Pages

Pages

Sabtu, 03 Mei 2014

1 MEI : AMBIGU INTEGRASI DAN ANEKSASI

Ilustrasi by indo-defense.blogspot.com
Oleh. Mecky Wetipo.

Sebuah peristiwa lima puluh satu tahun yang lalu (1963) telah menyisakan kisah ambigu di atas tanah Papua (Sorong sampai Merauke). Hingga hari ini, tidak ada yang dapat memastikan akhir ambiguitas itu untuk menjadi hanya satu paham. Tentu ada dua kelompok yang berperan yang menurut hemat saya ada kelompok penjajah, penguasa atau pemilik kepentingan (kelompok integrasi) dan kelompok terjajah, kelompok lemah atau pemilik hak ulayat (kelompok aneksasi).

Kedua kelompok di atas berpendirian pada komitmen dan cita-cita mereka untuk suatu kepuasan akan penguasaan pulau Cenderawasih ini, “Pulau Firdaus” ini yang bagi sebagian orang, penuh kelimpahan atas harta kekayaan baik udara, darat, dalam tanah dan dasar laut serta kearifan lokal yang memiliki nilai global.

Berikut adalah uraian, kenapa kedua kelompok di atas mempertahankan diri pada posisinya masing-masing. Memang terlihat jelas bahwa tidak ada yang akan mengalah tetapi yang lebih jelasnya lagi adalah yang punya kuasa akan berkuasa dengan segala fasilitas yang dimilikinya. 

Penguasaannya itu tentu dengan cara yang melanggar hak-hak azasi. Misalnya saja kebebasan untuk berekspresi di muka umum akan selalu dibungkam termasuk perayaan 1 Mei oleh rakyat Papua yang akhir-akhir ini tidak mendapatkan izin melakukan demo damai. Tindakan-tindakan represif lainnya seperti yang ditulis oleh Dr. Siegfried Zöllner, seorang misionaris dan ahli budaya dan bahasa Suku Adat Yali dalam jurnal Hak Asasi Manusia di Papua 2013 oleh Fransiscans International dengan judul “1 Mei 1963: Aneksasi Indonesia atas Papua 50 Tahun Yang Lalu.”

Kelompok Integrasi
Kelompok pertama, kelompok pemilik kepentingan, penjajah atau penguasa (kelompok integrasi) yang mengakui Pulau Firdaus sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berlandaskan pada beberapa alasan mendasar berikut;

Pandangan Soekarno dan M. Yamin bahwa NNG (Nederlandse Nieuw Guinea) merupakan bagian dari Netherlands Indies (Hindia Belanda) yang sendirinya menjadi bagian dari Indonesia (Papua Road Map: 2009, Hal. 61). Artinya ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dikumandangkan, Papua secara otomatis menjadi bagian dari NKRI. Hal ini pula yang diakui dan menjadi landasan oleh nasionalis Indonesia sekarang dan orang Papua pro-NKRI untuk mengklaim bahwa Papua bagian dari NKRI. Beberapa pernyataan lain yang sudah sering terdengar di kalangan masyarakat, misalnya Megawati Soekarno Putri “Indonesia tanpa Papua itu namanya bukan Indonesia”.

Pasal II New York Agreement (NYA) berbunyi transfer of administration (penyerahan pemerintahan),”….. the Netherlands will transfer administration of the territory to a United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)…..” (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010:829). Begitu perjanjian ini selesai, Soebandrio yang menjabat sebagai sekretariat urusan Irian Barat, Biro Irian Barat dengan cepatnya membuka pendaftaran kepada para pengawai baru yang akan menempati Papua (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010: 619).
Seperti yang diketahui oleh sebagian orang , kurang lebih ada tiga pintu pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di tanah Papua yakni, pertama, 1 Desember 1961. Pelanggaran HAM dimasa ini terjadi karena saat Bangsa Papua di bawah bantuan Kerajaan Belanda mengumumkan kepada dunia internasional terkait persiapan Papua Barat untuk menjadi suatu bangsa yang independen. 

Soekarno dan rombongannya yang saat itu berada di Negeri Belanda, tatkala mendengar siaran tentang upacara peringatan itu memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta (Ibu Kota Indonesia ketika itu). di lapangan Alun-alun Yogyakarta, Soekarno mengumandangkan Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 atau berselang 18 hari setelah penggumuman calon negara Papua.

Kedua, 1 Mei 1963 sebagaimana yang sedang dijelaskan pada tulisan ini. Dalam buku Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) oleh Dr. Peter J. Drooglever dengan sangat jelas menceritakan bahwa wakil-wakil Indonesia yang masuk untuk kasus Irian Barat menguras segalanya untuk mengupayakan Papua merupakan bagian dari NKRI seperti yang dilakukan Anak Agung, anggota Tim Federalis dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949 di Den Haag, Belanda, “Anak Agung membuka dengan satu tawaran penyerahan kedaulatan atas Papua kepada Indonesia dengan mempertahankan beberapa campur tangan Belanda dalam pemerintahannya” (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 177).

Namun sesuai usulan T. Critchley (Australia) atas nama UNCI bahwa “Papua satu tahun lagi akan tetap berada di bawah kekuasaan Belanda. Sesudah periode ini, masalah status politik Papua diselesaikan melalui perundingan” dan usulan ini diterima kedua belah pihak dan diputuskan. 

Tindak lanjut dari pada perjanjian ini, militer Indonesia mulai sewenang –wenang menguasai Papua yang saat itu pemerintahannya dikendalikan oleh UNTEA sesuai perjanjian NYA 1962. Pelanggaran HAM untuk periode ini mulai terjadi sebelum dan sesudah perjanjian KMB dengan tujuan memaksakan orang Papua agar mau mengakui dan terlibat dalam integrasi 1 Mei 1963 itu.

Pintu ketiga, pelanggaran HAM oleh militer Indonesia antara Mei, Juni dan Juli 1969 selang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hampir semua penelitian-penelitian yang berkaitan dengan HAM di tanah Papua mengakui bahwa sebelum pelaksanaan Pepara sudah terlalu banyak pelanggaran HAM. 

Pelanggaran yang terjadi diantara selang waktu itu adalah untuk memastikan setiap orang Papua harus mengakui bahwa mereka akan bergabung dengan NKRI dan bila menginginkan Merdeka, maka akan dibunuh. Penyiksaan, terror, intimidasi dan beberapa kasus di luar perikemusiaan rameh terjadi di masa-masa itu.

Uraian di atas membawa kita pada suatu pemahaman yang mantap bahwa sesungguhnya yang diakui bangsa Indonesia bahwa1 Mei sebagai hari Integrasinya Bangsa Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah hanya suatu upaya penguasaan atas Pulau Firdaus dan tentu bukan untuk para pemilik dan penjaga Pulau itu melainkan kekayaannya.

Kelompok Aneksasi
Kelompok kedua, kelompok terjajah, kelompok lemah atau pemilik hak ulayat (kelompok aneksasi) yang mengklaim bahwa peristiwa 1 Mei 1963 itu sebagai tahapan pembunuhan, intimidasi, penyiksaan, pemaksaan, pencaplokan dan penguasaan hak-hak masyarakat asli.

Menurut kelompok ini, dalam forum-forum resmi isu Papua karena dinilai terlalu berat maka tidak dibahas dalam mata agenda pembahasan termasuk dalam KMB di Den Haag, Belanda 1949. Hal itu menjadi alasan perlawanan pihak Papua serta mengakuinya sebagai hari aneksasi bangsa Papua. Dikatakan bangsa Papua karena sebelumnya, 1 Desember 1961 Bangsa Belanda membantu mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat (sebagaimana dalam penjelasan awal).

Dalam konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari Sabang sampai Amboina. Menyangkut Karasiden Papua termuat dalam pasal 2 dengan jumlah 5 ayat, Naskah Piagam penyerahan kedaulatan yang intinya mengatakan ditunda, (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 178)

Mohamad Hatta (Tim inti delegasi Indonesia dalam KMB) mengakui bahwa “ia sebagai pribadi tidak terlalu mementingkan pernyerahan kedaulatan atas wilayah ini,….” (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 177).

