Peta West PApua (IST) |
Jayapura,17/2(Jubi)-
Dewa penyelamat itu masih saja berseru-seru, “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” dan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tapi
bagi rakyat Papua, dua penggal kalimat itu tidak terbukti kesaktiannya.
Dalam pangkuan Indonesia, rakyat Papua menghadapi situasi yang sangat
buruk, bahkan paling buruk dari harapan.
Dewa
penyelamat hanya terbukti menyediakan jalan tol perusakan alam dan
penghancuran total atas tatanan nilai-nilai hidup orang Papua. Orang
Papua kini tidak memiliki sandaran hidup baik. Orang Papua hidup tidak
berpijak pada bumi yang membesarkan dirinya menjadi manusia utuh dan
sejati, sebagaimana yang pernah mereka rasakan jauh sebelum hukum negara
dan hukum agama mendatanginya.
Orang
Papua kini hidup di atas kekuatan asing: retorika fiksi kemanusian.
Erich Fromm dalam bukunya ‘Manusia menjadi Tuhan’ mengatakan “manusia
menerima fiksi sebagai satu kebenaran”. Fiksi-fiksi kebenaran manusia
terangkum dalam hukum negara dan hukum agama. Hukum negara membangun
fiksi demokrasi atau Hak Asasi Manusia (HAM), bebas merdeka dalam segala
hal, sejauh tindakan itu tidak merendahkan martabat sesama manusia.
Orang-orang
Papua terjebak dalam retorika fisik demokrasi Indonesia. Ribuan orang
Papua terbunuh saat menyampaikan pendapatnya melalui demonstrasi damai.
22 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) terbunuh saat demontrasi
damai sepajang tahun 2012.
(http://tabloidjubi.com/2013/01/04/22-anggota-knpb-terbunuh-sepanjang-tahun-2012)
Ratusan,
bahkan jutaan pelanggaran HAM terjadi di saat orang Papua melindungi
alamnya leluhurnya dari caplokan kapitalis yang rakus dan serobot.
Ketua
Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni (LPMA
SWAMEMO), Tohbias Bagubau, mengatakan telah terjadi 250 kasus
pelanggaran HAM terjadi lokasi Ilegal Mining di pinggiran sungai
Degeuwo, distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Papua sejak 2002 hingga
2013 lalu.
“Pencaplokan,
pencurian, perusakan alam secara illegal dan kadang berujung pada
penembakan dan pembunuhan,”tutur Thobias Bagubau, 8 Februari lalu dalam
jumpa persnya di Skretariat Asosiasi Mahasiswa Pengunungan Papua
Se-Indonesia di Perumnas I Waena, Kota Jayapura, Papua.
Kita
belum bicara korban nyawa dan perusakan alam di sekitar PT. Freeport
Indonesia di Timika, LNG Tangguh Bintuni, Proyek raksaa MIFEE di
Merauke, Proyek kelapa Sawit di Keerom, Jayapura, Nabire dan Perusahaan
Minyak bumi di Sorong.
Ratusan
pelanggaran hak-hak orang Papua telah, sedang dan akan terjadi di sana.
Orang Papua bertahan antara hidup atau mati dalam genggaman kapitalis.
Semua
itu menjadi Indikasi, bahkan menjadi bukti bahwa pemerintah hadir untuk
merusak daripada melindungi dan memelihara hak-hak orang asli Papua.
Pemerintah
tidak mungkin bertindak dalam waktu yang sama sebagai penghancur
sekaligus penyelamat dengan bahasa demokrasi. Retorika demokrasi menjadi
bius orang Papua menghadapi penghancuran dan pembunuh terhadap diri dan
sesama Papua.
Bahasa
demokrasi itu tidak mungkin berubah kalau demokrasi dapat dirumuskan
untuk menghancurkan. Kalau demokrasi menjadi penyelamat itu mujizat.
Orang Papua tidak perlu menanti mujizat milik orang beragama yang
mereduksi potensi perjuangan manusia menjadi manusia itu.
Orang
Papua harus bangkit melindungi diri, alam dan budayanya yang belum
hancur sebelum benar-benar binasa, dengan pedoman-pedoman merealisasikan
dan melindungi diri yang ada dalam budaya jauh sebelum bahasa demokrasi
Indonesia.
Konsep
Ha Anim, Dimi Akuwai dan An Netaiken, dan Ayaine layak menjadi kunci
merawat Papua yang carut marut oleh cakar kapitalis dan kolonialis.
Konsep
Ha Anim kata dalam bahasa suku Marind, wilayah Selatan Papua yang
meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan sekitarnya. Artinya ‘Saya
Manusia Sejati’. Orang Marind menggunakan konsep ini untuk merujuk
dirinya sebagai mahluk yang sangat sejati dari suku-suku sekitarnya.
Manusia sejati yang berdiri kokoh kuat di atas tanah dan budaya
leluhurnya.
Manusia
sejati itu harus mengali potensi kemanusiaannya dalam merealisasikan
hidup secara utuh. Menurut orang Mee (kini tersebar di kabupaten Paniai,
Dogoyai, Deiyai) harus berpijak pada rasio. Kata orang mee: Dimi=pikir.
“Dimi Akuwai Awii”, artinya “Jadikanlah pikiran sebagai kakakMu,”tulis
Titus Pekey dalam bukunya ‘Manusia Mee di Papua’. Rasio, menurut Orang
Mee, harus landasan berpikir, berkata dan bertindak dalam kehidupan.
Kalau
orang mengunakan pedoman Dimi, menurut Titus Pekey, manusia Mee,
manusia Papua akan mencapai satu kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya atau dari yang ada kini. “Pedoman tersebut dapat mengarahkan
usaha pembaharuan budaya dan peningkatan tarap hidup”.
Pembaharuan
hidup yang baik, tidak hanya melalui berpikir tetapi harus melibatkan
unsur rasa, untuk mencapai kehidupan yang seimbang. Orang Huwula (kini
Kabupaten Jayawijaya dan Mamberamo Tengah) mengatakan An netaiken Werek.
Artinya, “Hati saya masih normal”. Normal untuk merasakan panas dan
dingin, pahit pun manis.
Situasi
Papua hari ini membutuhkan kolaborasi tiga unsur di atas. Orang Papua
harus menilai diri sebagai manusia sejati, bertindak rasional dan
melibatkan rasa untuk melindungi eksistensinya sebagai manusia sejati.
Rasio
orang Papua harus mampu membedakan mana baik dan buruk; mencari tahu
dari mana berasal, berada dimana kini dan hendak ke mana? Kalau mampu
menjawab pertanyaan itu, orang Papua bisa berpijak dan melangkah
membangun negeri yang benar-benar baik dan benar.
Hasil
itu kemudian menjadi kebanggaan yang membawa orang Papua berkata
“Ayaine”. Kata bahasa suku Biyak yang artinya “Saya ini” manusia yang
mampu, mandiri tidak tergantung kapda orang ‘lain’, bangsa lain. (Jubi/Mawel)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar