Pages

Pages

Rabu, 30 April 2014

Pemimpin Indonesia Selanjutnya Harus Memprioritaskan HAM

Amnesty International (Foto: Ist)
PAPUAN, Jakarta — Satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah ditandai hanya dengan kemajuan yang sporadik akan hak asasi manusia, dan pemimpin Indonesia selanjutnya harus segera menangani pelanggaran HAM yang masih berlangsung dan mencabut produk hukum yang represif dan diskriminatif.

Demikian penegasan Amnesty International, dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Selasa (29/4/2014), dalam agenda HAM Amnesty Internasional untuk para kandidat presiden Indonesia.

Sementara masa kampanye untuk pemilu presiden pada Juli 2014 sedang akan berlangsung, agenda HAM yang disampaikan Amnesty International mencakup delapan isu HAM kunci, yang harus ditangani oleh pemerintahan selanjutnya.

“Sungguh mengecewakan bahwa selama masa kampanye, para calon-calon presiden sebagian besar sejauh ini mengabaikan masalah HAM. Indonesia telah menjalani perjalanan jauh selama satu dekade, tetapi masih ada tantangan serius yang harus direspon oleh para kandidat tersebut,” tegas Rupert Abbott, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International.

Dikatakan, telah ada beberapa kemajuan HAM selama masa pemerintahan Presiden Yudhoyono (2004-2014), termasuk memperkenalkan peraturan-peraturan HAM tentang pemolisian dan juga reformasi legal yang memperkuat perlindungan saksi.

Indonesia juga dinilai telah memainkan peran yang penting dalam pembentukan Komisi Inter-Pemerintahan HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, AICHR), sebuah badan yang bisa memainkan peran yang kuat dalam menegakan standard-standar HAM di sepanjang wilayah tersebut.

Namun demikian, menurut Abbott, pelanggaran HAM serius masih berlanjut –mulai dari pengekangan kebebasan berekspresi dan penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya oleh aparat keamanan, hingga ke masalah impunitas yang nyaris penuh atas kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan selama era Suharto dan periode reformasi yang menyusulnya. Lebih lanjut, eksekusi hukuman mati dilanjutkan di Indonesia pada 2013 setelah empat tahun tidak dilakukan.

“Meskipun Indonesia telah menandatangani berbagai konvensi internasional penting yang menjamin perlindungan HAM, dihampir semua kasus mereka belum dimasukan ke dalam undang-undang atau produk hukum domestik, atau diimplementasikan dalam kebijakan dan praktik.”

“Presiden Indonesia selanjutnya harus bekerja melebihi janji-janji di atas kertas dan memastikan bahwa realitas sehari-hari di negeri ini sesuai dengan komitmen internasional yang begitu besar,” ujar Ruppert Abbott.

“Selama satu dekade terakhir telah ditandai hanya dengan kemajuan HAM sporadik, dan bahkan ada kemunduran di berbagai bidang,” kata Abbott.

Secara khusus, menurut Abbott, kebebasan berekspresi telah mengalami kemunduran di tahun-tahun belakangan ini, dan Presiden Indonesia selanjutnya harus bekerja untuk mengubah atau mencabut produk-produk legislasi yang digunakan untuk kriminalisasi aktivitas-aktivitas politik damai.

Lebih dari 70 orang, sebagian besar adalah para aktivis dari provinsi-provinsi bagian timur di Papua dan Maluku, saat ini dipenjara atas “makar” karena terlibat dalam protes politik damai atau   mengibarkan bendera-bendera pro-kemerdekaan yang dilarang. Sebuah peraturan di tahun 2007 melarang bendera “separatis” telah menyebabkan banyak penangkapan.

Lebih lanjut, serangan dan gangguan terhadap para minoritas agama juga telah meningkat di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono, diperparah oleh produk-produk hukum baik di tingkat daerah maupun nasional.

“Komunitas minoritas Ahmadiyah dilarang untuk mempromosikan aktivitas-aktivitas dan ajaran-ajaran mereka di banyak daerah di Indonesia. Kelompok ini telah menjadi target kekerasan berulang kali di sepanjang negeri ini pada tahun-tahun belakangan ini, dan ada laporan-laporan terpercaya menunjukan bahwa pejabat pemerintahan lokal kadang-kadang telah bersekutu dengan kelompok-kelompok agama garis keras untuk mengancam atau mengganggu anggota-anggota Ahmadiyah untuk tidak mengakui kepercayaan mereka.”

“Sejauh undang-undang diskriminatif terhadap minoritas agama masih berlaku, kekerasan dan gangguan yang dihadapi oleh  kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah secara efektif merupakan tindakan yang direstui Negara. Pemerintahan yang baru harus secara mendesak bekerja untuk mencabut semua produk hukum yang mengancam kebebasan beragama dan berekspresi,” kata Abbott.

Menurut Abbott, pengamatan Amnesty International, perempuan dan anak-anak perempuan menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan hak-hak mereka, dan ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang mendiskriminasi perempuan.

“Pemerintah juga telah gagal melarang dan mengambil tindakan yang efektif dan memadai untuk menghapus praktek-praktek yang merugikan perempuan dan anak-anak perempuan, seperti mutilasi kelamin perempuan, termasuk menyediakan hukuman pidana yang memadai bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan seperti itu,” tegasnya.

OKTOVIANUS POGAU