Ones Shuniap (foto, Pribadi FB) |
Masa depan Bangsa Papua dikorbankan dengan tidak diikut-sertakannya
rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja
Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free Choice, semua ini
difasilitasi oleh PBB
Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang
berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang.
Karena gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, lahir pada awal tahun
1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki
garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu.
Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita
Manufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk
memerdekakan diri di luar penjajahan asing. Pada Konferensi Meja Bundar
(24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah
menyefakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua
Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat
(RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun
kemudian.
Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka,
sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak
menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo, bekas gubernur Irian Barat, pada
konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas
bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks, tokoh populer
rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas
perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Wilayah Papua Barat
pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda.
Papua Barat telah memiliki bendera nasional Bintang fajar memiliki lagu
Kebangsaan Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan dan nama negara
Papua Barat. Simbol-simbol kenegaraan disiapkan oleh Komite Nasional
Papua (KNP) sekarang yang kita kenal hari ini dengan nama Komite
Nasional Papua Barat (KNPB), simbol negara ini ditetapkan oleh New
Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April
1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan
pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah
diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah
perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah
perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek
ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional
dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah
Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Pepera pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.
Masa depan Bangsa
Papua dikorbankan dengan tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat
sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York
Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan
lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang
dilakukan oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah
Indonesia dan Belanda. Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk
memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap
artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera.
Di sini
terjadi manipulasi pengertian dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas
Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai
utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua
Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih. Ketidakseriusan PBB
untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan pelecehan hak penentuan
nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM melawan
prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua
Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB
agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu.
Sejak
pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda
bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang
sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang
lain di mana dunia telah menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum
bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan memilih untuk merdeka di
luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari hal ini. Rakyat
Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak
adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi
kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas
tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran
diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan,
merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia.
Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan
yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang
dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi
yang masuk tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin
mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Menurut catatan sementara,
diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah meninggal sebagai
akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik
pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah membuat sejarah
hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat,
Yugoslavia dan Rwanda. Kesadaran merupakan basis untuk
mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire
(professor Brasilia dalam ilmu pendidikan)menulis. Semangat juang
menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Sejarah
Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang
meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti
atau dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya
dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya
dari kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan
perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia.
Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian
yang setara dengan masyarakat internasional.
Perjuangan akan
dilanjutkan hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang
orang-tuanya dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI
tidak akan hidup damai selama Papua Barat masih merupakan daerah
jajahan. Mereka akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Oleh karena itu untuk mengwujudkan perdamaian dan keadilan di papua
barat, indonesia negara anggota PBB yang menganut sistem demokrasi harus
mengakui kesalahan terdahulunya dan secara jentelmen menerima solusi
yang selama ini ditawarkan oleh rakyat Papua Barat melalui KNPB yaitu
Referendum di Papua barat.
selain itu PBB segera memfasilitasi Rakyat Papua Untuk menetukan nasib sendiri melalui referendum karena PBB tidak pernah menjalankan tugas dengan baik sesuai perjanjian New York Agrement 15 Agustus 1962 sehingga pelaksanaan pepera 1969 penuh dengan manipulasi dan penuh dengan pembunuhan yang megakibatkan nasib orag papua jadi korban , sehingga PBB segera bertanggung jawab atas nasib bangsa Papua Barat.
Penulis adalah Ones SUhiniap Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Tinggal di Holandia West Papua