Berdasarkan dua statement di atas dan penjelasan sebelumnya dalam tulisan ini serta tulisan lain terkait peristiwa 1 Mei 1963 selalu berakhir pada dua pemaknaan. Secara pribadi saya menilai ini hal yang ambigu karena dua hal, pertama, pemerintah Indonesia melalui wakil-wakilnya baik sipil maupun militer mengantikan para pegawai pemerintahan peralihan yang ditugaskan PBB dalam UNTEA tidak sesuai kesepakatan-kesepakatan sebelumnya bahwa akan ada dua fase namun belum waktunya sudah membludak pada fase pertama awal Mei 1963.

Hal itu diikuti dengan penguasaan Pulau Firdaus oleh hampir kebanyakan pegawai dan militer Indonesia, Drooglever menjelaskan, mereka terkesima dengan Papua kala itu, “gaji yang bagus karena digaji melalui PBB, … dikonfrontasikan pada satu kota yang tampak makmur, terawat baik dengan toko-toko dengan persediaan mewah, dan itu di dalam satu waktu dimana orang di kota-kota di Jawa berjuang dengan keterlantaran dan kekurangan di semua bidang. .. kepingan-kepingan coklat Van Hourten merupakan kebahagiaan yang dikirim ke keluarga-keluarga di Jawa dalam jumlah besar (Tindakan Pilihan Bebas, Drooglever, 2010, Hal. 619). 

Hal seperti ini mengakibatkan usulan satu tahun kemudian diadakan perundingan khusus masalah Papua tidak diseriusi namun kerja-kerja mereka lebih terarah pada strategi pemenangan Pepera 1969. Untuk sebuah kemenangan bukan hanya kepingan coklat di atas meja Van Hourten melainkan lebih pada kemenangan untuk Pulau Firdaus secara utuh lebih khusus sumber daya alamnya. Akhirnya segala kerja-kerja diarahkan untuk Pepera 1969 dengan melakukan segala cara termasuk yang paling biadab.

Kedua, saya menilai ini masih ambigu karena kelompok pro Papua merdeka seakan masih tetap mengakui itu sebagai hari pencaplokan Papua ke dalam NKRI atas semua alasan-alasan yang diutarakan di atas. Bentuk konsistensi akan prinsip ini selalu diutarakan dalam berbagai kegiatan misalnya perayaan dalam bentuk Doa dan atau demo damai. Sekali pun eskalasinya semakin berkurang dari tahun-tahun sebelumnya karena tekanan oleh pihak aparat yang sangat berlebihan, namun dapat di jamin bahwa setiap pemikiran dan perasaan orang Papua pro Merdeka akan tetap mengakui bahwa 1 Mei sebagai hari aneksasi bukan integrasi.

Untuk mendukung argumen di atas, dapat disimak pernyataan dalam sebuah pidato oleh tokoh Papua alm. Theys H. Eluay, ” Perlu diingat bahwa bukan orang Papua yang berintegrasi ke NKRI tetapi NKRI-lah yang berintegrasi ke Papua”.

Hal ini dimaksudkan bahwa, bila orang Papua yang memilih berintegrasi dengan NKRI berarti ketika Papua merasa sudah cukup belajar dari Indonesia dan berkehendak memisahkan diri semestinya permintaan itu dikabulkan oleh Indonesia. Namun yang sedang terjadi adalah sebaliknya, bahwa karena Indonesia yang berintegrasi ke Papua, jadi ketika orang Papua meminta lepas dari NKRI, Bangsa Indonesia tidak sampai hati melepaskan Papua dari genggamannya.

Kutipan Bapak Ondoafi besar alm. Theys mengantarkan saya pada kesimpulan pribadi bahwa Bangsa Indonesia dengan tujuan akan penguasaan kekayaan alam Papua (Pulau Firdaus) menghalalkan segala cara baik itu lobi-lobi di meja hijau maupun medan hijau, mendapatkan simpatik dalam kata-kata sampai iming-iming harta dan jabatan dan lainnya. Daya tipu muslihat seperti ini yang juga tidak disukai bukan hanya para aktivist dan nasionalis Papua tetapi oleh rakyat kecil. Ini berindikasikan seakan tidak akan pernah ada persahabatan di antara kedua kelompok yang berbeda ideologi.

* Penulis adalah wartawan tabloidjubi.com