Yason Ngelia (foto, FB) |
Oleh : Yason Ngelia #
Saya sependapat dengan seorang pengacara Ham Papua yang juga alumni
Uncen. Beliau sampaikan bahwa tidak sepenuhnya mahasiswa dapat
disalahkan karena palang memalang kampus, karena sebetulnya ratusan
akademisi di Uncen tidak pernah serius dalam mencari penyelesaian
masalah tersebut, namun hanya bisa menyesali pemalangan. Bukankah ini
sebetulnya masalah sepeleh yang tidak perlu di biarkan. katanya.
Kalimat ini seharus dapat membuka mata semua orang diligkungan Uncen, baik mahasiswa, dosen, senat, hingga pimpinan senat yaitu rector Uncen sendiri, agar tidak lagi melihat mahasiswa yang sering melakukan aksi demonstrasi, dengan gapura Uncen sebagai titik sentral mobilisasi massa mahasiswa, adalah kelompok mahasiswa yang harus menjadi musuh bersama civitas akademika Uncen. Dengan cara mendeskreditkan keberadaan mereka dilingkungan akademik Uncen.
Hal ini dapat kita lihat dengan membatasi kelompok mahasiswa ini dalam segala hal seperti membatasi ruang-ruang diskusi mereka, membatasi keterlibatan mereka pada organisasi mahasiswa lingkungan Uncen. Bahkan tidak jarang pendekatan demi membatasi pandangan politik atau idialisme mahasiswa papua. Seharusnya disadari bahwa sulit untuk dialihkan karena keberadaan mereka pada wilayah konflik itu sendiri. Lembaga cenderung memakai sikap-sikap represif ketimbang persuasif untuk meminimalisir ketidak singkronan pandangan kelompok mahasiswa tersebut dan pimpinan lembaga. Sehingga realitas akhir ini adalah akibat dari pendekatan yang tidak intelektual oleh pimpinan lembaga Uncen kepada kelompok mahasiswa itu sendiri.
Kelihatan bahwa kelompok mahasiswa ini dijadikan musuh bersama civitas akademika Uncen, itu terlihat jelas dari sikap dari pimpinan Lembaga Uncen yaitu Rektor, namun juga dari lingkungan kampus, dekan dan para dosen hingga pimpinan organisasi mahasiswa Uncen yaitu BEM dan MPM. Bukan sebaliknya mencari pendekatan dan penyelesaian masalah ini, malah menimbulkan masalah baru. Masalah yang seharusnya mudah jika ada keterbukaan dan kebersamaan antara kelompok mahasiswa tersebut dan semua pihak berkepentingan di Uncen. Bukan kini yang nampak adalah tidak adanya usaha-usaha menyelesaikan atau bertanggungjawab dari dinamika akhir ini.
Pendekatan intelektual dan berwibawah yang dimaksudkan adalah pengakuan lembaga tentang keberadaan kelompok mahasiswa ini dan manifesto politik gerakan mereka di kampus. Perlu ada ruang bagi mereka dan bukan antipati kepada mereka yang berujung ketidakpahaman seperti ini. Hingga kepada keleluasaan mereka berdiskusi, berargumen, tanpa perlu mendeskreditkan individu dan kelompok mereka kepada mahasiswa lain diligkungan Uncen dengan tujuan marjinalisasi keberadaan mereka, karena hanya berhasil memutuskan komunikasi mereka dengan akademisi Uncen itu sendiri, dan bukan menyelesaikan masalah. Akademisi Uncen yang notabennya adalah orang-orang yang seharusnya mempunyai kontribusi pikiran dan bukan menjadi musuh mahasiswa ini.
Pendekatan selanjutnya adalah bersama dalam membangun gerakan mahasiswa secara intelektual dengan memberika ruang dan akses pendidikan yang mendidik tanpa perlu membatasi atau megintervensi. Lembaga tetap memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan dan tidak perlu mengkawatirkan keberadaan kelompok mahasiswa ini karena gerakan mahasiswa tetap dijalur pendidikan sebagai bagian dari infra struktur politik (pressur grupe) ala mahasiswa. Atau dengan perkataan lain pembangunan kesedaran partisipasi politik mahasiswa secara bersamaan. Agar sekiranya meminimalisir pemalngan kampus hingga sampai tahap dimana tidak ada sama sekali..Bersambung (Yason Ngelia)