 Papua telah dikunjungi oleh Antonio 'de Abreu, dan menamai pulau Papua dengan nama 'Ilha de Papoia'. Kemudian diikuti oleh Radriguez dalam tahun 1517.
Selanjutnya,
dalam tahun 1521 Antonio Pigafetta seorang Rekor Dunia atas Megallan’s Epic
World atau seorang pemenang navigator laut dalam perjalanan jauh telah menerima
informasi tentang Papua, disamping memuat rempah-rempah di Ternate bahwa ada Raja
yang namanya RAJA PAPUA, yang sangat berkasa serta kaya dengan emas dan hidup
di dalam Pulau itu.
Selanjutnya, pada
tanggal 20 Juni di tahun 1545 pulau Papua di kunjungi oleh ”Ynigo Ordize de Retes”,
seorang pelaut berkebangsaan Spanyol pada, saat dia mengelilingi dunia sambil
mencari rempah-rempah, dari ternate menuju Meksiko melalui jalur Pasific dan
singgah di Muarah sungai Mamberamo dan menamainya dengan nama Nova Guinea.
Setelah Ynigo
kembali ke Eropa, membuat laporan atas penemuannya. Kemudian para Ilmuwan
memplotnya dalam peta Dunia, dan memberi nama Pulau Papua menjadi New Guinea
pada tahun 1569.
Nama ini
berdasarkan hasil temuan Ynigo, atas ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa Papua
yang ada kesamaannya dengan orang-orang di Guinea, benua Africa. Resource:
Encylopaedie van Nederlandsch Indie (Tentang
Papua).
Selanjutnya, nama ini diplot
lagi dalam peta Dunia menjadi dua bagian, sesuai pembagian wilayah dari dua
colony, yaitu Belanda dan Inggris. Kemudian setelah Belanda mulai menguasai
Papua dari tahun 1908, nama Papua diplot lagi
menjadi West
Nederlands New Guinea di bagian Barat (dibawah kekuasaan Belanda) dan Papua New Guinea di bagian Timur
dibawah kekuasaan Inggris.
Nama ini
bertahan hingga tahun 1963, dimana Belanda tinggalkan Papua Barat dan Indonesia
mulai melakukan pendudukan di Tanah bangsa Papua melalui INVASI MILITER besar-besaran,
dengan jalan membumi-hanguskan lingkungan hidup penduduk pribumi serta membunuh
dan menghilangkan paksa nyawa-nyawa orang pribumi dari bangsa Papua, yang
sebenarnya melanggar Hak-Hak Asasi Manusia dari Bangsa Papua di bagian Barat
Pulau New Guinea.
Selanjutnya,
hubungan politik dengan Sultan Tidore resminya dalam tahun 1649 pada masa VOC (Dutch Indies Company) atas pembagian laut Tidore. Untuk
menghalau VOC, Sultan Jamaluddin memintah bantuan kepada Mambri Kurabesi.
Kurabesi adalah seorang pemimpin perang yang terkenal dari pulau Waigeo, Papua.
Kurabesi berangkat dengan 24 perahu perang, dibawah komandonya
dan berhasil menghalau VOC. Atas bantuan dari Mambri Kurabesi ini, maka sebagai
penghargaan, Sultan Jamaludin memberikan anak gadisnya yang bernama Bongky di
kawinkan dengan Mambri Kurabesi.
Dari hasil perkawinan inilah orang Papua dari Waigeo dan Raja
empat banyak menetap di Morotai dan kawain-mengawin sampai hari ini. Hubungan
ini adalah terbatas, dan tidak menyeluruh atas negeri Papua.
Selanjutnya, pada tanggal 24 Agustus 1828, Pemerintah Belanda telah
memproklamasikan bahwa Papua adalah teritorial colony-nya, dan mulai membangun
pos perdagangan di Manokwari. Nama pos tersebut adalah ” Fort du Bus”.
Dengan Demikian,
maka tidak ada hubungan dengan Indonesia. Klaim Indonesia atas Papua adalah
pembohongan. Mengapa? Karena
fakta historisnya tidak terbukti.
Yang dimaksud
adalah: Prasasti Hubungan Indonesia Melalui Penyebaran Agama Islam, yang selalu
Indonesia kobar-kobarkan, sama sekali tidak ada pembenaran.
Dari hasil temuan
para ahli-ahli ilmuwan dunia di atas, maka memberikan dukungan penuh bahwa
Papua adalah Papua yang belum pernah tersentu oleh siapapun manusia di Dunia,
sebelum Ynigo Ordiz de Retes dan Missionaris berkebangsaan Jerman (Ottow dan
Geisler) datang di atas tanah Bangsa Papua pada tanggal 5 February 1855.
Selengkapnya, silakan membaca
buku-buku sejarah Papua yang telah dubukukan oleh kaum intelek orang Papua benar
dan bukunya Prof. Pieter J. Drooglever dengan judul ”West Papua An Act of Free Choice”. [1]
BAGIAN II
Kedatangan
Missionaris Eropa di Papua Barat
Pada tanggal 5 February 1855, dua orang Missionaries, berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geissler) menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari-Papua, dan berkomitmen untuk bekerja melayani umat Tuhan di Tanah Papua. Ottow dan Geissler, telah melakukan missi penginjilan di Papua dari tahun 1855 sampai tahun 1894 (39 tahun).
Kemudian mereka menutup pos penginjilan di Papua, karena Belanda telah menguasai perdagangan di Papua. Dan injil Kristus tetap dilanjutkan oleh orang-orang Papua Asli, yang telah menerima Injil Kristus sebagai Juru Selamat sampai kini.
Fakta membuktikan bahwa Papua Barat yang terkenal penuh misteri dan manusianya yang terkenal suka perang, yang hidup dibawah konfederasi suku-suku itu telah dapat ditakhlukan oleh Injil Kristus.
Papua Barat adalah tanah yang diberkati oleh Sang Maha Pencipta khalik langit dan bumi dengan segala isinya. Tuhan menciptakan Papua Barat dan menjadikan manusia Papua menurut gambar dan rupa-Nya (Keluaran 28:). Maka hanya Misi Penginjilan yang dapat memanusiakan orang Papua, karena Tuhan telah menubuatkan-Nya.
Nubuat Tuhan adalah “Tuhan Berfirman bahwa beritakan Injil Kristus ke selurh dunia, sampai ke ujung bumi”. Dengan dasar Firman Tuhan ini, maka Injil Kristus telah berhasil menakhlukan Papua Barat.
Pad tanggal 16 Mei 1895 Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Kerajaan Inggris telah membagi Pulau Papua menjadi dua bagian, dengan garis (Lat. 141ΓΈ 1' 47"), di Gravenhagen-Netherlands.
Pembagian ini dengan memberikan tanggung jawab masing-masing kepada kedua Negara yaitu, di Bagian Barat pulau New Guinea kepada Pemerintah Belanda dan di bagian Timur pulau New Guinea diberikan kepada Pemerintah Australia. [2]
BAGIAN III
Kehadiran Belanda
di Papua Barat
Setelah Pelayanan Missionaris Jerman (Ottow dan Geissler), Belanda telah membagun perluasan pos-pos
perdagangan di Papua. Dengan demikian Belanda benar-benar menguasai bagian
Barat pulau New Guinea.
Dalam tahun 1898 Parlemen Belanda membagi Papua Barat, yang mana
merupakan dibawah control juristisi Garesidenan Maluku kedalam dua bagian
distrik dengan menamainya menjadi New Guinea Utara (North Coast) dan New Guinea Selatan (West & South Coast).
Pos
perdagangan yang telah dibuka di Manokwari dalam tahun 1894
dapat dirobah menjadi pos Pemerintahan dalam tahun 1901 untuk afdeling New
Guinea Utara, pos lainya di Fakfak untuk Updeling New Guinea Selatan.
Dalam
tahun 1902, New Guinea Selatan di bagi lagi menjadi dua bagian yaitu, Updeling
New Guinea Barat (Fakfak) dan Updeling New Guinea Selatan (Merauke). Karena
Belanda membagi Papua Barat sedemikian, maka Hak Tidore menuntut pembayaran
kompensasi kepada Sultan Tidore senilai f 6.000.
Dalam tahun 1903, Pemerintah Kerajaan Belanda telah mulai
melakukan kolonisasi di wilayah Papua Barat. Pertama, melalui pengiriman
orang-orang Jawa ke Merauke untuk menetap disana.
Dalam
tahun 1904, Pemerintah Hindia Belanda telah melakukan kontak hubungan
teritorial dengan penelitian di Papua Barat dan menyimpulkan bahwa hubungan
antara Sultan Tidore dan Papua Barat merupakan sebatas teoritikal, (H. Colijn,
1907:13). HOLLANDIA (sekarang Jayapura) yang mana telah menjadi terpenting
dalam perang dunia II, telah dimekarkan menjadi Sub Distrik (Sub Afdeling) New
Guinea Utara (Manokwari).
Mengikuti
isu Partai Komunis Indonesia di Jawa dan Sumatra dalam tahun 1926/1927,
Pemerintah Hindia Belanda dari komplitkasi 1.308 dengan 823 keluarga telah di
penjarakan dan telah dikirim oleh Gubernur de Groeff ke Camp, Penjara Digoel di
Tanah Merah dekat Merauke.
Pada
tanggal 28 October tahun 1928, di Batavia Organisasi Pemuda Indonesia telah
dapat melakukan sebua ikrat yang disebut ”Sumpah Pemuda Indonesia”. Dalam
Sumpah Pemuda Indonesia ini, yang termasuk Indonesia adalah: Jong Java, Jong
Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain pulaunya. Papua tidak termasuk
dalam Sumpah Pemuda Indonesia, maka cecara otomatis Papua tersendiri dari
Indonesia atau bukan Indonesia. Fakta ini membuktikan bahwa orang Papua tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan orang Indonesia.
Dalam
tahun 1931, Belanda mulai melakukan explorasi Minyak di Papua Barat. Pada tahun
yang sama, dalam laporannya oleh wakil Kerajaan Belanda untuk Maluku ditujukkan
kepada Pemerintah di Batavia (JAKARTA sekarang) dan B.J. Hoga bahwa orang-orang
pribumi Papua Barat bukan bagian dari TIDORE, dan berkonfirmasi kepada wakil
Kerajaan Belanda di Maluku bahwa hanya Raja Ampat, Onim dan Kaimana (J.M.J,
Brantjes, 195:26). Dengan demikian, maka klaim Tidore atas Papua Barat tidak
terbukti.
Dalam
tahun 1935, Pemerintah Jepang mulai melakukan aktivitas Intelejen pada pra
Perang Dunia ke II di Papua Barat, melalui agen perusahaan komersial. Nama
Perusahaan dimaksud adalah ” Nanyo Kahatsu Kabushiki Koisha” di Manokwari.
Pada
tanggal 09 Maret 1942, Papua Barat telah di invasi dan pala Tentara Jepang
memulai melakuka Perang Dunia II di territorial ini. Jepang telah melakuka
pendudukan selama dua tahun di Papua Barat.
Pada
tanggal 30 July 1944, Allied Forces dibawah Komando Gen. MacArthur menyerang
pala tentara jepang dengan penuh kekuatan di Sausapor, Werur, Amsterdam dan
Pulau Middleburg dan sekaligus mengakhiri pendudukan Jepang di Papua Barat,
satu tahun sebelum orang Indonesia memproklamasikan kemerdekaan mereka.
Mengikuti
penyerahan Jepang, Administrasi Cipil di Papua dengan segera transfer untuk
control kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA) oleh Allies.
Kesimpulannya,
pasukan Amerika yang dipimpin oleh MacArthur ini telah membantu sekutunya
(Belanda). Jepang dan Amerika di Papua sebagai panggalan persinggahan, dalam
rangka menhadapi perang Dunia ke II.
Papua
adalah murnih daerah jajahan Belanda sebagaimana dapat dipelajari dalam
buku-buku Sejarah yang benar, namun versi sejarah Indonesia adalah sejarah
rekayasa dengan penuh manipulasi, yang mana dapat menghilangkan fakta sejarah
kebenaran.
Ingat,
kebenaran tidak pernah di kalahkan oleh muslihat manusia, namun kebenaran
selalu dinyatakan dalam kehidupan manusia.
Dengan
demikian, maka manipulasi-manipulasi, rekayasa-rekayasa kaum penindas di Papua
Barat akan dinyatakan pada waktunya, sesuai kalender Tuhan yang mencitakan dan
menjadikan orang Papua.[3]
BAGIAN IV
The United Nations Organization
(Organisasi PBB)
On April 25, 1945, the Conference opened at San Francisco.
More than 200 delegates from 50 nations assembled at the War Memorial Opera
House, with the US Secretary of State, Settinius in the chair. After two months
of labor, The Charter Of the United Nations was completed. It was to come into
force when ratified by the United States, Great Britain, Russia, France, and
China. On June 26, 1945, President Truman made the closing speech in San
Francisco, and sent the Charter to the Senate on at once. On July 28, 1945, the
Senate ratified the Charter with decisive vote of 89 to 2. One of the purposes
fo the UN is 'to develop friendly relations among nations based on respect for
the principle based on EQUAL RIGHTS and SELF-DETERMINATION,' as specifically
stipulated in Article 73 (a) and (b) of the Charter.
Explanation (Penjelasan):
-
Dalam Konferensi Internasional di San
Fransisko pada tanggal 25 April 1945, yang di hadiri 200 delegasi dari 50
Negara telah membuat pernyataan dan melengkapi Badan Organisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Disana telah memberikan kewenangan khusus kepada lima Negara
Anggota PBB, sebagai pemekang Hak Veto. Negara-Negara yang dimaksud adalah:
Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, Russia, Francis dan China.
-
Pada tanggal 26 Juni 1945, Presiden Truman
membuat pembicaraan tertutup di San Fransisko, dan mengirim hasil pernyataan
yang telah ditetapkan pada tanggal 25 April 1945 di atas kepada Senat Amerika
Serikat sekali.
-
Pada tanggal 28 Juli 1945, Senat Amerika
Serikat telah dapat meratifikasi pernyataan ini dengan 89 suara. Satu pemahaman
bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa membagun dasar hubungan persahabatan antar
Bangsa-Bangsa dengan respek untuk prinsip yang mendasar atas Hak-Hak yang sama
dan Penentuan Nasib Sendiri, terlebih khusus
kondisi Negara dalam article 73 (a) and (b) pada pernyataan ini.
-
Bagian ini adalah menjadi landasan Hukum Positif
bagi perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia di muka bumi, yang mana merupakan
tanggung jawab Individu serta lembaga-lembaga swasta dan terutama Pemerintah
dalam Negara.
-
Berdasarkan keputusan ini, maka penghargaan
terhadap pluralism dan penegakkan atas Hak-Hak Asasi Manusia dapat menjadi
perhatian serius dan setiap orang secara individu maupun organisasi swasta dan
Pemerintah di setiap Negara wajib melaksanakan instrument-instrumen HAM, guna
dapat memberikan perlindungan bagi Hak-Hak Asasi dari setiap orang. [4]
BAGIAN V
United Nations Decolonization Program (Program Dekolnisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa)
As a realization of
Article 73 (a) and (b) of the Charter, upon UN General Assembly's request, a
colonial territorial assessment was carried out in 1946 by eight states
(Australia, Belgium, Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK and the USA).
Based on the assessment 72 (seventy two) colonies throughout the world were
formally declared by the United Nations as 'NON SELF-GOVERNING TERRITORIES,'
including West Papua, which had to be DE-COLONIZE. As a result, the UNGA
adopted Resolution 66 (1) of December 14, 1946, containing a de-colonization
list. Based on the above resolution, immediate preparatory steps toward
independence of the colonies were taken by the colonizing states under control
of the United Nations. A number of UNGA Resolutions were adopted in this regard
respectively afterwards.
In the South Pacific
region, conducted in Canberra in 1947. The South Pacific Commission. The SPC
was initially aimed to establish and strengthen international cooperation in
promoting advancement of the well-being of the peoples in the South Pacific
Islands in general preparation toward eventual self-determination, in line with
the UN Decolonization program.
Explanation
(Penjelasan):
-
Berhubungan dengan article
73 (a) dan (b) dalam Konferensi tanggal 25 April 1945, Majelis Umum PBB memitah
kepada Negara-Negara agar segera keluar dari teritorial Colonial dalam tahun
1946. Permintaan Majelis Umum PBB ini terutama kepada 8 Negara anggota PBB
seperti, ” (Australia, Belgium, Denmark, The Netherlands,
New Zealand, UK and the USA)” untuk menjadi Hakim dan contoh bagi Negara-Negara
Colonial lain. Tujuh puluh dua (72) daerah
jajahan harus keluar dari penjajahan dan diberikan kemerdekaan penuh, sesuai
Deklarasi PBB atas wilayah-wilayah tak berpemerintahan, termasuk Papua Barat,
yang mana masih dalam de-colonisasi. Hal ini atas hasil, adopsi resolusi 66 (1)
Majelis Umum PBB (UNGA) tertanggal 14
Desember 1946 berdasarkan daftar de-colonisasi PBB.
-
Berdasarkan resolusi
Majelis Umum PBB di atas, maka Pemerintah Belanda telah dapat melaksanakan
persiapan Negara Papua. Hal ini telah dapat terbukti dari upacara perdana,
bersama antara Pemerintah Belanda dan wakil-wakil bangsa Papua yang berdomisili
di bagian Barat pulau New Guinea pada tanggal 1 Desember 1961.
-
Selengkapnya akan dapat
dijelaskan pada bagian VII dan VIII, oleh karena itu para pembaca diberikan
kesempatan agar menyesuaikan diri dan dapat di pelajarinya seksama.[5]
BAGIAN VI
Declaration on the Granting of Independence
to the Colonials Countries and Peoples. A/RES/1514 (XV) 14 December 1960
The
General Assembly
Mindful
of the determination proclaimed by the peoples of the world the Charter of the
United Nations to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity
and worth of the human person, in the equal rights of men and women, and of
nations large and small and to promote social programs and better standards of
life in larger freedom.
Conscious
of the need for the need for the creation of conditions of stability and
well-being and peaceful and friendly relations based on respect for the
principle of equal rights and self-determination of all peoples. and of
universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms
for all without distinction as to race, sex, language or religion.
Recognizing
the passionate yearning for freedom in all dependent peoples and the decisive
role of such peoples in the attainment of their independence.
Aware
of the increasing conflicts resulting from the denial or of impediments in the
way of the freedom of such peoples, which constitute a serious threat to world
peace.
Considering
the important role of the United Nations in assisting the movement for independence
in Trust and Non-Self-Governing Territories.
Recognizing
that the people of the world ardently desire the end of colonialism in all its
manifestations.
Convinced
that the continued existence of colonialism prevent the development of
international economic cooperation, impedes the social, cultural and economic
development of dependent peoples and militates against the United Nations ideal
of universal peace.
Affirming
that people may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and
resources without prejudice to any obligations arising out of international
economic cooperation, based upon the principle of mutual benefit and
international law.
Believing
the emergence in recent years of a large number of dependent territories into
freedom and independence, and recognizing the increasingly powerful trends
towards freedom in such territories which have not yet attained independence,.
Convinced
that all peoples have an inalienable right to complete freedom, the exercise of
their sovereignty and the integrity of their national territory.
Solemnly
proclaims the necessity of bringing to a speedy and unconditional end
colonialism in all its forms and manifestations.
And
this to end.
Declares
that:
·
The subjection of peoples to
alien subjugation, domination and exploitation constitutes a denial of
fundamental human rights, is contrary to the Charter of the United Nations and
is an impediment to the promotion of world peace and cooperation.
·
All peoples have the right to
self-determination; by virtue that right they freely determine their political
status and freely pursue their economic, social and cultural development.
·
Inadequacy of political,
economic, and social or educational preparedness should NEVER serve as pretext
for delaying independence.
·
All armed action or
repressive measures of all kinds directed against dependent peoples shall cease
in order to enable them to exercise peacefully and freely their right to
complete independence, and the integrity of their national territory shall be
respected.
·
Immediate steps shall be
taken, in Trust and Non-Self-Governing Territories or all other territories
which have not yet attained independence, to transfer all powers to the peoples
of those territories, without any conditions or reservations, in accordance
with their freely expressed will and desire, without any distinction as to
race, creed or colour, in order to enable them to enjoy complete independence
and freedom.
·
Any attempt aimed at the partial
or total disruption of the national unity and the territorial integrity of a
country is incompatible with the purposes and principle of the United Nations.
·
All states shall observe
faithfully and strictly the provisions of the Charter of the United Nations,
the Universal Declaration of Human Rights and the present Declaration on the
basis of equality, non-interference in the internal affairs of all States, and
respect for the sovereign rights of all peoples and their territorial
integrity.
Explanation (Penjelasan):
-
Berdasarkan Resolusi A/RES/1514 (XV)
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 14 December 1960 di atas,
maka Pemerintah Belanda berkewajiban dan bertanggungjawab atas Hak Menentukan
Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua yang berdomisili di bagian Barat pulau New
Guinea. Dalam hal ini, Belanda berniat baik untuk memberikan Kemerdekaan penuh
bagi Bangsa Papua, di bagian Barat Pulau New Guinea, namun niat baik Pemerintah
Belanda ini telah digagalkan oleh kepentingan imperalisme Amerika Serikat dan
Indonesia.
-
Uraian dalam bahasa Inggris sangat padat
dan jelas, maka para pembaca diberikan kesempatan agar dipelajari dengan
seksama dan se-efectivenya. [6]
BAGIAN VII
West Papua Decolonization
(Papua Barat De-colonisasi)
Human Resources Preparation:
In Resolution 845 (IX) of 22 November 1954,
the General Assembly invited Member States to extend generously to the
inhabitants of Non-Self-Governing Territories their offers of facilities, not
only for study and training of university standard, but in the first place, for
study at the post-primary level as well as technical and vocational training of
immediate practical value.
After noting the observations of UN Committee on Information,
the General Assembly adopted Resolution 1967 (XVI) on 19 December 1961. In this
resolution the General Assembly considered that the light of the Decolonization
on the Granting of Independence to Colonials Countries and Peoples, continued
in its Resolution 1514 (XV) of 14 December 1960, IMMEDIATE STEPS SHOULD BE
TAKEN TO TRANSFER ALL POWERS TO THE PEOPLES OF THE NON-SELF-GOVERNING
TERRITORIES WITHOUT ANY CONDITIONS OR RESERVATION, and that the rapid
preparation and training of indigenous personnel would help towards the
achievement of the purposes of Resolution 1514 (XV).
Territorial Government:
Days before sovereignty recognition by the Dutch government on
Indonesia in 1949, West Papua, known as Netherlands New Guinea was affirmed in
1950 as a special autonomy government, headed by a governor based on the
Netherlands Government's Official Gazette J.576, of December 22, 1949.
In the light of Resolution 1514 (XV) and other related
resolutions, West Papua's independence immediately underwent its preparatory
stages.
Long before
the adoption of Resolution 1514 (XV), the Netherlands government issued an
Official Gazette, Stattsblad J.599, January 10, 1949, for the establishment of
a West Papuan Council, consisted of a number of peoples' representatives, that
would function as a legislative body. However, due to special considerations
the plan was only brought into realization on April 05, 1961.
Based on NNG Govt. Official Gazette 1961 No. 6B (National Flag),
1961 No. 69 (National Anthem), and 1961 No. 70 (Flag Raising) of November 18,
1961, the West Papuan National Attributes were officially announced, and used
effectively on December 01, 1961.
The Dutch Government action to free West Papua infuriated
Soekarno. On December 19, 1961, Soekarno in a political rally in Yogyakarta
declared his national command, commonly know as the 'Triple Command of the
People' to annex West Papua.
Joseph Luns Connection
Joseph Luns, the Dutch Foreign Minister deliberately misled the
Dutch parliament in the 1950s by informing them that he had secured an
agreement with US Secretary of State, John F. Dulles, guaranteeing US support
for Holland in the event of armed conflict over the West Papua dispute (as was
admitted when interviewed by Dr. Paulgrain in 1981 in Brussels).
During the negotiations in 1962 that led to the government,
Luns' instructions to the Dutch representative, van Roijen, were so counterproductive
in helping to attain self-determination for the Papuans that van Roijen refused
to speak with Luns ever again.
With Bunker as mediator, the talks were an unending retreat by
the Dutch from their initial standpoint. Kennedies
Connection page revision: 0, last
edited: 27 Sep 2009, 01:16 GMT+0900 (880 days ago).
Explanation
(Penjelasan):
a.
Human Resources
Preparation (Persiapan Sumber Daya Manusia)
- Berdasarkan
Resolusi 845 (IX) pada tanggal 22 November 1954 Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengundang Negara-Negara Anggota PBB dan meminta dengan hormat
memberikan perhatian penuh kepada penduduk di wilayah-wilayah tak
berpemerintahan sendiri agar mengambil alih, dengan memberikan fasilitas, tidak
hanya untuk belajar dan traning pada standar Universitas, tetapi yang pertama di
tempatkan, untuk belajar pada tingkat utama yang lebih baik tekhnik dan training
kejuruan atas nilai praktis dengan segera.
- Setelah
mencatat atas pengamatan-pengamatan komite informasi PBB, Majelis Umum PBB
telah mengadopsi Resolusi 1967 (XVI) pada tanggal 19 Desember 1961. Dalam
Resolusi ini Majelis Umum PBB berkonsentrasi bahwa menerangi Decolonisasi dan
mengabulkannya atas kemerdekaan bagi
Wilayah-Wilayah jajahan dan Rakyatnya, berlanjut dalam Resolusi 1514 (XV) pada
14 Desember 1960, dengan segera mengambil langkah-langkah yang perlu melakukan
transfer semua kekuatan kepada rakyat pada wilayah-wilayah yang tak berpemerintahan
sendiri tanpa banyak kondisi atau reservasi, dan bahwa cepat bersiapan dan
traning pada personil pribumi atau orang-orang adat dapat membantu mereka ke
arah prestasi sesuai Resolusi 1514 (XV).
- Majelis
Umum PBB mempertegaskan kepada Negara-Negara Anggota PBB, agar wajib
melaksanakan semua keputusan dan penetapan melalui Deklarasi-Deklarasi atau pun
Kovenan-Kovenan Internasional serta Konvensi-Konvensi Internasional;
- Hal ini
termasuk Hak Menentukan Nasib Sendiri, sebagaimana dapat di jelaskan sesuai
resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB tentang De-Colonisasi, juga telah
ditetapkan pada Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sivil dan Politik dalam
Article 1 Paragraph 1, 2, dan Paragraph 3, yang telah disetujui bersama dalam
Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 serta dipertegaskan lagi
dalam Deklarasi PBB tentang Indigenous Peoples pada tanggal 13 September 2007,
dalam article 3 dan article 4;
- Semua
Dasar Hukum Hak-Hak Asasi Manusia yang telah dapat di jelaskan pada poin atau bagian
IV, V, VI, dan VII di atas, maka bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea mempunyai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri. Hak ini belum
terlaksan sesuai mekanisme PBB dalam penjelesaian Konflik atau wilayah Jajahan
tanpa berpemrintahan, maka Hak Menentukan Nasib sendiri bagi Rakyat Bangsa
Papua masih dan akan berlaku.
b.
Territorial Government
(Wilayah Pemerintahan)
- Hari-hari sebelum pengenalan atau pengakuan kedaulatan oleh
Pemerintah Belanda atas Indonesia dalam tahun 1949, Papua Barat diketahui
adalah Netherlands New Guinea, telah menyatakan dalam tahun 1950 menjadi
pemerintah otonomi khusus, di kepalai oleh seorang Gubernur yang didasarkan
Netherlands Government official Gazette J.576, pada tanggal 22 Desember 1949.
