Pages

Pages

Jumat, 02 Mei 2014

Atas Nama UNPO, Ketua Presidium ASNLF Berpidato Di Komite PBB

FOTO PERSIDANGAN JENEWA SIWISS
Laporan ASNLF dari Sidang ke-52 Komite PBB Di Jenewa, Swiss
 
Jenewa - Ketua Presidium ASNLF Ariffadhillah, hadir dalam pembukaan sidang ke-52 Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau CESCR (Committee on Economic, Social dan Cultural Rights), Senin (28/4), di Palais Wilson, kantor Komisi Tinggi PBB HAM atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Jenewa, Swiss.
Pada kesempatan itu, kehadiran Ariffadhillah dipercayai sebagai wakil resmi dari Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang berbicara atas nama tiga organisasi perjuangan kemerdekaan, Acheh-Sumatra National Liberation Front (Aceh), Republik Maluku Selatan (Maluku) dan Pemerintah Nasional Republik Papua Barat (Papua). 
 
Sidang ke-52 tersebut berlangsung mulai 28 April sampai 23 Mei 2014, dimana komite ini khusus akan mengevaluasi Indonesia dan beberapa negara lain terkait perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di negaranya masing-masing.
 
Di depan Komite yang terdiri dari 18 perwakilan negara, diketuai oleh Mr. Kedzia dari Polandia, Ariffadhillah menyampaikan pengaduan terkait hal-hal ketimpangan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang dialami oleh bangsa Aceh, Maluku dan Papua. Selaku wakil UNPO, ketua Presidium ASNLF yang bermukim di Jerman ini menggambarkan betapa terdiskriminasikannya bangsa Aceh, Maluku dan Papua, yang disertai paparan bukti dengan fakta konkrit.
 
Sebagai salah satu contoh, presentase rumah tangga dengan akses air bersih adalah sekitar 26% di Papua dan 28% di Aceh.  Fakta ini membuktikan sangat kecil perbandingannya dengan kisaran rata-rata di Indonesia pada tingkat 43%.
 
Contoh lain, pembukaan lahan secara besar-besaran (2,5 Juta hektar) di wilayah Papua, adalah suatu eksploitasi dengan pola diskriminasi struktural terhadap rakyat Papua dalam penempatan tenaga kerja dan hanya akan merugikan bangsa Papua.
 
Eksploitasi terhadap tanah masyarakat adat juga telah mengakibatkan perambahan hutan dan kerusakan lingkungan yang sangat serius, yang pada giliran nya juga berdampak pada kekurangan sumber air bersih, kelangkaan sumber makanan dan pencemaran lingkungan.
 
Sesuai dengan laporan UNICEF tahun 2012, akibat dari perambahan hutan, telah mengakibatkan kekurangan makanan, selanjutnya berpengaruh pada tingkat kematian anak yang sangat tinggi. Sebagai contoh, di Maluku Selatan tercatat tingkat kematian bayi sekitar 60 dari 1000 kelahiran. Angka ini sangatlah tinggi dibandingkan tingkat kematian bayi rata-rata di Indonesia sekitar 34 dari 1.000 kelahiran.
 
Terkait dengan berbagai ketimpangan ini, UNPO menyampaikan rekomendasi, agar hak-hak bangsa asli dihormati sebagaimana tertuang dalam konvensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
 
ASNLF tetap dalam komitmen untuk memperjuangkan eksistensi bangsa Aceh dalam segala aspek kehidupan di berbagai forum internasional dengan paradigma yang tegas dan jelas, bahwa kelangsungan hidup bangsa Aceh bukan hanya dalam aspek politik, tapi juga dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, lingkungan, bahasa dan lain-lain.  

***
Ilustrasi foto:

Ketua Presidium ASNLF, Ariffadhillah, saat melawat kantor PBB di Jenewa, Swiss pada Senin (28/4) lalu. (Foto: Asnawi Ali)