Timika,
11/2 (Jubi) – Pemilik hak ulayat areal PT. Freeport Indonesia,
pemerintah pusat perlu mengkaji ulang pajak ekspor yang tidak hanya
membebani perusahaan, namun juga mengancam kelangsungan hidup orang
Papua yang bergantung di dalamnya.
“Karena
keberadaan perusahaanlah yang membawa kemajuan kepada kami dan
mengeluarkan masyarakat terlepas dari kebodohan. Untuk itu kami meminta
pemerintah untuk mempertimbangkan hal itu, agar kami tidak jadi korban,”
ujar pemilik hak ulayat areal PT. Freeport, Silas Natkime, di Timika,
Selasa (11/2).
Dirinya
berharap setelah adanya kunjungan dari DPR Papua, akan membawa
perubahan yang sangat besar kepada perusahaan termasuk kepada pemilik
hak ulayat, dimana perusahaan bisa berproduksi kembali tanpa dibebani
biaya pajak ekspor yang cukup besar.
“Biar
bagaimanapun kehidupan kami orang Papua, tergantung pada perusahaan PT
Freeport Indonesia,” Silas meminta pemerintah harus jernih melihat fakta
yang terjadi selama ini.
Sementara
itu, Wakil Ketua Papua Brotherhood, Simon Morin, mengatakan biaya pajak
ekspor yang sangat besar mengakibatkan perusahaan tidak bisa melakukan
ekspor.
Selain
itu, untuk membangun pabrik pemurnian (Smelter) tidaklah gampang, harus
didukung infrastruktur memadai, listrik yang cukup, kawasan pelabuhan
serta industri yang dapat menyerap hasil dari buangan Smelter tersebut.
Dia menerangkan, Smelter yang ada di Gresik hanya bisa menyerap 40 persen dari produksi PTFI.
Jika
dibebani dengan peraturan pajak ekspor itu, katanya, maka Freeport
hanya bisa berproduksi sesuai dengan kebutuhan Gresik saja.
Sementara
itu, saat ini produksi tambang sudah mulai berkurang, akibat pajak yang
begitu besar. Jika keadaan tidak berubah, maka pihak perusahaan
terpaksa akan mengurangi karyawan.
Jika
hal itu terjadi, sehingga akan sangat berdampak pada ekonomi Kabupaten
Mimika, karena ekonomi hampir seluruhnya bergantung pada PTFI.
Morin
menjelaskan, untuk produksi normal konsetrat dalam setahun bisa
mencapai 2 juta ton lebih, 1 juta tonnya diantaranya diproduksi di
Gresik, sisanya di ekspor.
Namun
setelah adanya peraturan pajak ekspor, maka produksi menurun menjadi
30 ribu ton perhari dari produksi semula 200 ribu ton perhari.
“Pemerintah
harus mempertimbangkan nasib 30.000 ribu pekerja, kalaupun itu
merupakan kebijakan pemerintah haruslah mengambil kebijakan yang
menguntungkan rakyatnya, jangan mengambil kebijakan yang mengorbankan
rakyat.” ujarnya.
Dia berharap, pemerintah perlu menyadari bahwa menciptakan lapangan pekerjaan juga merupakan kepentingan nasional.
“Pemerintah
jangan memandang 30.000 ribu karyawan hanya sebagai angka saja, mereka
adalah puluhan ribu rakyat yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk dapat
menghidupi keluarganya,” jelasnya.
Sementera
itu, Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni, SE.,M.Si, belum lama ini melakukan
kunjungan di areal Pertambangan PT Freeport Indonesia, mulai dari
Grasberg hingga Portsite, lalu ke pelabuhan Amamapare.
Kunjungan
ini terkait adanya pengurangan produksi yang mengakibatkan penumpukan
material akibat naiknya biaya ekspor yang mencapai 25 persen pasca
pemberlakukan UU Minerba nomor 4 tahun 2009.
“Kedatangan
kami ke sini adalah untuk melihat langsung lokasi penambangan PT
Freeport Indonesia. Kami melihat bahwa perusahaan ini sangatlah luar
biasa, mulai dari Grasberg sampai dengan Porsite. Oleh karena itu,
pemerintah harus melihat bahwa lokasi penambangan PTFI sangat jauh
berbeda dengan penambangan yang ada di daerah lain, mengapa kami katakan
demikian karena dari segi alam yang sangat rawan sekali,” ujar Tabuni,
saat dijumpai usai pertemuan dengan Ketua Papua Brotherhood, Simon Morin
dan pemilik hak ulayat, Silas Natkime, di Rimba Papua Hotel.
Dia
mengakui, penerapan UU Minerba no 4 tahun 2009 sangat berdampak sekali
terhadap PTFI. Karena besaran pajak yang dikenakan sangat memberatkan
persusahaan tersebut.
Karena
itu, kata Deerd, pemerintah pusat harus berpijak pada UU Otonomi Khusus
tahun 2001, sebagai bagian yang lahir oleh rakyat Papua.
Dia
menambahkan, pertimbangan lainnya adalah UU 45 pasal 18 ayat 1 dan 2,
dimana sudah sangat jelas apapun pemerintah pusat harus berkoordinasi
dengan pemerintah daerah setempat dalam hal pengelolaan sumber daya alam
yang seadil-adilnya.
Setelah
melihat kondisi area kerja dari Grasberg hingga ke Portsite, dirinya
menilai pajak ekspor yang dinaikkan pemerintah itu mengakibatkan PTFI
mulai membatasi produksinya. Selain itu, terjadi penumpukan konsentrat
karena belum juga diekspor ke negara penerima.
“Dari
hasil kunjungan ini, kami akan membahasnya dengan pemerintah daerah,
dilanjutkan dengan menyurat ke presiden melalui menteri-menterinya untuk
meninjau ulang pajak ekspor tersebut,” ungkap Deerd. (Jubi/Eveerth)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar