Ilustrasi (foto,W. Kobogaunews.com) |
Press Release
Perebutan
wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua
negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York
Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang
mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self
Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu
suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer
Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963
dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam
pangkuan NKRI.
Kemudian
pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma
Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan
mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua
pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara
besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi
Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar,
Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari
operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni
penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua,
pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Lebih
ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran,
perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim
Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh
Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat
dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam
kekuasaan Indonesia.
Tepat
14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang
memiliki hak, hanya 1025 orang yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk
memberikan suara, dan sebelumnya sudah dikarantina. Dari 1025 orang yang
ditunjuk, hanya 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan
PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta
adanya pelanggaran HAM berat.
Praktek
yang kemudian diterapkan Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi
prokemerdekaan Papua. Militer menjadi tameng yang reaksioner dan kesenjangan
sosial/kesejahteraan menjadi alasan untuk menutupi aspirasi kemerdekaan rakyat
Papua dari pandangan luas rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional.
Didasari
kenyataan sejarah akan hak politik rakyat Papua yang dibungkam dan keinginan
yang mulia rakyat Papua untuk bebas dan merdeka diatas Tanah Airnya, maka dalam
peringatan 44 tahun PEPERA yang tidak demokratis, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]
menuntut pemerintah Indonesia dan PBB untuk segera ;
1.
Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
2.
Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua
perusahaan Multy
National
Coorporation
(MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG
Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
3.
Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non
Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan
terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Demikian
press release ini dibuat, kami akan terus menyuarakan perlawanan atas segala
bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan Tanah Air
Papua hingga rakyat Papua memperoleh kemenangan sejati. Atas kerja sama
Kawan-kawan jurnalis untuk memberitakan aksi ini, kami ucapkan jabat erat.
Salam Demokrasi!
Yogyakarta,
15 Juli 2014
Jubir
Aksi
Yosafat
S.