Aksidemo tutuntan penyesaian kasus HAM di Papua ke DPRP beberapa waktu lalu. (Foto: Jack/SULPA) |
Jayapura (SULPA) – Persoalan
kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang menjadi bahan pidato
Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcassess Kalosil pada bulan September
2013 di depan Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat
maupun di depan Sekretaris Jenderal PBB dan Ketua Dewan HAM PBB di
Jenewa-Swiss, 4 Maret 2014 yang lalu, terus menjadi bola panas.
Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy yang
juga Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan
(KPKC) pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari menilai persoalan
pelanggaran HAM di sudah menjadi isu internasional.
Pasalnya, sejak awal tahun 2014 teriakan penyelidikan
(investigasi) Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara sistematis di
Tanah Papua selama 50 tahun (1963-2014) semakin keras hingga puncaknya
pidato PM.Vanuatu.
“Ini hal yang mendesak, pasal 18, pasal 19 dan pasal 20 Undang,
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia, sudah
jelas mengatur itu,” ungkap Warinusi.
Menurut Warinusi, sesuai amanat Undang Undang tersebut, yang
bertugas melakukan penyelidikan dan ivestigasi adalah Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Sejalan dengan amanat pasal 44 ayat (1)
dan ayat (2) dari Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Propinsi Papua (sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 35 Tahun 2008).
“Perlunya penyelidikan menyeluruh yang dilakukan oleh Pelapor
Khusus (Special Raporteur) dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB),” ungkap Direktur LP3BH Manokwari.
Kata Warinusi, Pidato resmi Dimana Kepala Pemerintahan negara
Vanuatu tersebut menyerukan kepada PBB untuk menugaskan misi
penyelidikan pelanggaran HAM yang sistematis dan berlangsung
teruys-menerus bahkan kian meningkat di Tanah Papua hingga dewasa ini.
“Saya sangat mendukung dan mendesak PBB melalui Sekjen dan Dewan
HAM PBB untuk dapat merekomendasikan segera sebuah draft resolusi bagi
dilakukannya penyelidikan pelanggaran HAM selama 50 Tahun di Tanah
Papua,”kata Warinusi juga salah satu Advokad senior di Manokwari Papua
Barat.
Lanjutnya, Komnas HAM RI di Jakarta juga berada pada posisi yang
sama untuk dapat segera melakukan langkah-langkah penyelidikan secara
independen berdasarkan amanat undang undang dengan melbatkan masyarakat
sipil (Civil Society) di Tanah Papua.
“Sebagai Pemenang Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John
Humphrey Freedom Award” di Canada Tahun 2005, saya ingin mendesak
pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden DR.H.Susilo Bambang
Yudhoyono untuk memberi akses yang seluas-luasnya bagi pelaksanaan
investigasi pelanggaran HAM di Tanah Papua,” tutur Warinusi.
Selain penyelidikan HAM, perlu ada Amnesty Internasional, Human
Rights Watch, Asian Human Rights Watch maupun TAPOL untuk dapat ikut
melakukan investigasi pelanggaran HAM tersebut dengan menggunakan
standar maupun metodologi yang dapat diterima dan diuji secara ilmiah
serta dapat dipertanggung-jawabkan menurut hukum.
Sebelumnya, Perdana Meteri Vanuatu Moana Carcasses Kalosil dalam
pidatonya kemarin, Selasa, 4 Maret 2014, pada Sidang Tahunan Dewan HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk mengakui kesalahan masa lalu atas Papua Barat.
Moana Carcasses Kalosil menegaskan, keprihatinannya atas kondisi
HAM di Papua Barat lebih dari pertanyaan menjaga 70% dari kekayaan
minyak dan gas di Papua Barat, ini adalah pertanyaan tentang status
politik.
”Lebih dari pertanyaan status ekonomi adalah 80% dari kekayaan dari
Kehutanan, Perikanan, dan pertambangan umum yang disimpan di Papua
Barat. Ini adalah pertanyaan tentang penghormatan hak asasi manusia dan
keberadaan orang-orang Melanesia,” ungkap Moana Carcasses.
Kepada Presiden Komisi HAM PBB, kata Moana Carcasses Kalosil, Jika
Perwakilan PBB, Mr Ortiz Sanz telah menggambarkan masalah Papua Barat
sebagai kanker tumbuh di sisi dan bahwa tugasnya adalah untuk
menghapusnya, sangat jelas hari ini dari apa yang telah kita ketahui
bahwa kanker ini tidak pernah dihapus tetapi hanya disembunyikan.
”Tuan Presiden, saya menutup, pemerintah saya percaya bahwa
tantangan hak asasi manusia dari Papua harus dibawa kembali ke agenda
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya menyerukan kepada Dewan HAM untuk
mempertimbangkan mengadopsi resolusi untuk membentuk mandat negara
tentang situasi hak asasi manusia di Papua Barat,” harapnya.
Sebelumnya desember 2013 lalu, Ketua Sub Komisi Pemantauan dan
Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan di tahun 2014 ini,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memprioritaskan
penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua..
Salah satu kasus yang menjadi prioritas lembaganya adalah
penanganan kasus pelanggaran HAM di Biak yang sudah mengendap selama 14
tahun. Komnas HAM juga akan memantau kinerja Kepolisian terkait
pemenuhan HAM dan pengamanan di Bumi Cendrawasih.
Menurut Natalius Pigai, kasus pembantaian 150 lebih warga sipil di
Biak, Papua yang terjadi pada Juni 1998. Peradilan yang dipimpin Ketua
Komisi Pakar Hukum Internasional John Dowd menemukan, kebanyakan warga
Papua Barat sudah disiksa. Untuk alasan itu peradilan mendesak Indonesia
bertanggung jawab atas kejahatan dan pelanggaran HAM itu.
“Juni 15 tahun silam, lebih dari 150 warga Papua tewas dalam aksi
protes dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Biak. Jenazah mereka
lantas dibuang ke laut. Sayangnya, Indonesia mengklaim hanya satu warga
sipil Papua yang tewas,” ungkap Pigai.
Sementara musisi asal Fiji King Vude Seru Serevi menunjukan
dukungannya terhadap kemerdekaan bangsa Papua untuk lepas dari negara
Indonesia dengan merilis sebuah lagu berjudul “Rise Morning Star” yang
dinyanyikan pada di kantor Fiji Performing Rights Association di Suva,
Fiji.
“Rise Morning Star” merupakan lagu yang menyerukan kebebasan orang
Papua Barat untuk menjadi sebuah negara sendiri,” begitu ucap musisi
Fiji tersebut.
Seperti dilansir median, Inspirasi untuk menulis lagu ini mulai
hampir 20 tahun yang lalu ketika bertemu anggota band Papua Barat yang
sangat populer, Black Brothers.
(A/JAC/MS/R2/LO3)Sulu Papua