Amnesty International (Foto: Ist) |
PAPUAN, Jakarta — Satu dekade pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah ditandai hanya dengan kemajuan yang
sporadik akan hak asasi manusia, dan pemimpin Indonesia selanjutnya
harus segera menangani pelanggaran HAM yang masih berlangsung dan
mencabut produk hukum yang represif dan diskriminatif.
Demikian penegasan Amnesty International, dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Selasa (29/4/2014), dalam agenda HAM Amnesty Internasional untuk para kandidat presiden Indonesia.
Sementara masa kampanye untuk pemilu presiden pada Juli 2014 sedang
akan berlangsung, agenda HAM yang disampaikan Amnesty International
mencakup delapan isu HAM kunci, yang harus ditangani oleh pemerintahan
selanjutnya.
“Sungguh mengecewakan bahwa selama masa kampanye, para calon-calon
presiden sebagian besar sejauh ini mengabaikan masalah HAM. Indonesia
telah menjalani perjalanan jauh selama satu dekade, tetapi masih ada
tantangan serius yang harus direspon oleh para kandidat tersebut,” tegas
Rupert Abbott, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International.
Dikatakan, telah ada beberapa kemajuan HAM selama masa pemerintahan
Presiden Yudhoyono (2004-2014), termasuk memperkenalkan
peraturan-peraturan HAM tentang pemolisian dan juga reformasi legal yang
memperkuat perlindungan saksi.
Indonesia juga dinilai telah memainkan peran yang penting dalam pembentukan Komisi Inter-Pemerintahan HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, AICHR), sebuah badan yang bisa memainkan peran yang kuat dalam menegakan standard-standar HAM di sepanjang wilayah tersebut.
Namun demikian, menurut Abbott, pelanggaran HAM serius masih
berlanjut –mulai dari pengekangan kebebasan berekspresi dan penyiksaan
atau perlakuan buruk lainnya oleh aparat keamanan, hingga ke masalah
impunitas yang nyaris penuh atas kejahatan di bawah hukum internasional
yang dilakukan selama era Suharto dan periode reformasi yang
menyusulnya. Lebih lanjut, eksekusi hukuman mati dilanjutkan di
Indonesia pada 2013 setelah empat tahun tidak dilakukan.
“Meskipun Indonesia telah menandatangani berbagai konvensi
internasional penting yang menjamin perlindungan HAM, dihampir semua
kasus mereka belum dimasukan ke dalam undang-undang atau produk hukum
domestik, atau diimplementasikan dalam kebijakan dan praktik.”
“Presiden Indonesia selanjutnya harus bekerja melebihi janji-janji di
atas kertas dan memastikan bahwa realitas sehari-hari di negeri ini
sesuai dengan komitmen internasional yang begitu besar,” ujar Ruppert
Abbott.
“Selama satu dekade terakhir telah ditandai hanya dengan kemajuan HAM
sporadik, dan bahkan ada kemunduran di berbagai bidang,” kata Abbott.
Secara khusus, menurut Abbott, kebebasan berekspresi telah mengalami
kemunduran di tahun-tahun belakangan ini, dan Presiden Indonesia
selanjutnya harus bekerja untuk mengubah atau mencabut produk-produk
legislasi yang digunakan untuk kriminalisasi aktivitas-aktivitas politik
damai.
Lebih dari 70 orang, sebagian besar adalah para aktivis dari
provinsi-provinsi bagian timur di Papua dan Maluku, saat ini dipenjara
atas “makar” karena terlibat dalam protes politik damai atau
mengibarkan bendera-bendera pro-kemerdekaan yang dilarang. Sebuah
peraturan di tahun 2007 melarang bendera “separatis” telah menyebabkan
banyak penangkapan.
Lebih lanjut, serangan dan gangguan terhadap para minoritas agama
juga telah meningkat di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono,
diperparah oleh produk-produk hukum baik di tingkat daerah maupun
nasional.
“Komunitas minoritas Ahmadiyah dilarang untuk mempromosikan
aktivitas-aktivitas dan ajaran-ajaran mereka di banyak daerah di
Indonesia. Kelompok ini telah menjadi target kekerasan berulang kali di
sepanjang negeri ini pada tahun-tahun belakangan ini, dan ada
laporan-laporan terpercaya menunjukan bahwa pejabat pemerintahan lokal
kadang-kadang telah bersekutu dengan kelompok-kelompok agama garis keras
untuk mengancam atau mengganggu anggota-anggota Ahmadiyah untuk tidak
mengakui kepercayaan mereka.”
“Sejauh undang-undang diskriminatif terhadap minoritas agama masih
berlaku, kekerasan dan gangguan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok
seperti Ahmadiyah secara efektif merupakan tindakan yang direstui
Negara. Pemerintahan yang baru harus secara mendesak bekerja untuk
mencabut semua produk hukum yang mengancam kebebasan beragama dan
berekspresi,” kata Abbott.
Menurut Abbott, pengamatan Amnesty International, perempuan dan
anak-anak perempuan menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan
hak-hak mereka, dan ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang
mendiskriminasi perempuan.
“Pemerintah juga telah gagal melarang dan mengambil tindakan yang
efektif dan memadai untuk menghapus praktek-praktek yang merugikan
perempuan dan anak-anak perempuan, seperti mutilasi kelamin perempuan,
termasuk menyediakan hukuman pidana yang memadai bagi mereka yang
melakukan tindakan-tindakan seperti itu,” tegasnya.
OKTOVIANUS POGAU