- Dalam semangat Resolusi 1514 (XV) dan
dihubungkan dengan resolusi-resolusi lainnya, maka dengan segera mempersiapkan
langkah-langkah kemerdekan Papua Barat.
- Dengan Adopsinya Resolusi 1514 (XV), Pemerintah Netherlands
mengeluarkan suatu Official Gazette, Stattsblad J.599, pada 10 January 1949,
untuk menetapkan Dewan Papua Barat, sebagai perwakilan rakyat, bahwa akan
berfungsi sebagai badan legislative. Bagaimana pun, sesuai perjanjian telah di
realisasikan pada 5 April 1961.
-
Berdasarkan pada NNG Govt.
Official Gazette 1961 No. 6B (National Flag atau Bendera Nasional) dan atribut
lainnya telah ditetapkan atau umumkan pada tanggal 1 Desember 1961.
-
Mendengar
persiapan bembentukan Negara serta umumkan atribut lainnya ini, maka Presiden
Indonesia (Ir. Sukarno) mengkampanyekan dan berpidato pada tanggal 19 Desember
1961 di Alun-Alun Utara kota Jogyakarta, untuk merebut kembali Papua Barat ke
pangkuan NKRI melalui invasi. Hal ini telah terbukti dengan maneuver politik
kuno Sukarno dengan dalih keluar dari keanggotaan PBB dan Pembelian Senjata
dari Rusia, sebagai relasi Negara sahabat baru.
Akhirnya Soekarno mendapat
dukungan dari Amerika Serikat dan PBB, dengan jalan perundingan dan membuat
sejumlah perjanjian, yang antara lain New York Agreement 15 Agustua 1962 dan
Roma Agreement.
c.
Joseph Luns Conection
(Hubungan dengan Joseph Luns-Menlu Belanda)
- Joseph Luns, Menteri Luar Negeri Belanda dengan bebas
menyesatkan Parlemen Belanda dalam tahuan 1950 memberitahukan kepada mereka
bahwa mempunyai jaminan suatu perjanjian dengan Sekretaris Negara Amerika
Serikat, John F. Dulles, menjamin Amerika Serikan untuk mendukung Belanda dalam
iven mempertebatkan konflik bersenjata atas Papua Barat (seperti sudah
wawancara Dr. Paulrain di tahun 1981 di Brussels, Belgia).
- Memberanikan diri melakukan negosiasi dalam tahun 1962 bahwa
memimpin Pemerintah, Luns intruksikan kepada perwakilan Belanda, Van Roijen,
membantu pada pencapaian hak Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) bagi
orang-orang Papua bahwa Van Roijen menolak dan bicara dengan Luns lagi atas hal
ini.
-
Dalam hal ini Menteri Lins
percaya bahwa Amerika Serika akan membantu mereka dalam konflik politik atas
Papua Barat, antara Belanda dan Indonesia. Harapan dan kepercayaan ini ternyata
berbalik arah, maka dalam perundingan-perundingan justru Amerika Serikat mendukung
Indonesia dan mengabaikan janji dan harapan Belanda. Belanda lemah dalam hal
mempertahankan Papua untuk memberikan kemerdekaan penuh sesuai janji-janji
Belanda sebelumnya, berdasarkan Resolusi 1514 (XV) Perserikatan Bangsa-Bangsa
atas Decolonisasi.
-
Ternyata Belanda gagal
merealisasikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua, di bagian Barat
Pulau New Guinea. Hal ini adalah fakta yang tidak dapat disanggal. [7]
BAGIAN VIII
Persiapan Kemerdekaan Bagi Orang
Papua Asli
Berdasarkan dengan Dasar
Hukum Positif atas Hak Menentukan Nasib sendiri bagi wilayah-wilayah tak
berpemerintahan, yang hidup di bawah control dari Negara-Negara penjajah,
sesuai deklarasi-deklarasi serta perjanjian Internasional, sebagaimana dapat di
jelaskan pada bagian IV, V, VI dan VII dalam article ”Historical Flashback of West Papua”
ini, maka Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Orang Pribumi Papua Barat
dipersoalkan. Mengapa? Karena, sebenarnya Hak orang-orang Pribumi Papua Barat
benar-benar dilanggar. Sebab Hak ini dijamin oleh Hukum HAM Internasional,
sebagaiman sesuai Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB.
Belanda
telah mempersiapkan dengan matang atas berdirinya sebuah Negara, sebagaimana
dapat di jelaskan pada poin atau bagian VI di atas. Silakan simak dan pelajari
dengan seksama dan se-efective-nya.
Dasar lain Belanda mempersiapkan
Negara Papua Barat adalah: Ternyata daerah Papua Barat sejak 1828 sampai tahun
1963 telah dikuasai oleh Kerajaan
Belanda.
Dan sejak tahun 1945 sampai tahun
1963 Papua Barat dipersiapkan oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda untuk menjadi
negara tersendiri, dengan nama negara Papua, sesuai pidato Ratu Yuliana
(Kerajaan Belanda) pada tanggal 20 September 1960.
Dalam pidatonya, Ratu Yuliana
menyatakan dan mengumumkan bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda akan memberikan
hak penentuan nasib sendiri (Merdeka) pada Bangsa dan Rakyat Nederlands New
Guinea.
Untuk itu persiapan yang
pemerintah Kerajaan Belanda lakukan antara lain mendirikan sebuah akademi
Pemerintahan, membentuk Batalyon Papua dan meresmikan Bendera Papua.
Bagaimana
cara Papua Barat dipersiapkan untuk menjadi sebuah Negara, oleh Pemerintah
Belanda dapat di jelaskan pada bagian ini. Mari kita simak!
Pertama, pembentukan Komite
Nasional, Bendera dan Lagu Kebangsaan. Pada tanggal 26 September 1961, Menteri
Luar Negeri Belanda ( Joseph
Luns)
berpidato di PBB bahwa Internasionalisasi Papua Belanda harus cepat. Pada
tanggal 19 Octobert 1961, sejumlah Tokoh Papua mengadakan pertemuan.
Agenda
utama adalah pembentukan Dewan Papua (New Guinea Raad) tahun 1961. Pada tanggal 5
April 1961, Pembukaan Dewan Papua dilakukan oleh Menteri Toxopeus yang di
damping oleh Bot.
Kedua, perdebatan telah mulai di
dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Sidang Majelis Umum
PBB di tahun 1960, Soebandrio datang dengan catatan menyindir tentang lemari
Negara Boneka Papua. Hal itu tidak di terima dengan baik oleh orang-orang
Papua.
Ketiga, Pada tanggal 21 Octobert
1961, Rapat pertama. Agenda utama dalam rapat ini adalah Pemilihan dan
penetapan Lambang-Lambang, yang akan harus menunjukkan jati diri Negara dan
bangsa Papua Belanda.
Yang dimaksud adalah:
”Bendera, Perisai Lambang,
Lagu Kebangsaan, Nama Negara dan Semboyan.
Masing-Masing, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
- Bendera :
Bintang Fajar;
- Lambang :
Burung Mambruk;
- Lagu Kebangsaan: Hai Tanahku Papua (lagu
ini diciptakan tahun
1923, oleh Missionaris
sending I.S. Kinje);
- Nama Negara : New Guinea Nederlands;
- Semboyan :
Keanekaragaman dalam Kesatuan;
- Bahasa:……?
Selanjutnya, Komite
Nasional di serahkan kepada Dewan Papua atas prakarsa 10 orang anggota
perhimpunan, dalam satu rapat luar biasa pada tanggal 30 Octobert 1961.
Penerimaan Bendera menunjukan Aspirasi orang-orang Papua untuk menjadi suatu
bangsa yang merdeka, tetapi hari itu ia di kibarkan, tidak terjadi hari
perpisahan dengan Belanda.
Source:
BAB 11, Blues Papua, Dewan Papua dan Partai-Partai. (Hal:563-572, Buku P.J. Drooglever-An Act of Free Choice in West Papua).[8]
- DP : Dewan Papua (New Guinea Raad)
- KNP : Komite Nasional Papua
- DVP : Partai-Partai Manokwari
- Parna :
Partai yang berpihak Indonesia di Manokwari
- Animba :
Partai Politik di Merauke
Tokoh-Tokoh dalam Dewan dan Partai
Politik:
1. Elieser J. Bonay
2. 2. Marthen Indey (dapat dididik di Ambon, maka paham yang
berbeda dengan Nicolas Jouwe).
3. B.T.J. Jufuway
4. Nicolas Jouwe
5. Frans Kaisepo
6. Tanggama Torey
7. Womsiwor
8. Abdulah Arfan
9. Frits Kirihio
10. Herman Wajoy
11. Amos Indey
12. Rumasewu 1960-an
13. 13. Silas Papare (Seorang Papua yang tinggal di Indonesia,
yang active dalam berbagai Kampanye Irian
di Indonesia).
Pada
tanggal 18 November 1961, sesudah rapat luar biasa Dewan, peraturan-peraturan
mengenai Bendera dan Lagu Kebangsaan sesuai nasihat Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad Van Adel) di Den Haag,
Belanda ditetapkan oleh ”Platteel” di dalam ordonansi-ordonansi.
Sesuai
rencana, pengibaran Bendera berlangsung pada tanggal 1 Desember 1961 di
Hollandia dan di semua underafdeling. Dimana-mana hal itu telah terjadi di
dalam suasana khikmat dan tenang, dan di hadiri oleh penguasa-penguasa
setempat. (Hal:575 Buku Prof. P.J.
Drooglever).
Pada
masa-masa ini banyak anggota kelompok Infiltrasi-Infiltrasi yang dimotori oleh Infiltran
dari Ambon,
Key dan Jawa, yang mana telah menjadi pegawai pemerintah Belanda di
Papua Barat.
Kelompok
Infiltran ini membuat banyak organisasi yang kerja dibawah tanah (Rahasia),
yang pada prinsipnya mengkampanyekan Irian Barat, yang berhubungan dengan Indonesia.
Misalnya:
Organisasi
Pemuda Irian (OPI), Gerakan Irian Barat (GRIB), pada Bulan Mei 1962 dilaporkan
bahwa ada pembentukan satu organisasi lagi yaitu, Pemoeda Soekarela Indonesia
(PSI) yang beranggotakan 70 orang Infiltran dan orang Lokal-Papua yang telah
berhasil cuci otak oleh Inflitran-Infiltran dari Ambon dan Jawa tadi. Di dalam
organisasi ini orang-orang Key memainkan peranan penting.
Definisi kata Infiltran adalah:
-
Kelompok orang yang ditugaskan
oleh Negara, yang mana menajadi Pegawai Negeri Civil atau pun tenaga kerja
swasta seperti, Guru-Guru, Mantri, Pelayan Gereja dan lain-lain, dengan dalih
bahwa kami sama-sama orang Kristen dan dengan dalih lainnya.
-
Kelompok Infiltran adalah
spionase para penjajah, untuk tujuan melakukan kegiatan mata-mata serta mencuci
otak pada orang-orang dari bangsa lain yang hidup dibawah penjajahan.
Notes:
Hal
ini telah terbukti di Papua dan sedang disaksika. Oleh karena itu, jangan
percaya kepada Pendeta-pendeta, Guru-Guru, Pegawai Negeri Sivil, petugas Gereja
dan Swasta dari orang Melayu yang melakukan infiltrasi-infiltrasi di Papua,
terhadap orang-orang Indigenous Papua. (Hal:580-586,
Buku Prof. P.J. Drooglever).
Dalam pendirian
Partai-Partai Politik di Papua, orang Muju dan Merauke buat satu Partai lagi
yaitu, Volkspartij Voor Vrijbeden Rech (Partai Rakyat Untuk Kemerdekaan dan
Keadilan), yang lahir pada tanggal 14 Mei 1962. Pemimpinnya: Johanis Tamberan
(Pendiri).
Akhirnya, pada tanggal 25
Mei 1962 Anggota-Anggota Papua Dewan Daerah bergabung dengan pimpinan VVR-PRKK
membentuk satu kelompok aksi yaitu, ”AKHIRNYA MENENTUKAN NASIB SENDIRI”. Keinginan
utama adalah untuk mengumpulkan semua Infiltran Indonesia dan mengadili mereka.
Wilayah ini diwakili di
dalam Dewan Papua oleh Kaleb Gebze. Untuk wilayah Enarotali dan danau-danau
Wisel ada perwakilannya yaitu, ”Willem Songgonau”, salah seorang Ekari-Moni
yang bersekolah di Sekolah Guru di Hollandia, telah menjadi anggota Komite
Nasional Papua disitu.
Semacam
organisasi Politik, di Lembah Balim yang luas itu tidak ada. Hal ini disebabkan
oleh karena masuknya orang Barat masih dalam stadium paling dini. (Hal:587-Buku Prof. P.J. Drooglever).
Segera
sesudah debat-debat, Parlemen di Belanda pada tanggal 6 Januari 1962, Komite
Nasional berkumpul untuk ketiga kalinya di Hollandia. Disana dicoba untuk
mendapat cantolan (informasi) atas perkembangan-perkembangan di Belanda.
Orang Papua menyatakan
setuju dengan niat Belanda untuk mulai lagi perundingan dengan Indonesia, tetapi
dengan persyaratan bahwa Wakil Bangsa Papua harus ikut serta di dalamnya dengan
satu delegasi sendiri. (Hal:589-Buku
Prof. P.J. Drooglever).
Dalam minggu-minggu
berikutnya, perundingan yang diminta mengenai Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination)
berlangsung, dan berbagai keinginan di afdeling-afdeling di bicarakan. Pada
tanggal 7 Februari 1962, rancangan jawaban sudah selesai.
Jawaban itu di kirim ke
Bot di Den Haag, Belanda, yang dengan itu mendapat kesempatan untuk memberikan
komentar.
Dokumen dibuka dengan
membicarakan klaim-klaim Indonesia, seperti diucapkan oleh Soebandrio dalam
rapat terakhir Sidang Majelis Umum PBB.
Kata Soebandrio:
Pendirian Indonesia bahwa Papua sudah termasuk di dalam proklamasi 17 Agustus
1945. Sekali lagi di tolak, dengan alasan bahwa Papua lain dari Jawa, pada saat
itu sudah dibebaskan oleh Sekutu (Amerika-Eropa).
Hak untuk Menentukan Nasib
Sendiri ada pada penduduk setempat, dan kewajiban untuk mendidik orang Papua
dipercayakan kepada Pemerintah Belanda sebagai Anggota PBB.
Dari uraian di atas
menunjukan bahwa Klaim Indonesia tidak berdasar dan tidak memiliki kekuatan
Hukum, maka semua pemikiran dan tindakan
Indonesia atas Papua Barat adalah tindakan criminal dengan watak pencuri dari
animo melacur tinggi. [9]
BAGIAN IX
Perjanjian (New York
Agreement August 15rd 1962) dan
Penyerahan Administrasi Papua Barat Kepada UNTEA
a.
Masuknya UNTEA Dalam Genggaman Jakarta
Sebagaimana
telah di uraikan terdahulu tentang gambaran umum atas suasana batin di antara
penduduk asli selama tahun terakhir pemerintahan Belanda. Hal ini, Pemerintah
Belanda berangkapan bahwa masih bisa mempertahankan perundingan demi
kepentingan-kepentingan orang-orang Papua. Namun di kalangan penduduk Belanda
di Den Haag, ketidakpastian penduduk pulau itu makin besar.
Artinya,
mayoritas penduduk Belanda di Den Haag meragukan perundingan-perundingan antara
Belanda dan Indonesia. Mengapa? Karena posisi Pemerintah Belanda
Lemah dan masih di bawah tekanan Amerika dan PBB. Sementara, pihak Papua
kepercayaan terhadap Pemerintah Belanda masih dominan.
Oleh karena itu,
gambaran berbeda-beda, tergantung pada posisi dan harapan-harapan pengamat. Berkenaan
dengan situasi ini, pada kunjungannya di Bulan November 1961, Wartawan
Australia yang diintroduksi dengan baik oleh ”Peter Hasting” yang
mensketsakan satu gambaran yang cukup suram.
Lain halnya dengan
diplomat ”Parcival”,
yang singgah setelah beberapa bulan kemudian di Papua. Ia mengkonstatasi bahwa
walaupun makin banyak perempuan dan anak-anak Belanda berangkat ke Belanda dari
Papua, namun moral pria Belanda tinggi dan semangat, dan bahwa bekerjaan berjalan
terus sebagaimana lasimnya.
Artinya,
orang Belanda tetap setia menjalankan pekerjaan dalam pembangunan di Papua.
Tetapi bagi penduduk asli orang Papua
semakin anti Indonesia, karena tekanan serta manuver-manuver politik terror dan
aksi-aksi pada akhir tahun 1962.
Lebih lanjut, ”Precival”
seperti banyak orang Australia sendiri yang mengunjungi Papua, tersentuh oleh
pergaulan yang bersahabat antara orang-orang Papua dan Belanda.
Pengiriman Pasukan
Perdamaian (United Nations Security Force),
1.500 orang yang telah dikirim oleh U’Than (Sekjen) PBB, delapan belas
penasehat atau pengamat Militer yang bersal dari 6 Negara untuk mengawali
pelaksanaan kencatan senjata.
Sekali pun Pasukan
PBB sudah berada di Papua, tetapi operasi-operasi Tentara Indonesia dapat
berjalan terus.
Pasukan PBB tidak
berdaya mengendalikan agresi militer Indonesia. Hal ini terbukti dari laporan REESER,
setelah berkunjungnya di Hollandia pada tanggal 18 Agustus 1962. (Hal:613-615, Buku Prof. P.J. Drooglever).
b. Anggota
PBB lain yang terlibat dalam pengamanan
di Papua adalah:
1.
Dr. Djalal Abdoh-Diplomat Persia untuk PBB
2.
Jose Rolz Bennett-Pejabat Kepala kantor PBB
3.
Platteel-Belanda
4.
H. Veldkam-Belanda
Mereka ini sebagai
administrator, dalam pelaksanaan missi PBB di Papua pada tahun 1962-1963.
Pertanyaan sangat rumit adalah bagaimana memperlakukan bendera Papua.
Dari pihak Belanda
sudah dinyatakan bahwa hal ini tidak perlu dipermasalahkan, karena menurut
kesepakatan New York dibawah Pemerintahan UNTEA semua peraturan
perundang-undangan tetap dipertahankan.
Pengadaan satu
bendera negeri adalah salah satu daripadanya. Akan tetapi, Bennett dari sejak
awal menjelaskan bahwa di dalam kesepakatan New York tidak diberitakan tentang
bendera semacam itu, dan bahwa PBB tidak menginginkannya.
Perwira-Perwira
penghubung yang di tempatkan dalam Pemerintah UNTEA, diplomat Goedhardt-Belanda
dan Sudjarwo-Indonesia.
Anggota UNTEA di
Papua tahap awal 170 orang. Masuknya pegawai-pegawai dan Tentara Orang
Indonesia juga berlangsung tidak sesuai rencana. Sementara, kesepakatan di
Middleburgh menyepakati bahwa Kekuatan besar-besaran boleh terjadi
sesudah berakhirnya fase pertama UNTEA.
c.
Lahirnya
kesepakatan atau Perjanjian New York 15 Agustus 1962
Juru-Juru Runding:
1. Soebandrio-Indonesia
2. Adam
Malik-Indonesia
3. Van
Roijen-Belanda
4. Bunker-Ambasator
Amerika (Mediator)
5. U’Than-Sekjen
PBB
d. Isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962
Pada
dasarnya dapat mengatur tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam proses
pelaksanaan Self-Determination di Papua Barat, yang dipertegaskan atas Hak-Hak
Kebebasan orang Papua Asli (Indigenous
peoples of west Papua) dalam melakukan Referendum.
Hak-Hak ini
termasuk:
Hak
Kebebasan Berkumpul, Hak Berorganisasi, Hak Berbicara, Hak Kebebasan Memilih
dan Hak-Hak lain dalam mengahadapi Referendum pada tahun 1969 di Papua Barat,
berdasarkan Article 1 Paragraph 1, 2, dan Paragraph 3 ”The International Covenant
on Civil and Political Rights”. Mengacu
dari dasar hukum HAM Internasional ini, maka hak untuk Menentukan Nasib Sendiri
tidak dapat diganggu-gugat.
Perjanjian
New York dibuat berdasarkan, perundingan-perundingan panjang antara Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Indonesia. Wakil bangsa Papua tidak dilibatkan.
Hal
ini adalah kekeliruan besar oleh PBB, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia.
Mengapa? Sebab, menurut Hukum memang telah dilanggar Hak Bangsa Papua oleh
ketiga kelompok kepentingan atas Papua Barat. Oleh karena itu, semua pihak yang
terlibat segera mengambil langkah-langkah effective guna menyelesaikan
persoalan Papua Barat secara menyeluruh dan tuntas.[10]
BAGIAN X
Perjajian Roma (Roma Agreement)
Perjanjia ini juga tidak
jauh beda dengan Perjanjian New York, dimana lahirnya suatu perjanjian sebelum
menghadapi Referendum di Papua Barat, berdasarkan perundingan ke perundingan
antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia atas Hak Pengelolaan dan
Pembangunan di Papua Barat.
Perjanjian ini adalah
kontroversi dengan perjanjian New York, karena perjanjian Roma dapat membelokan
perjanjian New York dan melegitimasi Indonesia secara sepihak melegalkan diri
masuk di Papua Barat untuk membunuh dan mencuri dengan cara merampok.
Hal ini telah terbukti dan
sedang berjalan terus dan dihadapi oleh bangsa Papua di bagian Barat Pulau New
Guinea, dari sejak 1 Mei 1963 hingga kini.
Dengan demikian, maka
semua manipulasi, rekayasa melalui manuver politik kotor ini segera dibuka
kembali sesuai prosedur Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana biasanya
menyelesaikan status konflik politik di setiap wilayah, dibawah pengawasan PBB.[11]
BAGIAN XI
Penyerahan Administrasi Papua
Barat kepada Pemerintah Republik Indonesia Dari UNTEA (PBB)
Akhirnya, pada tanggal 1
Mei 1963, UNTEA melakukan transfer atau penyerahan Administrasi Papua Barat
kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Fase pertama otoritas UNTEA telah
berakhir.
Penyerahan Administrasi
dari UNTEA kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 adalah Kesalahan vatal dari
PBB. Mengapa? Karena, seharusnya UNTEA tetap menangani Administrasi
Pemerintahan di Papua Barat sampai dengan pelaksanaan PEPERA tahun 1969. Namun
karena UNTEA menyerahkan Administrasi Papua Barat kepada Pemerintah Indonesia,
maka Indonesia beranggapan bahwa mereka mempunyai Hak penuh dan berwenang atas
Papua Barat. Dengan dasar pemahaman sempit ini, maka Pemerintah Indonesia telah
melakukan tindakan AGRESI Militer-nya yang brutal dan bengis, terhadap
orang-orang Indigenous Papuans.
Untuk lebih jelasnya,
tentang Agresi Militer Indonesia di Papua dapat dijelaskan pada bagian berikut
dalam huruf atau bagian XII dibawah ini. Para pembaca diberikan kesempatan,
agar dapat mempelajarinya dengan seksama dan se-efectivenya. [12]
BAGIAN XII
Invasi Militer Indonesia di Papua
Bagian Barat
Pulau New Guinea
Dengan di
Legitimasinya penyerahan Administrasi Pemerintahan Papua Barat dari UNTEA
kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka Indonesia
telah dapat melegalkan diri atas semua tindakan dalam aksi-aksi Militernya.
Tindakan Militer
Indonesia yang dimaksud, telah dapat lakukan dari tanggal 1 Mei 1963 sampai
dengan tahun 1969, dimana berakhirnya PEPERA yang dapat di REKAYASA dengan
Penuh TERROR dan INTIMIDASI. Tindakan agresi Militer Indonesia dan Aparat
Kepolisian terhadap masyarakat Adat Pribumi Papua Barat, masih ada dan berjalan
terus hingga kini. Hal ini adalah Fakta dan realita dalam kehidupan bangsa
Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.
Untuk membuktikannya,
silakan ikuti Pengakuan Letje Purn Sintong Panjaitan dalam Bukunya yang
berjudul "Perjalanan
Seorang Prajurit PARA KOMANDO" dibawah ini. Silakan simak!
"Perjalanan
Seorang Prajurit PARA KOMANDO" pada halaman 145-187
tentang peristiwa pelanggaran hak-hak asasi manusia atas bangsa Papua Barat.
Dalam bukunya Sintong Panjaitan mengulas dengan jelas bahwa PEPERA 1969 dapat
dimenangkan melalui operasi, TEMPUR, operasi TERITORIAL dan operasi WIBAWA yang bertujuan
untuk membunuh, menteror, dan Intimidasi orang Asli Papua yang pro Merdeka.
Peristiwa pelanggaran
HAM ini dengan agenda "OPERASI TEMPUR DI IRIAN BARAT" (RPKAD) tahun 1965 di kepala Burung
Manokwari; OPERASI TERITORIAL PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI IRIAN BARAT dengan
operasi "KARSAYWDA WIBAWA" yang bertujuan untuk memenangkan PEPERA
1969 melalui jalan teror, intimidasi dan pembunuhan, penculikan orang asli
Papua yang dicurigai.
Dengan Fakta pengakuan Sintong Panjaitan di
atas, maka telah jelas bahwa bangsa Papua telah dan sedang menjadi korban
pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia, dan PEPERA 1969 adalah Rekayasa murnih
Militer Indonesia, sebagaimana Pengakuan Letjen Sintong Panjaitan ini.
Sintong
Panjaitan adalah Komandan Operasi Lapangan Pada tahun 1965-1969, sebelum dan paska
pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Sintong Panjaitan
juga adalah pelaku dan saksi atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM terhadap
bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea. [13]
BAGIAN XIII
Pelaksanaan PEPERA 1969 (Self-Determination) serta Hasilnya dalam Sidang Majelis Umum PBB
dan Protes Negara-Negara Anggota PBB
a) Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat Oleh
Pemerintah Republik Indonesia
Akhirnya, Penentuan
Nasib Sendiri (Self-Determination) di Papua Barat telah dilaksanakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dari tanggal 19 Juli 1969-4 Agustus 1969, yang
dimulai dari Merauke sampai Sorong dan berkahir di Hollandia, Papua Barat.
Pelaksanaan PEPERA
1969 di Papua Barat adalah tidak sesuai dengan New York Agreement 15th
August 1962, dan juga tidak berdasarkan praktek Internasional sesuai mekanisme
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana lasim digunakan dalam Hak Penentuan Nasib
Sendiri bagi daerah jajahan, berdasarkan aturan dan prinsib-prinsib dasar Hukum
HAM Internasional serta mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pelaksanaan PEPERA
1969 di Papua Barat adalah dengan cara Indonesia yaitu, MUSYAWARA yang tidak
pernah dilaksanakan oleh PBB di Negara mana pun di muka bumi. Hal ini adalah
tindakan liar, yang pada hakekatnya adalah KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN.
b)
Protes Bangsa Papua
atas Pelaksanaan PEPERA 1969
Dengan demikian,
maka pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat
dibenarkan oleh siapa pun dan dari Hukum mana pun di Dunia.
