Jayapura,- Pada
tanggal 10-11 Maret 2013 lalu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB meninjau
pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, salah
satu hak asasi manusia paling penting yang sudah diratifikasi Indonesia
dan pemerintah berkewajiban untuk menjalankan jaminan perlindungan
hak-hak itu di Indonesia.
Ini terungkap dalam siaran pers yang diterima SP dari Jenewa yang
ditanda tangani Fransiscans Internasional, Human Rights and Peace for
Papua (ICP), Imparsial, KontraS, Tapol and the West Papua Network,
Senin ( 15/7) malam
Komite HAM menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Karena tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia pertanggungjawaban hukum anggota militer, Komite melihat pengulangan kejadian seperti kekerasan hingga Indonesia mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif.
Komite mengacu pada tingginya angka pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama dua tahun terakhir dan menyesalkan penggunaan kekerasan dalam membubarkan protes damai di Papua.
Poengky Indarti dari pemantau hak asasi manusia Imparsial mengatakan “Diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional,”kata Poengky.
Sementara pengadilan militer Indonesia dalam banyak kasus tidak terbuka untuk umum dan kurang transparan, kurang adil, dan independen. Namun delegasi pemerintah Indonesia menyatakan kepada komite bahwa pengadilan ini umumnya dapat diakses oleh publik. Sementara, Indria Fernida dari Tapol di London terkejut melihat tingkat penolakan kekurangan kelembagaan yang melanggengkan budaya impunitas di Indonesia.
“Korban kecewa dengan kegagalan pengadilan militer di Papua dan sangat membutuhkan mekanisme pengaduan yang efektif atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer,” kata Indria Fernida.
Komite HAM menekankan bahwa pengadilan untuk anggota militer yang bertanggung jawab harus terbuka, adil, transparan dan akuntabel. Masarakat sipil yang menghadiri peninjauan ini mengharapkan Komite HAM memberikan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah untuk meninjau UU Pengadilan Militer.
Delegasi Pemerintah menyatakan kepada Komite HAM bahwa media lokal di Papua bebas untuk mempublikasikan berita. Sementara itu, kasus intimidasi, ancaman, dan kekerasan terhadap wartawan lokal di Papua terus berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional harus menyaksikan pembunuhan di luar hukum terhadap jurnalis Ardiansyah Matrais dan serangan kekerasan terhadap jurnalis Banjir Ambarita.
Dalam penilaiannya, badan PBB ini juga menyesalkan situasi kebebasan berekspresi dan masalah tahanan politik di Papua. ‘Lucunya’ , Letnan Jenderal purnawirawan Bambang Darmono, kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B), sebagai anggota delegasi pemerintah menanggapi bahwa “kebebasan berekspresi tidak mutlak.”
Komite HAM menyesalkan problem terhadap tahanan politik di lembaga pemasyarakatan Papua. Delegasi pemerintah menyatakan posisinya bahwa Filep Karma, Kimanus Wenda, dan tahanan lainnya sah dipenjara karena ekspresi mereka bertujuan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Menurut delegasi, pemerintah Indonesia akan terus menghentikan ekspresi damai pandangan politik yang bertujuan memisahkan Papua dari Indonesia dengan memidanakan mereka. Delegasi melihat pembatasan kebebasan berekspresi diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Indonesia.
Budi Tjahjono dari Fransiskan International khawatir bahwa “hal ini menyiratkan upaya memperpanjang pendekatan keamanan yang merugikan di Papua, “ujarnya. Diungkapkan, komite ini akan mempublikasi kesimpulan observasi dan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.
Sumer : www.star-papua.com