Logo AMP. Ist. |
Yogyakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
Komite Kota Yogyakarta tidak sepakat dengan pemberitaan media yang
mengatakan bahwa konflik di Timika merupakan perang suku, seperti
diberitakan beberapa media nasional.
Menurut AMP, perang suku di Papua mempunyai aturan yang jelas, salah satunya, punya jangka waktu perang yang ditentukan oleh kedua belah pihak. Perang suku melihat korban, jika korban banyak yang berjatuhan maka pasti ada perdamaian.
Hal tersebut disampaikan Roy Karoba, Mantan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dari Asrama Kamasan I Papua di Yogyakarta, Jumat (15/3).
"Orang tua kami sudah meninggalkan perang suku sejak dulu. Karena perang suku mempunyai pontensi ketika hidup masyarakat Papua dalam kelompok-kelompok. Tetapi perang suku sakarang tidak ada, kami juga sudah hidup tersebar," jelas Karoba.
Karoba menjelaskan, konflik terjadi terkait batasan wilayah.
"Konflik ini bukan perang suku karena kalau media mengatakan bahwa perang suku, maka akan memicu konflik baru. Konflik bias terjadi diantara moni dan dani yang mendiami di berbagai wilayah di Indonesia," tutur Roy.
Jika demikian, siapa yang menjadi aktor dibalik konflik antar warga di Timika?
AMP menduga kuat, perusahaan, pemerintah dan aparat kemanan Indonesia bermain di dalam konfik di Timika," duga Karoba.
Telius Yikwa sebagai sekretaris AMP Komite Kota Yogyakarta membenarkan bahwa konflik di Timika konflik antar kelompok, dan bukan perang suku.
"Pemerintah, Kemanan, dan lembaga-lembaga yang terkesan diam dalam menangani masalah ini," kata Yikwa.
Sementara Wenas Kobogau, aktivis AMP lainnya menjelaskan, konflik di Timika itu hanya soal tapal batas antata Moni dan Dani sudah aman, dibicarakan oleh kepala suku. Tetapi konflik ini timbul ketika Yudas Zonggonau ditembak dari dalam hutan hingga mengenai dada dan tembus di belakang dada.
"Pelaku belum diketahui," tutur Kobogau.
"Karena pelakunya belum diketahui, suku moni menggap bahwa pelakunya adalah suku Dani. Tetapi hingga saat ini belum diketahui," ungkapnya.
Emanuel Gobay, staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menduga bahwa Konflik yang terjadi di Timika adalah konflik yang dipelihara oleh negara, perusahaan atau kepentingan pihak tertentu, karena konflik di Timika dinilainya cukup lama ada, dan belum terselesaikan hingga saat ini. (Agustinus Dogomo/MS)
Menurut AMP, perang suku di Papua mempunyai aturan yang jelas, salah satunya, punya jangka waktu perang yang ditentukan oleh kedua belah pihak. Perang suku melihat korban, jika korban banyak yang berjatuhan maka pasti ada perdamaian.
Hal tersebut disampaikan Roy Karoba, Mantan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dari Asrama Kamasan I Papua di Yogyakarta, Jumat (15/3).
"Orang tua kami sudah meninggalkan perang suku sejak dulu. Karena perang suku mempunyai pontensi ketika hidup masyarakat Papua dalam kelompok-kelompok. Tetapi perang suku sakarang tidak ada, kami juga sudah hidup tersebar," jelas Karoba.
Karoba menjelaskan, konflik terjadi terkait batasan wilayah.
"Konflik ini bukan perang suku karena kalau media mengatakan bahwa perang suku, maka akan memicu konflik baru. Konflik bias terjadi diantara moni dan dani yang mendiami di berbagai wilayah di Indonesia," tutur Roy.
Jika demikian, siapa yang menjadi aktor dibalik konflik antar warga di Timika?
AMP menduga kuat, perusahaan, pemerintah dan aparat kemanan Indonesia bermain di dalam konfik di Timika," duga Karoba.
Telius Yikwa sebagai sekretaris AMP Komite Kota Yogyakarta membenarkan bahwa konflik di Timika konflik antar kelompok, dan bukan perang suku.
"Pemerintah, Kemanan, dan lembaga-lembaga yang terkesan diam dalam menangani masalah ini," kata Yikwa.
Sementara Wenas Kobogau, aktivis AMP lainnya menjelaskan, konflik di Timika itu hanya soal tapal batas antata Moni dan Dani sudah aman, dibicarakan oleh kepala suku. Tetapi konflik ini timbul ketika Yudas Zonggonau ditembak dari dalam hutan hingga mengenai dada dan tembus di belakang dada.
"Pelaku belum diketahui," tutur Kobogau.
"Karena pelakunya belum diketahui, suku moni menggap bahwa pelakunya adalah suku Dani. Tetapi hingga saat ini belum diketahui," ungkapnya.
Emanuel Gobay, staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menduga bahwa Konflik yang terjadi di Timika adalah konflik yang dipelihara oleh negara, perusahaan atau kepentingan pihak tertentu, karena konflik di Timika dinilainya cukup lama ada, dan belum terselesaikan hingga saat ini. (Agustinus Dogomo/MS)
Sumber :