Pages

Pages

Sabtu, 22 Februari 2014

Kebebasan Pers : Kekerasan dan Intimidasi terhadap Jurnalis

Ilustrasi
Di Papua, jurnalis menghadapi intimidasi, ancaman, dan tindak kekerasan. Jurnalis asing bahkan tidak diperbolehkan memasuki daerah tersebut. Dengan demikian, kebebasan pers sangat terpengaruh dan pelaporan independen dari lokasi hampir tidak mungkin terwujud. Pada tahun 2012,  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Papua mencatat 12 kasus tindak kekerasan serta intimidasi terhadap jurnalis di Papua, hal ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun 2011 yang hanya mencatat tujuh kasus. Delapan dari total 12 kasus akan disampaikan secara detail di bagian ini, di antaranya jurnalis yang dilarang meliput demonstrasi, kasus korupsi, dan pengadilan tahanan politik.
Sebuah dokumen milik Komando Pasukan Khusus yang dibocorkan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa pada waktu itu ada sekitar 12 jurnalis yang juga bekerja sebagai agen dan informan untuk satuan itu. Sejak saat itu, kelompok-kelompok yang sering menjadi target aparat keamanan kehilangan rasa percaya terhadap jurnalis. Sebagai contoh, ada kasus-kasus penyerangan jurnalis karena dicurigai sebagai agen Kopassus oleh komite Nasional Papua Barat, sebuah organisasi sosial politik yang memfasilitasi referendum kemerdekaan.
Contoh kasus
  • Intimidasi selama proses persidangan
Forkorus Yoboisembut dan beberapa rekan-rekannya ditangkap pada saat Konggres Papua III berlangsung. Mereka didakwa atas tuduhan pengkhianatan pada bulan Oktober 2011. Kemudian, mereka disidang di Pengadilan Negeri Jayapura pada tanggal 8 Februari 2012. Di saat para terdakwa berusaha melindungi diri dalam sidang tersebut, para wartawan yang sedang mendokumentasikan proses sidang mendapatkan perlakuan intimidasi fisik. Ketika memasuki ruang sidang, mereka didorong oleh anggota Polres Jayapura. Para wartawan yang merupakan korban intimidasi tersebut adalah Katerina Litha dari Radio KBR 68 H Jakarta, Robert Vanwi dari Suara Pembaharuan Jakarta, Josrul Sattuan dari TV One, Irfan dari harian Bintang Papua, dan Cunding Levi dari Harian Tempo.
  • Pencegahan para wartawan di Spring Manokwari
Menurut laporan, di antara bulan Februari dan Mei 2012, Kepala Kepolisian Manokwari mencegat dua orang wartawan yang hendak memberitakan aksi dukungan untuk dialog dan referendum di Papua. Kedua wartawan tersebut adalah Radang Sorong dari harian Cahaya Papua dan Paskalis dari Media Papua. Selain mereka, ada juga tiga wartawan lokal yang mengklaim bahwa mereka mengalami tekanan dari seorang perwira polisi ketika menulis berita mengenai masalah politik, hukum dan pelanggaran HAM, dan tahanan politik. Salah satu dari ketiga wartawan tersebut secara khusus diperintahkan oleh sang perwira polisi untuk membatasi pemberitaan mengenai masalah politik, hukum, dan pelanggaran HAM.
  • Pengusiran wartawan dari Kantor Polisi
Di daerah Polimak, Jayapura, Tumbur Gultom dari Papua Pos diminta oleh sekelompok anggota KNPB untuk memperkenalkan diri. Ketika korban menjawab bahwa dia bekerja sebagai wartawan dari Papua Pos, para aktivis tidak percaya. Mereka menduga bahwa korban adalah aparat keamanan yang menyamar untuk mengumpulkan informasi. Akhirnya, kelompok tersebut mengusir korban dari lokasi.
  • Pemukulan terhadap seorang Jurnalis di Lingkaran Abepura
Josrul Sattuan, seorang wartawan dari TV One, dipukuli oleh orang yang tak dikenal. Ketika itu, korban sedang meliput situasi di Jayapura, termasuk serangkaian insiden kekerasan dan penembakan yang terjadi di berbagai tempat di Jayapura. Pelaku pemukulan diduga adalah oknum aparat keamanan. Serangan fisik tersebut terjadi di Lingkaran Abepura petang hari pada tanggal 8 Juni 2012.
  • Pemukulan Pogau ketika meliput sebuah aksi demonstrasi
Oktavianus Pogau adalah wartawan yang bekerja untuk harian Suara Papua dan kontributor The Jakarta Globe. Pada tanggal 22 Oktober 2012, beberapa anggota kepolisian berseragam dan berpakaian bebas terlibat perseteruan dengan anggota KNPB di Manokwari dalam sebuah aksi demonstrasi. Pada saat itu, Oktavianus Pogau turut dipukuli oleh para aparat kepolisian ketika dia sedang meliput aksi tersebut, walaupun sudah menjelaskan bahwa dirinya adalah anggota pers.
  • Penyerangan setelah meliput kasus korupsi
Pada tanggal 1 November 2012, Sayied Syech Boften dari Papua Barat Pos diserang oleh Hendrik G. Wairara yang mengaku sebagai anggota DPRD. Sayied Syech Boften diancam dan diintimidasi melalui telepon. Selain itu, dia diperingatkan untuk menghentikan pemberitaan kasus korupsi sebuah proyek yang melibatkan perluasan jaringan listrik dan pemeliharaan mesin di kabupaten Raja Ampat.
  • Tuduhan terorisme ketika meliput sebuah pertemuan departemen publik dan militer
Pada tanggal 8 November 2012, Esau Miram dari Cenderawasih Pos diintimidasi ketika sedang meliput pertemuan di markas Komando Distrik Militer XVII yang dihadiri oleh semua kepala departemen pemerintah di Papua. Esau dituduh sebagai teroris, meskipun telah menunjukkan kartu identitas jurnalisnya.
  • Kasus: Wartawan JUBI dintimidasi ketika sedang meliput aksi demonstrasi
Pada tanggal 1 Desember 2012, Benny Mawel dari JUBI diinterogasi oleh anggota kepolisian di dekat Lingkaran Abepura. Hal itu disebabkan oleh karena dia meliput kerumunan para demonstran yang membawa spanduk dalam aksi demonstrasi dari Abepura ke Waena. Saat itu, Benny sudah menunjukkan kartu identitasnya sebagai wartawan. Akan tetapi, sebuah kelompok beranggotakan 10 orang menuduhnya bukan seorang jurnalis. Ketika Benny sedang dalam perjalanan menuju bengkel dengan mengedarai sepeda motor, dia diikuti oleh beberapa orang yang sempat menanyakan keberadaannya.

Hak Asasi Manusia di Papua 2013/hal.18.
Humanrightspapua.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar