Ilustrasi by indo-defense.blogspot.com |
Oleh. Mecky Wetipo.
Sebuah
peristiwa lima puluh satu tahun yang lalu (1963) telah menyisakan kisah
ambigu di atas tanah Papua (Sorong sampai Merauke). Hingga hari ini,
tidak ada yang dapat memastikan akhir ambiguitas itu untuk menjadi hanya
satu paham. Tentu ada dua kelompok yang berperan yang menurut hemat
saya ada kelompok penjajah, penguasa atau pemilik kepentingan (kelompok
integrasi) dan kelompok terjajah, kelompok lemah atau pemilik hak ulayat
(kelompok aneksasi).
Kedua
kelompok di atas berpendirian pada komitmen dan cita-cita mereka untuk
suatu kepuasan akan penguasaan pulau Cenderawasih ini, “Pulau Firdaus”
ini yang bagi sebagian orang, penuh kelimpahan atas harta kekayaan baik
udara, darat, dalam tanah dan dasar laut serta kearifan lokal yang
memiliki nilai global.
Berikut
adalah uraian, kenapa kedua kelompok di atas mempertahankan diri pada
posisinya masing-masing. Memang terlihat jelas bahwa tidak ada yang akan
mengalah tetapi yang lebih jelasnya lagi adalah yang punya kuasa akan
berkuasa dengan segala fasilitas yang dimilikinya.
Penguasaannya
itu tentu dengan cara yang melanggar hak-hak azasi. Misalnya saja
kebebasan untuk berekspresi di muka umum akan selalu dibungkam termasuk
perayaan 1 Mei oleh rakyat Papua yang akhir-akhir ini tidak mendapatkan
izin melakukan demo damai. Tindakan-tindakan represif lainnya seperti
yang ditulis oleh Dr. Siegfried Zöllner, seorang misionaris dan ahli
budaya dan bahasa Suku Adat Yali dalam jurnal Hak Asasi Manusia di Papua
2013 oleh Fransiscans International dengan judul “1 Mei 1963: Aneksasi
Indonesia atas Papua 50 Tahun Yang Lalu.”
Kelompok Integrasi
Kelompok
pertama, kelompok pemilik kepentingan, penjajah atau penguasa (kelompok
integrasi) yang mengakui Pulau Firdaus sebagai suatu kesatuan yang tak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berlandaskan
pada beberapa alasan mendasar berikut;
Pandangan
Soekarno dan M. Yamin bahwa NNG (Nederlandse Nieuw Guinea) merupakan
bagian dari Netherlands Indies (Hindia Belanda) yang sendirinya menjadi
bagian dari Indonesia (Papua Road Map: 2009, Hal. 61). Artinya ketika
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
dikumandangkan, Papua secara otomatis menjadi bagian dari NKRI. Hal ini
pula yang diakui dan menjadi landasan oleh nasionalis Indonesia sekarang
dan orang Papua pro-NKRI untuk mengklaim bahwa Papua bagian dari NKRI.
Beberapa pernyataan lain yang sudah sering terdengar di kalangan
masyarakat, misalnya Megawati Soekarno Putri “Indonesia tanpa Papua itu
namanya bukan Indonesia”.
Pasal
II New York Agreement (NYA) berbunyi transfer of administration
(penyerahan pemerintahan),”….. the Netherlands will transfer
administration of the territory to a United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA)…..” (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010:829).
Begitu perjanjian ini selesai, Soebandrio yang menjabat sebagai
sekretariat urusan Irian Barat, Biro Irian Barat dengan cepatnya membuka
pendaftaran kepada para pengawai baru yang akan menempati Papua
(Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010: 619).
Seperti
yang diketahui oleh sebagian orang , kurang lebih ada tiga pintu
pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di tanah Papua yakni, pertama, 1
Desember 1961. Pelanggaran HAM dimasa ini terjadi karena saat Bangsa
Papua di bawah bantuan Kerajaan Belanda mengumumkan kepada dunia
internasional terkait persiapan Papua Barat untuk menjadi suatu bangsa
yang independen.
Soekarno
dan rombongannya yang saat itu berada di Negeri Belanda, tatkala
mendengar siaran tentang upacara peringatan itu memutuskan untuk kembali
ke Yogyakarta (Ibu Kota Indonesia ketika itu). di lapangan Alun-alun
Yogyakarta, Soekarno mengumandangkan Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada
19 Desember 1961 atau berselang 18 hari setelah penggumuman calon negara
Papua.
Kedua,
1 Mei 1963 sebagaimana yang sedang dijelaskan pada tulisan ini. Dalam
buku Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) oleh Dr. Peter J.
Drooglever dengan sangat jelas menceritakan bahwa wakil-wakil Indonesia
yang masuk untuk kasus Irian Barat menguras segalanya untuk mengupayakan
Papua merupakan bagian dari NKRI seperti yang dilakukan Anak Agung,
anggota Tim Federalis dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949
di Den Haag, Belanda, “Anak Agung membuka dengan satu tawaran penyerahan
kedaulatan atas Papua kepada Indonesia dengan mempertahankan beberapa
campur tangan Belanda dalam pemerintahannya” (Tindakan Pilihan Bebas,
Drooglever, 2010, Hal. 177).
Namun
sesuai usulan T. Critchley (Australia) atas nama UNCI bahwa “Papua satu
tahun lagi akan tetap berada di bawah kekuasaan Belanda. Sesudah
periode ini, masalah status politik Papua diselesaikan melalui
perundingan” dan usulan ini diterima kedua belah pihak dan diputuskan.
Tindak
lanjut dari pada perjanjian ini, militer Indonesia mulai sewenang
–wenang menguasai Papua yang saat itu pemerintahannya dikendalikan oleh
UNTEA sesuai perjanjian NYA 1962. Pelanggaran HAM untuk periode ini
mulai terjadi sebelum dan sesudah perjanjian KMB dengan tujuan
memaksakan orang Papua agar mau mengakui dan terlibat dalam integrasi 1
Mei 1963 itu.
Pintu
ketiga, pelanggaran HAM oleh militer Indonesia antara Mei, Juni dan
Juli 1969 selang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hampir
semua penelitian-penelitian yang berkaitan dengan HAM di tanah Papua
mengakui bahwa sebelum pelaksanaan Pepara sudah terlalu banyak
pelanggaran HAM.
Pelanggaran
yang terjadi diantara selang waktu itu adalah untuk memastikan setiap
orang Papua harus mengakui bahwa mereka akan bergabung dengan NKRI dan
bila menginginkan Merdeka, maka akan dibunuh. Penyiksaan, terror,
intimidasi dan beberapa kasus di luar perikemusiaan rameh terjadi di
masa-masa itu.
Uraian
di atas membawa kita pada suatu pemahaman yang mantap bahwa
sesungguhnya yang diakui bangsa Indonesia bahwa1 Mei sebagai hari
Integrasinya Bangsa Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah hanya suatu upaya penguasaan atas Pulau Firdaus dan tentu bukan
untuk para pemilik dan penjaga Pulau itu melainkan kekayaannya.
Kelompok Aneksasi
Kelompok
kedua, kelompok terjajah, kelompok lemah atau pemilik hak ulayat
(kelompok aneksasi) yang mengklaim bahwa peristiwa 1 Mei 1963 itu
sebagai tahapan pembunuhan, intimidasi, penyiksaan, pemaksaan,
pencaplokan dan penguasaan hak-hak masyarakat asli.
Menurut
kelompok ini, dalam forum-forum resmi isu Papua karena dinilai terlalu
berat maka tidak dibahas dalam mata agenda pembahasan termasuk dalam KMB
di Den Haag, Belanda 1949. Hal itu menjadi alasan perlawanan pihak
Papua serta mengakuinya sebagai hari aneksasi bangsa Papua. Dikatakan
bangsa Papua karena sebelumnya, 1 Desember 1961 Bangsa Belanda membantu
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat (sebagaimana dalam penjelasan
awal).
Dalam
konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, Desember 1949, Belanda
mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari Sabang sampai
Amboina. Menyangkut Karasiden Papua termuat dalam pasal 2 dengan jumlah 5
ayat, Naskah Piagam penyerahan kedaulatan yang intinya mengatakan
ditunda, (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 178)
Mohamad
Hatta (Tim inti delegasi Indonesia dalam KMB) mengakui bahwa “ia
sebagai pribadi tidak terlalu mementingkan pernyerahan kedaulatan atas
wilayah ini,….” (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 177).
Berdasarkan
dua statement di atas dan penjelasan sebelumnya dalam tulisan ini serta
tulisan lain terkait peristiwa 1 Mei 1963 selalu berakhir pada dua
pemaknaan. Secara pribadi saya menilai ini hal yang ambigu karena dua
hal, pertama, pemerintah Indonesia melalui wakil-wakilnya baik sipil
maupun militer mengantikan para pegawai pemerintahan peralihan yang
ditugaskan PBB dalam UNTEA tidak sesuai kesepakatan-kesepakatan
sebelumnya bahwa akan ada dua fase namun belum waktunya sudah membludak
pada fase pertama awal Mei 1963.
Hal
itu diikuti dengan penguasaan Pulau Firdaus oleh hampir kebanyakan
pegawai dan militer Indonesia, Drooglever menjelaskan, mereka terkesima
dengan Papua kala itu, “gaji yang bagus karena digaji melalui PBB, …
dikonfrontasikan pada satu kota yang tampak makmur, terawat baik dengan
toko-toko dengan persediaan mewah, dan itu di dalam satu waktu dimana
orang di kota-kota di Jawa berjuang dengan keterlantaran dan kekurangan
di semua bidang. .. kepingan-kepingan coklat Van Hourten merupakan
kebahagiaan yang dikirim ke keluarga-keluarga di Jawa dalam jumlah besar
(Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 619).
Hal
seperti ini mengakibatkan usulan satu tahun kemudian diadakan
perundingan khusus masalah Papua tidak diseriusi namun kerja-kerja
mereka lebih terarah pada strategi pemenangan Pepera 1969. Untuk sebuah
kemenangan bukan hanya kepingan coklat di atas meja Van Hourten
melainkan lebih pada kemenangan untuk Pulau Firdaus secara utuh lebih
khusus sumber daya alamnya. Akhirnya segala kerja-kerja diarahkan untuk
Pepera 1969 dengan melakukan segala cara termasuk yang paling biadab.
Kedua,
saya menilai ini masih ambigu karena kelompok pro Papua merdeka seakan
masih tetap mengakui itu sebagai hari pencaplokan Papua ke dalam NKRI
atas semua alasan-alasan yang diutarakan di atas. Bentuk konsistensi
akan prinsip ini selalu diutarakan dalam berbagai kegiatan misalnya
perayaan dalam bentuk Doa dan atau demo damai. Sekali pun eskalasinya
semakin berkurang dari tahun-tahun sebelumnya karena tekanan oleh pihak
aparat yang sangat berlebihan, namun dapat di jamin bahwa setiap
pemikiran dan perasaan orang Papua pro Merdeka akan tetap mengakui bahwa
1 Mei sebagai hari aneksasi bukan integrasi.
Untuk
mendukung argumen di atas, dapat disimak pernyataan dalam sebuah pidato
oleh tokoh Papua alm. Theys H. Eluay, ” Perlu diingat bahwa bukan orang
Papua yang berintegrasi ke NKRI tetapi NKRI-lah yang berintegrasi ke
Papua”.
Hal
ini dimaksudkan bahwa, bila orang Papua yang memilih berintegrasi
dengan NKRI berarti ketika Papua merasa sudah cukup belajar dari
Indonesia dan berkehendak memisahkan diri semestinya permintaan itu
dikabulkan oleh Indonesia. Namun yang sedang terjadi adalah sebaliknya,
bahwa karena Indonesia yang berintegrasi ke Papua, jadi ketika orang
Papua meminta lepas dari NKRI, Bangsa Indonesia tidak sampai hati
melepaskan Papua dari genggamannya.
Kutipan
Bapak Ondoafi besar alm. Theys mengantarkan saya pada kesimpulan
pribadi bahwa Bangsa Indonesia dengan tujuan akan penguasaan kekayaan
alam Papua (Pulau Firdaus) menghalalkan segala cara baik itu lobi-lobi
di meja hijau maupun medan hijau, mendapatkan simpatik dalam kata-kata
sampai iming-iming harta dan jabatan dan lainnya. Daya tipu muslihat
seperti ini yang juga tidak disukai bukan hanya para aktivist dan
nasionalis Papua tetapi oleh rakyat kecil. Ini berindikasikan seakan
tidak akan pernah ada persahabatan di antara kedua kelompok yang berbeda
ideologi.
* Penulis adalah wartawan tabloidjubi.com
Sumber : www.tabloidjubi.com