Pages

Pages

Sabtu, 15 Maret 2014

Presiden SBY: Bebaskan Ayah Saya, Filep Karma!

Bebaskan Bapa Saya, Filep Karma!

Nama saya Audryne Karma, putri sulung dari Filep Karma. Bapa saya alumnus Universitas Sebelas Maret di Solo. Dia menikah dengan Mama, seorang Melayu-Jawa pada 1986. Mereka memiliki dua anak, saya dan adik, Andrefina Karma. Bapa ditahan karena pandangan politiknya. Saya ingin Bapa dibebaskan, kembali ke rumah, dan tinggal bersama Mama, saya dan adik!

Besok Bapa mau pergi kibarkan bendera dan mau orasi sedikit di Lapangan Trikora Abepura, kam dua jaga diri, kalau Bapa dapat tangkap dari polisi tidak usah kuatir, tidak usah lihat Bapa di kantor polisi. Tinggal di rumah saja dan pergi sekolah seperti biasa. Tuhan Yesus jaga kita semua.
 
Itulah kata-kata terakhir Bapa sebelum dia dipenjara.

Selama berada di penjara, berat badan Bapa turun dari 60 jadi 49 kilogram, sanitasi dan gizi di penjara kurang, juga kena sakit prostat, dan radang kronis usus besar. Kami tidak punya banyak uang untuk biaya pengobatan. Saya bersyukur ada yang simpati membantu menutup biaya.

Sebagai anak, saya sedih dan kecewa terhadap pemerintah karena hukuman berat yang diberikan kepada Bapa. Ini memberi pukulan psikis untuk kami sekeluarga. Dan lebih dari 70 orang seperti Bapa. Mereka menyuarakan aspirasi politik dengan damai, tanpa kekerasan termasuk Bapa. Sebagai warga negara Indonesia yang bebas mengeluarkan pendapat, saya mohon Anda gunakan kebebasan berpendapat anda untuk menuntut pemerintah SBY segera dan tanpa syarat membebaskan semua yang dipenjara karena pandangan politik.

Semua berawal ketika Bapa dan banyak warga lainnya di Biak, Papua, emosi dan marah karena Pemerintah gagal melakukan investigasi secara mendalam dan bertanggung jawab atas insiden 15 tahun lalu di Pulau Biak. Saat itu, Indonesia baru masuk era reformasi. Di mana-mana, orang berbahagia karena mendapat kebebasan.

Tapi di tempat kami, baru dua bulan memasuki era reformasi, terjadi tindakan militer yang sangat tidak berperikemanusiaan, tidak adil, dan tidak beradab. Kalau tidak salah, saya dikasih tau lebih dari 100 warga yang luka-luka, tewas, dan beberapa hilang sampai saat ini. Bapa saya ditembak di kedua kakinya saat dia sedang berdoa di tempat kejadian.

Bapa dan warga lainnya memang menyampaikan “ingin merdeka,” suatu aspirasi politik yang sebenarnya saat itu masih didengar oleh pengganti Presiden Suharto, yaitu Presiden Habibie, sampai akhirnya ada 100 tokoh Papua bertemu Bapa Presiden di Istana Negara. Ini adalah cara yang baik membicarakan perbedaan keyakinan politik.

Bapa saya divonis 6 tahun penjara, namun 2 tahun kemudian dia dibebaskan setelah Gus Dur jadi presiden pada tahun 2000. Empat tahun kemudian, 1 Desember 2004, Bapa dan beberapa teman melakukan aksi damai untuk memperingati hari kemerdekaan Papua, Bintang Kejora kembali dinaikkan di lapangan Trikora, Abepura, Jayapura. Bendera yang juga dibolehkan oleh Presiden Gus Dur.

Tapi aparat polisi merespon dengan memukul orang-orang yang datang serta mengeluarkan tembakan. Sekitar 4 orang terluka, termasuk Bapa. Atas kasus ini, dia malah dipenjara, dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun atas tuduhan “makar.” Apakah dia penjahat? Melakukan korupsi? Bapa hanya menyatakan pendapat dan aspirasi politik, seperti dulu pendiri bangsa Indonesia, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka menyatakan “ingin merdeka.” Mereka memang dipenjara, tapi oleh penjajah, kolonial! Nah, apakah pemerintah Indonesia mau dicap sebagai pemerintahan kolonial?

Saya tidak ingin menuduh. Saya ingin Bapa dibebaskan. Dan saya ingin mengajak kita berpikir. Bahkan saya ingin ada perhatian masyarakat, terutama generasi saya, generasi muda yang bercita-cita, memimpikan masa depan lebih baik.

Kasus Bapa mendapat perhatian internasional. Pada September 2011, UN Working Group on Arbitary Dentention, memeriksa kasus Bapa dan menyimpulkan Bapa tidak mendapat fair trial serta dinyatakan sebagai tahanan politik. Mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Bapa. Namun, pemerintah menyangkal keberadaan tahanan politik di Indonesia hingga saat ini. Lalu masalah Bapa dibahas lagi dalam sidang Universal Periodic Review PBB di Geneva pada Mei 2012. Belasan negara meminta Indonesia untuk membebaskan Bapa dan tahanan politik lainnya di Indonesia.

Bapa dihormati sebagai pembela hak asasi manusia dari Papua dan berusaha menyuarakan hati nurani orang papua, yang sering mengalami perlakuan diskriminasi, rasialisme dan penganiayaan. Karena itulah, sekali lagi, saya ingin Bapa dibebaskan, kembali dan tinggal di rumah bersama Mama, saya dan adik.
Link :
1. http://www.freedom-now.org/campaign/filep-samuel-karma/
2. http://www.andreasharsono.net/2010/11/belajar-dari-filep-karma.html
3. http://www.papuansbehindbars.org/?prisoner_profiles=filep-karma
4. http://www.amnestyusa.org/our-work/cases/indonesia-filep-karma
To:
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia
Kepada :
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
Istana Negara,
Jakarta, 10110
Indonesia


Yang Terhormat,

Saya menulis surat ini sebagai rasa solidaritas terhadap Filep Karma yang telah menjalani 9 tahun masa penahanannya karena pengibaran bendera Bintang Kejora, simbol budaya orang Papua.

Pada September 2011, sebuah kelompok kerja PBB (UN Working Group on Arbitary Dentention) menyatakan penahanan Tuan Karma sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia dengan penggunaan pasal “makar” yang tidak proposional.

Selama masa penahanan, Tuan Karma beberapa kali mengalami masalah kesehatan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah akibat sanitasi dan gizi yang buruk di penjara.

Atas nama kemanusiaan dan hak asasi manusia, saya meminta Anda untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Tuan Karma.

Salam Hormat,

Sincerely,
[Your name] 

Sumber :  www.change.org