Itu sebabnya, bangsa Papua di bagian Barat
pulau New Guinea telah melakukan protes keras dan sedang berjuang terus, untuk
memperoleh Hak Menentukan Nasib sendiri berdasarkan Legal Procedure, yang lasim
digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menangani wilayah konflik,
dimana merupakan daerah Jajahan yang dapat menjadi sengketa politik.
c) Protes Negara-Negara Anggota PBB atas
Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua dalam Sidang Majelis Umum PBB
Pada tanggal 3
November 1969, Hasil PEPERA 1969 di Papua Barat telah dilaporkan secara resmi
oleh dua pihak. Laporan pihak pertama adalah oleh Wakil Pemerintah Republik
Indonesia, yang diwakili oleh Soebandrio. Dan Laporan Pihak Kedua adalah oleh
utusan PBB, yang mana diwakilkan oleh Dr. Fernandez Ordiz San.
Setelah mendengar
laporan dari kedua belah pihak, maka Negara-Negara Afrika dan Karibian yang
dipimpin langsung oleh Ghana dan Gabon telah dapat melakukan pengajuan
keberatan atas laporan, tentang hasil Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hal ini dapat
terjadi karena dinilai bahwa Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua bermasalah, dan
juga metode pelaksanaannya tidak berdasarkan Mekanisme PBB.
Kemudia Negara-Negara
Afrika dan Caribian mengajukan permohonan penundaan waktu dua minggu untuk
mempelajari Document yang dimaksud. Mengapa? Karena laporan ini perlu waktu
yang cukup untuk di pelajari, kemudian dapat mengajukan dalam Sidang Lanjutan.
Akhirnya, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima
usulan Channa dan Cabon kemuadian sidang ditunda untuk waktu dua minggu,
terhitung dari tanggal 4 November 1969.
Selanjutnya,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membuka kembali Sidangnya pada tanggal
19 November 1969, dengan agenda mendengarkan draf usulan dari Negara-Negara
pihak protes dan juga oleh Indonesia dan Belanda.
Kemudian,
Negara-Negara pihak protes, mengajukan draf dengan Resolusi bahwa Referendum
ulang harus dan wajib dilaksanakan di Papua Bara dalam tahun 1975, dengan dasar
alasan yang rasional. Mengapa? Karena setelah mempelajari laporan Indonesia dan
Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat, menunjukan
bahwa hasil PEPERA tidak sah dan melanggar prosedur Internasional dan Musyawara
adalah cara yang unik dan tidak dapat di terima oleh akal sehat.
Setelah mendengar
draf usulan Negara-Negara Pihak protes, selanjutnya kiliran bagi Indonesia dan
Belanda. Akhirnya, Belanda dan Indonesia mengajukan draf usulan bersama bahwa
mereka siap membangun Papua, dengan perjanjian bahwa Indonesia siap
melaksanakan pembangunan dan membangun Papua, yang terutama di bidang
Pendidikan, Kesehatan dan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan bagi
penduduk setempat, dan Belanda siap memberikan suntikan Dana Hibah demi terwujudnya
semua program yang dimasukan dalam draf usulan.
Dengan demikian
Majelis Umum PBB dengan sangat hati-hati dan teliti, mengumumkan bahwa Sidang
terhormat menerima draf usulan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia.
Mengapa draf usulan Indonesia dan Belanda
dapat di terima oleh Sidang Majelis Umum PBB?
Karena memang,
Indonesia dan Belanda di back up penuh oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hal ini adalah suatu manuver politik kotor atas kepentingan Ekonomi Amerika dan
Indonesia di Papua Barat, yang mana mengorbankan Hak Politik bangsa Papua Barat
untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan berdiri sebagai bangsa yang merdeka penuh.
Berdasarkan draf
usulan Indonesia dan Belanda, maka Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah mencatat dengan Resolusi 2504.
Ingat, bahwa Resolusi
ini bukan merupakan Pengesahan Hasil PEPERA 1969, melainkan hanya sebagai
catatan (TAKE
NOTE), untuk melengkapi prosedur Sidang tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Semua ini terbukti
dari Archive Perserkatan Bangsa-Bangsa yang tersimpan pada Kantor Pusat Perserikatan
Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, yang mana telah dapat diteliti secara
cermat dan professional oleh Dr. John Salfor (Akademisi Inggris) dan juga dapat
diperkuat dari Buku karya Prof. P.J. Drooglever (Guru Besar Leiden University,
Belanda) yang berjudul “An Act Of Free Choice in West Papua”.
Hal ini adalah
fakta kebenaran sejarah yang tidak dapat disanggal oleh siapapun. Oleh karena
itu, para pihak-pihak yang terlibat langsung dalam aneksasi Papua Barat ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segera mengambil
langkah-langkah positif, guna penyelesaian status politik Papua Barat secara
tuntas melalui jalur atau pintu Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana lasimnya.[14]
BAGIAN XIV
Protes dan
Perlawanan Bangsa Papua di Bagian Barat Pulau New Giunea atas Kehadiran
Indonesia
Sikap protes dan anti
Indonesia telah mengkristal dalam benak dan jiwa sanubari orang-orang Pribumi
Papua Barat, dari sejak Soebandrio berpidato di PBB dalam tahun 1960-an hingga
kini.
Dengan demikian, maka
bangsa Papua Barat semakin giat berjuang untuk memperoleh Hak Dasarnya yaitu,
Kemerdekaan Penuh Melalu mekanisme legal Perserikatan-Bangsa-Bangsa, sebagaimana
telah dapat dilaksanakan terhadap bangsa-bangsa lain di muka Bumi.
Yang dimaksud adalah:
Hak Menentukan Nasib
Sendiri (Self-Determination) melalui
sebuah REFERENDUM yang demokratis dan bermartabat, berdasarkan Hukum
Internasional sesuai mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa.[15]
BAGIAN XV
Perlawanan Bangsa Papua Untuk Menuntut
Pelanggaran atas Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination)
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan dari huruf A sampai N di atas, maka bangsa
Papua mengetahui pasti bahwa Hak mereka telah dilanggar.
Dengan
demikian, maka bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea telah dan sedang
berjuang dengan gigi, untuk memperoleh Hak dasarnya yaitu, HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI
(Self-Determination).
Solusi
ahir adalah Papua Barat harus dan wajib Merdeka penuh, sebagai bangsa-bangsa
lain yang bernaung di atas bumi.
Oleh
karena itu, maka bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah payung organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa jawib menghargai hak-hak bangsa Papua di bagian
Barat Pulau New Guinea.
Hak-Hak
ini termasuk, Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-determination) berdasarkan Hukum
Internasional yang antara lain:
1. Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal atas Hak-Hak Asasi Manusia), yang
telah di terima dan di sahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 10 Desember 1948;
2. The International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional atas Hak-Hak
Sivil dan Politik), yang telah diterima dan di sahkan pada tanggal 16 Desember
1966;
3. Declaration on the
Granting of Independence to the Colonials Countries and Peoples (Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atas mengabulkannya Kemerdekaan bagi Wilayah-Wilayah
Jajahan dan orang-orang) dengan Resolusi A/RES/1514 (XV), yang telah di terima
dan disahkan pada tanggal 14 Desember 1960;
4. Serta United
Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Masyarakat Adat Pribumi), yang di terima dan di
sahkan pada tanggal 13 September 2007.
Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Indigenous Peoples ini lebih memperkuat
dan mengikat Hukum tetap atas semua Hukum Internasional, yang berhubungan
dengan Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana dapat di uraikan di atas.
Dengan
demikian, maka Hak-Hak Asasi Manusia wajib dihargai dan tidak boleh merampas atau
melanggar Hak setiap orang. Negara-Negara pihak yang ikut serta dalam penandatanganan
perjanjian Internasional, wajib melindungi Hak-Hak dari setiap orang yang
berada dibawah juridiksinya. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut
menandatangani semua Deklarasi maupun kovenan serta konvensi-konvensi
Internasional, maka Indonesia berkewajiban untuk harus melindungi dan menegakkan
semua instrument-instrumen Hak-Hak Asasi Manusia. [16]
BAGIAN XVI
Konflik Papua Yang Berkepanjangan Akibat Kesalahan Prosedur
Aneksasi Papua Barat Kedalam Wilayah Indonesia
Bagian XVII
Kesimpulan
Bahwa, Pulau Papua adalah Karya
Ciptaan dari Yang Maha Kuasa saat pencitaan-Nya, dan menempatkan Orang Papua
rumpun Melanesia, Pasific. Maka Klaim-klaim manusia dari planet bumi lain adalah tidak benar,
karena fakta sejarah membuktikannya bahwa Papua telah lama ada;
Bahwa, Papua Barat bukan
merupakan anak pulau atau bukan terbentuk karena mencairnya gleser gunung es
dari kukusan Pulau-Pulau Jawa, melainkan Papua Barat telah berabad-abad lamanya
membisu dengan manusianya yang dipenuhi sumber daya alamnya berkecukupan;
Bahwa, Belanda berniat baik untuk
memberikan kemerdekaan bagi Papua Barat, namun niat baik itu telah digagalkan
oleh Amerika Serikat dan Indonesia atas kepentingan Ekonomi mereka;
Bahwa, Semua proses jalannya
Aneksasi Papua Barat adalah penuh rakayasa dan manipulative, dengan manuver-manuver
Politik Kotor Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat;
Bahwa, pendudukan Indonesia di
tanahnya bangsa Papua, di bagian Barat Pulau New Guinea adalah Illegal dan
dasar hukumnya beulm kuat;
Bahwa, berdasarkan pembuktikan
fakta Sejarah menunjukan bahwa Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi pendudk
pribumi Papua Barat belum pernah dilaksanakan dan Masih Berlaku. Dan Hak ini
akan dilaksanakan sesuai Prosedur Demokrasi PBB yang demokratis.
