Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25 (IST) |
Jayapura, 13/3 (Jubi) – Keberanian PM Vanuatu menyampaikan
persoalan Papua Barat di Sidang HAM PBB ke 25, mendapatkan simpati dari
pemimpin Komite HAM PBB dan para pemimpin negara.
“Vanuatu adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak takut untuk
berdiri dan berbicara untuk hak kebebasan bagi rakyat Papua Barat baik
dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), atau pertemuan lain di mana saja
di dunia,” kata Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Karkas Kalosil,
kepada Perdana Menteri Sementara, Willie Jimmy Tangapararua, Pejabat
Senior Pemerintah Vanuatu dan perwakilan dari Papua Barat setibanya di
Vanuatu, Minggu (9/3) sore.
Moana mengatakan tidak semua negara di seluruh dunia mendukung
kebebasan Papua Barat, seperti yang dilakukan Vanuatu untuk menyuarakan
keprihatinan terhadap penderitaan dan kebrutalan yang dihadapi oleh
rakyat Papua Barat.
“Saya setuju sepenuhnya dengan almarhum Pastor Walter Lini, Perdana
Menteri pertama Vanuatu, yang mengatakan Vanuatu yang tidak sepenuhnya
Merdeka sampai bangsa terjajah lain di wilayah ini (Melanesia-red)
secara politik dibebaskan,” kata Moana.
Edward Natapei, Menteri Luar Negeri Vanuatu, kepada Jubi (12/3)
mengatakan usai menyampaikan pidatonya dalam sidang HAM PBB ke 25, Moana
bertemu dengan salah satu anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB yang
berasal dari Afrika Selatan, Zonke Zanele Majodina.
“Perdana Menteri mengatakan, ketua dari salah satu Komite Hak Asasi Manusia PBB yang berasal dari Afrika Selatan ini mengatakan bahwa ia mengagumi keberanian perdana menteri berdiri dan berbicara untuk kebebasan rakyat Papua Barat. Dia juga mengatakan para pemimpin dunia (negara-red) lain yang ia temui setelah pidatonya juga menyatakan hal yang sama.” kata Natapei melalui sambungan telepon.
Dalam pidatonya di Sidang HAM PBB ke 25, PM Vanuatu meminta dibukanya
akses kepada ahli-ahli hak asasi manusia PBB, wartawan internasional
and LSM internasional untuk mengunjungi Papua. Akses ini bukan saja
untuk mengakhiri pembungkaman hak bersuara bangsa Papua Barat, tetapi
penting untuk membuka kembali sejarah bangsa Papua Barat.
“Dari berbagai sumber sejarah telah nyatalah bahwa bangsa Melanesia di Papua adalah kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera akan kekayaan sumber alam yang dimiliki Papua.” kata Moana.
Moana kembali mengungkit catatan Ortiz Sanz, utusan Sekjen PBB untuk
menyelenggarakan “Acr of Free Choice” di Papua Barat tahun 1969, yang
mengibaratkan Papua Barat sebagai kanker yang harus dihilangkan.
“Jika Utusan Sekjen PBB waktu itu, Tuan Ortiz Sanz telah mengibaratkan Papua sebagai kanker dalam tubuh PBB dan tugas beliau adalah menghilangkannya, maka dari apa yang telah kita saksikan ini amat jelaslah sekarang bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan tetapi sekedar ditutup-tutupi. Suatu hari, kanker ini akan didiagnosa. Kita tidak boleh takut jika PBB telah membuat kesalahan di masa lalu. Kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya.” ujar Moana dalam pidatonya. (Jubi/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com