Konflik suku di Timika, Papua (Foto: Ist) |
(Sebuah Refleksi Anak Bangsa atas Korban Jiwa yang Terus Bertambah)
*Oleh: Miganiju Kleopas Sondegau
Orang Papua yang hidup di pesisir pantai dan pegunungan barangkali
memiliki perspektif yang berbeda mengenai perang suku – dalam tulisan
ini saya menggunakan istilah “konflik antar suku”.
Di kalangan masyarakat pegunungan, akar persoalan yang menyebabkan
konflik antar suku terjadi umumnya disebabkan karena masalah perempuan,
entah yang sudah bersuami — biasanya akan bermasalah jika pihak
laki-laki belum membayar mas kawin, padahal sudah mempunyai anak lebih
dari satu, dan juga bila ketahuan berbuat zinah — maupun yang masih
gadis — terutama bila gadis tersebut dibawa lari oleh laki-laki —
praktek manipulasi kulit bia secara tidak adil, pencurian babi,
perampasan tanah leluhur atau hak ulayat, dendaman masa lalu yang masih
terpendam dan seterusnya.
Konflik antar suku itu seringkali terjadi karena seseorang atau
sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan yang tak bermoral atau tak
terpuji menurut budaya setempat, sehingga pihak korban merasa tindakan
semacam itu harus diselesaikan melalui jalur konflik antar suku.
Budaya konflik antar suku di satu sisi dilihat sebagai ungkapan emosi
atau jengkel terhadap pelaku, tetapi di lain sisi dilihat sebagai upaya
untuk menyelesaikan konflik yang sedang dihadapi.
Demikian pemahaman dan penghayatan masyarakat pegunungan terhadap
konflik antar suku itu sendiri. Walaupun pemerintah dan agama sudah
masuk di wilayah mereka, namun pandangan yang demikian masih diteruskan
oleh masyarakat pegunungan hingga saat ini.
Namun setelah pemerintah masuk, ada kalanya masalah-masalah seperti
pemerkosaan, pembunuhan, tanah adat atau tanah leluhur, pencurian babi
dan sejumlah persoalan lain seringkali diselesaikan oleh aparat keamanan
(pihak kepolisian).
Mula-mula masyarakat pegunungan berkonflik untuk melampiaskan
amarahnya atau sikap tidak menerima kenyataan yang terjadi, namun akan
berbahaya jika akibat dari konflik antar suku itu memakan korban jiwa
yang banyak.
Dengan melihat jumlah nyawa yang hilang (mati terbunuh), maka mau
tidak mau kedua kubu akan berjuang mati-matian untuk menyamakan jumlah
korban jiwa.
Jika salah satu kubu korbannya banyak, sedangkan di kubu lain kurang,
maka pertikaian akan berlanjut terus — bisa berbulan-bulan bahkan tahun
— hingga jumlah korbannya sama — fakta semacam ini tidaklah mudah untuk
mengatasi atau mencegah konflik, dan karena itu tidak jelas kapan
berakhir karena jumlah korban jiwa harus seimbang alias tidak bisa
ganjil tetapi sama-sama harus mencapai genap.
Inilah kebiasaan yang telah menjadi budaya bagi masyarakat pegunungan
secara umum, dan masyarakat suku Migani (yang kini disebut Moni) dan
Dani secara khusus.
Inilah akar persoalan yang terjadi antara kubu suku Migani dan suku
Dani di Timika, yang mana semula berkaitan dengan masalah tanah milik
leluhur orang Migani, namun beralih ke upaya pembunuhan yang
terus-menerus dengan alasan membalas dendam terhadap anggota kubu yang
mati.
Jika pihak-pihak berwewenang menyuarakan kedamaian tanpa melihat akar
persoalan di atas (jumlah korban jiwa dari kedua kubu), maka seruan
atau himbauan semacam itu bagai mimpi di siang bolong.
Mengapa? Karena hal yang mesti dilakukan oleh pihak pemerintah,
aparat keamanan – TNI/Polri- agama maupun adat, untuk secara
bersama-sama menciptakan kedamaian adalah dengan melihat akar masalah
yang menyebabkan konflik itu terus berlanjut.
Siapapun yang menyerukan perdamaian tanpa melihat akar persoalan,
tidak akan pernah menciptakan kedamaian dan inilah yang justru terjadi
di Timika antara suku Migani dan Dani.
Sekalipun Wakapolda Papua, Brigjend Paulus Waterpauw mengatakan
budaya konflik antar suku bisa diterima logika ketika belum ada
pendidikan yang baik, belum ada pemerintah yang sah, dan bahkan belum
ada agama (Cepos edisi Sabtu, 08/03/14), namun ketika korban jiwa lebih
banyak dialami oleh salah satu kubu, maka masyarakat sudah tidak peduli
lagi dengan apa yang dikatakan oleh bapak Wakapolda.
Artinya, bahwa jika korban jiwa semakin bertambah, maka konflik antar
sukupun akan terus berlanjut. Hal ini yang musti diketahui dan
diperhatikan oleh semua pihak yang berwewenang.
Untuk itu, karena hal ini yang terjadi di Timika, maka solusi yang
sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dan semua pihak terkait adalah
membayar lunas kepala orang yang telah meninggal, terutama dari kubu
yang lebih banyak korban — hitung berapa nyawa yang belum dibalas dari
pihak korban, maka jumlah orang yang belum dibalas inilah yang HARUS PEMERINTAH TANGGUNG JAWAB kalau mau menciptakan kedamaian secara sungguh-sungguh.
Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah provinsi maupun pemerintah
daerah, serta seluruh komponen perangkat Negara seperti DPRD, MRP,
DPRP, tokoh agama, tokoh adat, aparat keamanan (POLRI) dan siapa pun
yang berkepentingan menciptakan kedamaian di tanah Papua tercinta ini.
Berapapun jumlah kepala yang harus dibayar, ini menjadi tanggung
jawab semua perangkat Negara di Timika. Pemerintah ada karena
masyarakat, maka pergumulan apapun yang dihadapi oleh masyarakat juga
merupakan bagian dari pergumulan pemerintah yang mesti diselesaikan
secepat mungkin.
Sekalipun berat, tetapi demi menciptakan kedamaian, maka upaya ini
mutlak diperlukan dan tentu membutuhkan pengorbanan yang besar. Tanpa
pengorbanan mustahil kedamaian dapat tercipta di tengah masyarakat yang
bertikai.
Konflik antara suku Migani dan Dani yang berlangsung hampir 5 bulan
itu (Januari-Mei) terkesan konflik yang berlangsung di era sebelum
pemerintah masuk di wilayah Timika. Mengapa?
Karena walaupun perangkat Negara itu ada seperti MRP,
Bupati/Carateker, DPRD, SKPD, POLRI, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh
Perempuan, Tokoh Pemuda dan sejumlah elemen lain, namun tidak ada dampak
apa-apa, atau tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan konflik akan
berakhir melalui suatu perundingan yang adil, damai dan aman.
Ia justru masih terus berlanjut dan seiring dengan itu kematian
manusia-manusia Papuapun (Migani dan Dani) ikut bertambah bagai binatang
yang mati tanpa bernilai apa-apa.
Konflik yang sudah berlangsung lama dan telah merenggut puluhan nyawa
manusia-manusia tak berdosa itu mestinya segera dapat dihentikan. Upaya
untuk menciptakan kedamaian bukan hanya tugas polisi, tetapi juga tugas
semua perangkat Negara. Maka itu butuh keseriusan dan kerja sama dari
semua pihak sebagaimana yang diungkapkan oleh teman-teman polisi (Lihat
Cepos edisi Selasa, 01/04/14).
Upaya menghentikan konflik ini bukan pekerjaan muda yang dapat
dilakukan oleh satu dua orang saja, tetapi pekerjaan berat yang perlu
ditangani oleh setiap kelompok yang peduli terhadap Papua tanah damai.
Penanganan yang dilakukan oleh sejumlah pihak terkait, terutama dari
aparat keamanan belum juga menemui titik terang; pasalnya konflik antara
suku Migani dan Dani itu sudah berlangsung lama dan bahkan masih
berlanjut hingga saat ini.
Kalau demikian, kapan konflik antarsesama anak bangsa ini akan
berakhir? Kapan lagi nyawa manusia-manusia tak berdosa itu tidak dibunuh
lagi? Kapan situasi hidup yang damai, aman dan harmonis itu akan
dirasakan oleh masyarakat Timika?
Berapa lama lagi pihak-pihak yang berwewenang itu dapat mengambil langkah secara cepat guna menciptakan suasana hidup yang baik?
Jujur saja, bahwa masyarakat yang ada di seluruh Timika, terutama
keluarga-keluarga yang menjadi korban masih trauma dengan kehilangan
anggota keluarga mereka, masyarakat di Timika juga tidak dapat
beraktivitas secara bebas, hidupnya masih dihantui oleh rasa ketakutan
terhadap musuh entah dari pihak Migani maupun Dani.
Situasi batin mereka tidak damai, dan akibatnya seluruh masyarakat
setempat mengalami penderitaan lahir maupun batin. Penderitaan jenis ini
akan berakibat vatal bagi kehidupan anak-anak yang masih kecil, apalagi
masih dalam tahap perkembangan awal. Orang tua hidup tidak tenang, maka
otomatis anak-anak pun mengalami situasi hidup yang sama.
Kalau situasi hidup masyarakat Timika seperti itu, kapan konflik
antara suku Migani dan Dani ini akan berakhir? Sebagai manusia yang
bermartabat di hadapan sesama dan terutama di hadapan Allah Sang
Pencipta, kehidupan yang damai, aman dan harmonis itu perlu bahkan harus
diciptakan oleh seluruh komponen yang terkait.
Jika hal ini ditangani secara santai dan terkesan malas tahu oleh
pihak-pihak yang berwewenang, maka hak untuk menikmati hidup yang damai,
aman dan harmonis itu jauh dari harapan masyarakat Timika.
Bila konflik kedua kubu ini tidak segera ditangani dengan cepat oleh
pihak-pihak terkait, maka nyawa-nyawa manusia tak berdosa yang mati akan
ditanggung oleh pihak-pihak tersebut. Untuk itu, marilah kita bekerja
sama untuk mewujudkan tanah Timika yang damai dan aman agar hak untuk
hidup baik itu dirasakan juga oleh seluruh masyarakat yang berdomisili
di tanah Timika khususnya suku Migani dan Dani.
Siapa pun yang membaca tulisan ini, mohon dukungan doa untuk kedamaian saudara-saudari kita di tanah Timika Amakanieee.
*Miganiju Kleopas Sondegau adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi-Fajar Timur (STFT “FT”), Abepura-Jayapura-Papua.
Sumber : www.suarapapua.com