Pages

Pages

Selasa, 11 Februari 2014

PEMERINTAH PUSAT DIMINTA KAJI ULANG PAJAK EKSPOR PTFI

Ratusan Karyawan Freeport saat long march belum lama ini dari sekretariat PC SPKEP SPSI menuju kantor DPRD Mimika, saat aksi damai menuntut pengkajian ulang pemberlakuan undang – undang minerba yang dikuatirkan berdampak PHK bagi karyawan Freeport (Jubi/Eveerth)
Timika, 11/2 (Jubi) – Pemilik hak ulayat areal PT. Freeport Indonesia, pemerintah pusat perlu mengkaji ulang pajak ekspor yang tidak hanya membebani perusahaan, namun juga mengancam kelangsungan hidup orang Papua yang bergantung di dalamnya. 

Karena  keberadaan perusahaanlah yang membawa kemajuan kepada kami dan mengeluarkan masyarakat terlepas dari kebodohan. Untuk itu kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan hal itu, agar kami tidak jadi korban,” ujar pemilik hak ulayat areal PT. Freeport, Silas Natkime, di Timika, Selasa (11/2).

Dirinya berharap setelah adanya kunjungan dari DPR Papua, akan membawa perubahan yang sangat besar kepada perusahaan termasuk kepada pemilik hak ulayat, dimana perusahaan bisa berproduksi kembali tanpa dibebani biaya pajak ekspor yang cukup besar.

Biar bagaimanapun kehidupan kami orang Papua, tergantung pada perusahaan PT Freeport Indonesia,” Silas meminta pemerintah harus jernih melihat fakta yang terjadi selama ini.

Sementara itu, Wakil Ketua Papua Brotherhood, Simon Morin, mengatakan biaya pajak ekspor yang sangat besar mengakibatkan perusahaan tidak bisa melakukan ekspor. 

Selain itu, untuk membangun pabrik pemurnian (Smelter) tidaklah gampang, harus didukung infrastruktur memadai, listrik yang  cukup, kawasan pelabuhan serta industri  yang dapat menyerap hasil dari buangan Smelter tersebut.
Dia menerangkan, Smelter yang ada di Gresik hanya bisa menyerap 40 persen dari produksi PTFI. 

Jika dibebani dengan peraturan pajak ekspor itu, katanya, maka Freeport hanya bisa berproduksi sesuai dengan kebutuhan Gresik saja. 

Sementara itu, saat ini produksi tambang sudah mulai berkurang, akibat pajak yang begitu besar. Jika keadaan tidak berubah, maka pihak perusahaan terpaksa akan mengurangi karyawan. 

Jika hal itu terjadi, sehingga akan sangat berdampak pada ekonomi Kabupaten Mimika, karena ekonomi hampir seluruhnya bergantung pada PTFI.
Morin menjelaskan, untuk produksi normal konsetrat dalam setahun bisa mencapai  2 juta ton lebih, 1 juta tonnya diantaranya diproduksi di Gresik, sisanya di ekspor. 

Namun setelah adanya peraturan pajak ekspor, maka produksi menurun menjadi  30  ribu ton perhari dari produksi semula 200 ribu ton perhari.

“Pemerintah harus mempertimbangkan nasib 30.000 ribu pekerja, kalaupun itu merupakan kebijakan pemerintah  haruslah mengambil kebijakan yang menguntungkan rakyatnya, jangan mengambil kebijakan yang mengorbankan rakyat.” ujarnya.

Dia berharap, pemerintah perlu menyadari bahwa menciptakan lapangan pekerjaan juga merupakan kepentingan nasional. 

Pemerintah jangan memandang 30.000 ribu karyawan hanya sebagai angka saja, mereka adalah puluhan ribu rakyat yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk dapat menghidupi keluarganya,” jelasnya.

Sementera itu, Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni, SE.,M.Si, belum lama ini melakukan kunjungan di areal Pertambangan PT Freeport Indonesia, mulai dari Grasberg hingga Portsite, lalu ke pelabuhan Amamapare. 

Kunjungan ini terkait adanya pengurangan produksi yang mengakibatkan penumpukan material akibat naiknya biaya ekspor yang mencapai 25 persen pasca pemberlakukan UU Minerba nomor 4 tahun 2009.

Kedatangan kami ke sini adalah untuk melihat langsung lokasi penambangan PT Freeport Indonesia. Kami melihat bahwa perusahaan ini sangatlah luar biasa, mulai dari Grasberg sampai dengan Porsite. Oleh karena itu, pemerintah harus melihat bahwa lokasi penambangan PTFI sangat jauh berbeda dengan penambangan yang ada di daerah lain, mengapa kami katakan demikian karena dari segi alam yang sangat rawan sekali,” ujar Tabuni, saat dijumpai usai pertemuan dengan Ketua Papua Brotherhood, Simon Morin dan pemilik hak ulayat, Silas Natkime, di Rimba Papua Hotel.

Dia mengakui, penerapan UU Minerba no 4 tahun 2009 sangat berdampak sekali terhadap PTFI. Karena besaran pajak yang dikenakan sangat memberatkan persusahaan tersebut.

Karena itu, kata Deerd, pemerintah pusat harus berpijak pada UU Otonomi Khusus tahun 2001, sebagai bagian yang lahir oleh rakyat Papua. 

Dia menambahkan, pertimbangan lainnya adalah UU 45 pasal 18 ayat 1 dan 2, dimana sudah sangat jelas apapun pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam hal pengelolaan sumber daya alam yang seadil-adilnya.

Setelah melihat kondisi area kerja dari Grasberg hingga ke Portsite, dirinya menilai pajak ekspor yang dinaikkan pemerintah itu mengakibatkan PTFI mulai membatasi produksinya. Selain itu, terjadi penumpukan konsentrat karena belum juga diekspor ke negara penerima.

Dari hasil kunjungan ini, kami akan membahasnya dengan pemerintah daerah, dilanjutkan dengan menyurat ke presiden melalui menteri-menterinya untuk meninjau ulang pajak ekspor tersebut,” ungkap Deerd. (Jubi/Eveerth)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar