Ilustrasi Penolakan Daerah Otonom Baru |
Mahasiswa Papua asal distrik Agimuga Sejawa dan Bali
tolak atas Pemekaran Kabupaten Baru dari Kabupaten Mimika yang di mekarkan
yakni kabupaten Agimuga. Hal tersebut disampaikan dalam pernyataan dari
Mahasiswa Agimuga Se-Jawa Bali di Jakarta, pada Senin (27/05/2014)
Ini sikap bentuk penolakan Mahasiswa Agimuga Se-Jawa
Bali di Jakarta; Pemekaran
provinsi, kabupaten/kota di Indonesia dibentuk dengan tujuan baik demi meningkatkan
pelayanan untuk masyarakat setempat. Dengan adanya pemekaran daerah diharapkan
setiap kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah dapat
diidentifikasi dan terkoordinir dengan baik sesuai dengan potensi
masing-masing. Namun, jika dilihat dari konsepnya, peran pemerintah kabupaten
Mimika adalah memberikan pelayanan masyarakat, karena pemerintah merupakan unit
yang terdekat dengan masyarakat Mimika dan kesalahan bukan terletak dari
kebijakan yang ada, namun lebih kepada kinerja para aparatur yang tidak
melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuannya di kabupaten Mimika.
Mahasiswa asal Distrik
Agimuga kabupaten Mimika Papua menolak distrik Agimuga dimekarkan jadi
kabupaten. Penolakan ini dilakukan Karena dikeluarkannya surat oleh Presiden
Republik Indonesia tertanggal: Jakarta, 27 Februari 2014 dengan nomor surat: R13/Pres/02/2014
tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan 22 kabupaten/kota. 22
kabupaten/kota itu salah satunya adalah distrik Agimuga termasuk yang disetujui
oleh presiden untuk dimekarkan. Surat tersebut ditujukan kepada DPRI agar RUU
tentang pembentukan kabupaten/kota bisa disidangkan kemudian disahkan yang
sifatnya sangat segera.
Kami
melihat kasus perencanaan pembentukan pemekaran distrik Agimuga menjadi
wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Mimika telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan
politisi, tokoh masyarakat, toko perempuan, pejabat pemerintah, kaum intelektual (mahasiswa) Amungme.
Mereka hanya memperdebatkan manfaat ataupun kerugian dan daerah adat yang
timbul dari banyaknya contoh wilayah yang dimekarkan di Provinsi Papua. Berbagai pandangan
dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Tim pemekaran
menyatakan bahwa pemekaran akan membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking,
yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat
maupun dari penerimaan daerah sendiri (elit pemerintah, politis dan ekonomi).
Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih
jauh lagi dipandang dari pihak kontra (Mahasiswa Agimuga) pemekaran distrik
Agimuga menjadi kabupaten dipandang merupakan bisnis kelompok elit di daerah
yang sekedar menginginkan jabatan dan posisi tanpa memperhatikan dan memperdulikan
nasib rakyat.
Kami
beralasan bahwa untuk pemekaran wilayah perlu dilihat dari berbagai aspek.
Aspek-aspek yang perlu menjadi perhatian adalah jumlah penduduk, sumber daya
manusia (SDM), luas wilayah, kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, sumber
daya alam (SDA), dan aspek lainnya yang bisa mendukung dimekarkannya suatu
wilayah menjadi kabupaten. Dilihat dari aspek-aspek di atas, Agimuga tidak
dimungkinkan atau tidak layak untuk dimekarkan menjadi kabupaten karena jumlah
penduduknya sebesar 701, luas wilayahnya 1772 km2, kepadatan penduduk
0,4 jiwa/km2 dan jarak antar Ibu kota distrik ke Ibu kota kabupaten
adalah 87,5 km.
Sumber
daya manusia di distrik Agimuga rata-rata lulusan SMP dan sebagian kecil
lulusan SMA. Sedangkan lulusan perguruan tinggi atau sarjana jumlahnya pun
sangat sedikit. Mata pencarian masyarakat setempat adalah petani dan nelayan dengan rata-rata
pendapatan per hari Rp. 5.000,- - Rp. 15.000,-. (lima ribu rupiah – lima belas
ribu rupiah). Mahasiswa juga mengatakan
bahwa kabupaten induk Mimika saja tidak mengakomodir putra-putri asli Timika
untuk duduk di pemerintahan dan mengatur daerahnya. Malah sebagian besar
pegawai negeri sipil di lingkup pemerintahan kabupaten Mimika adalah orang non-Papua
dan sebagian lagi saudara-saudara se-Papua yang lain. Sedangkan pribumi
Kabupaten Mimika hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Jika
demikian, distrik Agimuga dimekarkan menjadi kabupaten untuk siapa kalau kabupaten induk saja sudah
seperti ini? Semua kebijakan dalam pembangunan di kabupaten Mimika saja tidak
pernah berpihak kepada pribumi setempat, yaitu suku Amungme dan Kamoro. Malah
pribumi Amungme dan Kamoro dijadikan objek oleh para elit lokal, provinsi, dan
pusat untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata. Lebih parahnya lagi,
kabupaten Mimika dijadikan arena perebutan kekuasaan dengan mengadu domba
masyarakat kecil yang tidak tahu dengan konflik-konflik kepentingan yang dibangun
oleh elit-elit lokal, provinsi dan pusat. Melihat berbagai persoalan di atas,
kami Mahasiswa asal Distrik Agimuga kabupaten Mimika Papua menolak dengan tegas
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pembentukan Kabupaten Agimuga disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Tim
pemekaran distrik Agimuga mati-matian melobi DPR-RI, karena bila lewat pemerintah, jalannya
cukup panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di tingkat Departemen Dalam Negeri
atau Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi, kalau lewat DPR-RI, pasti lolos
karena langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam posisi tidak gampang untuk mengatakan
tidak. Di samping itu, Bila distrik Agimuga dimekarkan maka cenderungnya akan
memicu terjadinya konflik sosial atau adu kekuasaan. Fakta ini telah
terbukti terjadi di Kabupaten induk Mimika, misalnya kasus konflik antara kelompok dan berbagai konflik
lainnya di seluruh tanah Papua khususnya dan pada umumnya di penjuru tanah air.
Melihat fenomena tersebut, maka kami Mahasiswa Agimuga menolak Rencana
Pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten.
Sumber Info dari:
Victor Hiller Tsenawatme-Ketua Ikatan
Pelajar Mahasiswa Kabupaten Mimika di Surabaya dan Thomas Edison Pigai-Mahasiswa di Univ.
Udaya Bandung