BAGIAN XVIII
Rekomendasi Umum
BAGIAN IXX
Saran dan Penutup
Demikian, Kilas Balik
Sejarah Papua ini disusun demi kepentingan pembelajaran bagi semua orang yang
belum paham tentang sejarah Papua, dan lebih khusus bagi generasi muda bangsa
Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.
Penyusunan ini adalah
sort History, oleh karena itu para pembaca diberikan kesempatan untuk mencari
dan memperoleh buku-buku Sejarah Papua yang telah di tulis oleh orang Papua
sendiri, juga oleh orang Asing dan orang Indonesia.
Yang kami tulis ini
adalah versi Generasi Penerus Perjuangan bangsa Papua, berdasarkan fakta yang
benar dari hasil referensi berbagai sumber. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amen.
The End.
By Sebby Sambom
An Independence Activist of West Papua
(Former West Papuan
Political Prisoner)
Daftar Pustaka
[1] Dari semua sumber data yang dilengkapi dengan fakta-fakta historis,
berdasarkan kajian-kajian yang dapat di uraikan di atas menunjukan bahwa klaim
Indonesia atas Papua Barat adalah tidak berdasar. Klaim Indonesia berdasarkan hubungan dengan
Kerajaan Islam dan Klaim bahwa tanah jajahan Hindia Belanda, ternyata tidak
dapat di temukan dalam lembaran sejarah apa pun. Hal ini adalah fakta dan
realita dalam kehidupan manusia dari abad ke abad.
[2] Dalam pembagian-pembagian atas Papua Barat dan Papua Timur ini
dapat dilakukan seenaknya oleh orang asing yang datang sebagai penjajah, tanpa
diketahui oleh orang Papua sebagai hak ahli warisnya. Tindakan-tindakan ini sebenarnya melanggar
hak-hak asasi bangsa Papua, yang mempunya negeri Papua.
[3] Belanda di Papua Barat adalah sebagai penjajah, yang telah datang
melakukan activitas colonialisme.
[4] Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination) menjadi
perhatian serius dalam setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Hal ini terbukti dari pertemuan di San Fransisko pada tanggal 25
April 1945, atau sebelum Deklarasi HAM PBB pada tanggal 10 Desember 1948 telah
membicarakan tentang Hak-Hak Asasi Manusia, termasuk Hak Menentukan Nasib
Sendiri. Oleh karena itu, Hak Menentukan Nasib Senidiri tidak boleh diingkari,
melainkan harus dipenuhi. Dengan dasar ini, maka setiap Negara wajib
memperhatikan hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination).
[5] Program Decolonisasi PBB yang telah dibahas dalam Sidang Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA), berdasarkan Resolusi 66 pada tanggal 14
Desember 1946 memintah kepada Negara-Negara Anggota PBB agar segera memberikan
Kemerdekaan bagi Wilayah-Wilayah Jajahan yang tak berpemerintahan. Permintaan
ini dengan target bahwa akhir tahun 1946 semua wilayah jajahan harus keluar
dari penjajahannya. Artinya, semua
wilayah jajahan harus diberikan kemerdekaan tanpa terkecuali.
[6] Pemerintah Belanda, Pemerintah Inggris, Pemerintah Australia dan
Pemerintah Negara-Negara lain di Dunia yang memahami benar atas Hak-Hak Asasi
Manusia termasuk Hak Menentukan Nasib Sendiri dapat melaksanakan semua
keputusan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini
terbukti dari semua langkah-langkah yang telah diambil oleh Negara-Negara
penjajah, yang mana telah memberikan kemerdekaan penuh bagi wilayah-wilayah
Jajahan yang tak berpemerintahan. Namun Niat baik Belanda untuk memberikan Kemerdekaan
bagi bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea telah digagalkan oleh
Amerika Serikat dan Indonesia, demi kepentingan imperialismenya dan motivasi
new colonialisme oleh Indonesia, yang ingin balas dendam dengan nafsu menjajah.
[7] Belanda lemah dalam mempertahankan Papua Barat untuk memberikan Hak
Kemerdekaan penuh, karena Belanda memberikan harapan penuh kepada Amerika
Serikat. Namun harapan dan janji-jani Amerika berbalik arah. Hal ini adalah
Fakta yang tidak dapat disanggal oleh siapa pun. (Buku Karya Prof. Pieter
Drooglever “An Act of Free Choice 1969 in WWest Papua).
[8] Silakan pelajari kembali Buku Prof, P.J. Drooglever yang berjudul An Act of Free Choice in West
Papua, BAB 11, Blues Papua, Dewan Papua
dan Partai-Partai pada (Halaman: 563-572).
[9]
Persiapan kemerdekaan mengacu dari delik formal hukum HAM PBB, berdasarkan the
UN Universal Declaration of Human Rights Desember 10rd 1948, Declaration
on the Granting of Independence to the Colonials Countries and Peoples.
A/RES/1514 (XV) 14 December 1960, dan International Covenant on Civil and
Political Rights on 16 December 1966. Dengan dasar ini, maka Belanda berniat
baik untuk berikan kemerdekaan. Namun, kemerdekaan yang di rancang Belanda
digagalkan oleh Amerika dan PBB, atas kepentingan Amerika dan Indonesia. Hal
ini terbukti dari semua bentuk rekayasa dan manipulasi yang telah lakukan oleh
PBB, Amerika Serikat dan Indonesia. Semua ini terbukti dari kajian oleh Prof. P.J. Drooglever dalam bukunya
yang berjudul “{the An Act of Free Choice in West Papua 1969]”.
[10] (Selengkapnya
boleh memperoleh Buku Karya Rev. Socratez Sofyan Yoman, yang berjudul PEPERA
1969 di Papua Barat Tidak Demokratis dan Cacat secara Hukum dan Moral). Dalam
semua perjanjian dengan agenda isu status politik Papua Barat atau sengketa
Politik antara Indonesia dan Belanda, tidak melibatkan orang Pribumi atau
Indigenous Papua Barat. Hal ini adalah fakta, yang mana sebenarnya melanggar
Hak-Hak bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.
[11] Perjanjian Roma 1 Oktoerb 1962 adalah membelok dari perjanjian New York,
dimana benar-benar merugikan hak bangsa Papua Barat untuk Menentukan Nasib
Sendiri. Prosedur PBB tidak berlaku dalam semua proses aneksasi Papua Barat ke
Wilayah NKRI. Hal ini terjadi karena maneuver politik Kotor Pemerintah Republik
Indonesia, yang dipimpin oleh Subandrio.
[12] Penyerahan Administrasi Papua Barat kepada Indonesia oleh UNTEA
(Badan Organisasi PBB yang telah menangani Papua Barat), adalah kekeliruan
besar dan tindakan vatal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu, PBB
harus membawa masalah Papua dalam Sidang Majelis Umum guna melakukan
pembicara-pembicaraan kembali atas Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa
Papua.
[13] Sintong Panjaitan dalam menjawab Pertanyaan Wartawan mennyatakan bahwa Seandainya kami (TNI) tidak melakukan Operasi-Operasi Tempur , Teritorial dan Wibawa, maka saya yakin PEPERA 1969 di Papua Barat di menangkan oleh kelompok Pro Merdeka. Sources: Buku Sintong Panjaitan Berjudul “ Perjalanan Seorang Perajurit Para Komando dan Cenderawasih Pos terbitan tanggal 12 Maret 2009”, setelah Peluncuran Buku Sintong pada tanggal 11 Maret 2009 di Jakarta.
[14] Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia
adalah penuh rekayasa dan manipulative dengan jalan terror dan intimidasi,
terhadap orang pribumi Papua Barat. Hal ini terbukti dari fakta-fakta yang di
teliti oleh Dr. John Salford (Akademisi Inggris dan Prof. P. J. Drooglever
serta diperkuat lagi dari Buku karya Letj. Purn. Sintong Panjaitan yang berjudul
“Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando).
[15] Orang Pribumi Papua protes, karena mereka tahu bahwa Hak-Hak mereka dilanggar. Hal lain adalah dalam perundingan-perundingan yang telah melahirkan sejumlah perjanjian, orang Pribumi Papua Barat sebagai Hak milik dan pewaris negeri nya tidak dilibatkan. Jika kita cermati sesakma, ternyata sebenarnya dari awal hak-hak bangsa Papua dilanggar. Oleh karena itu, bangsa Papua telah dan sedang berjuang guna memperoleh hak-haknya yang layak, seperti bangsa-bangsa lain di muka bumi.
[16] Hak-hak bangsa Papua di
bagian Barat Pulau New Guinea dijamin oleh semua Hukum HAM PBB yang disebutkan
di atas, dan Hukum HAM PBB ini adalah tidak dapat diganggu gugat, karena
Deklarasi-deklarasi dan kovenan serta konvensi-konvensi Internasional ini telah
terikat hukum tetap, yang harus dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang atau
pun setiap Negara anggota PBB.
Sumber : www.taringpapuanews.com