Pages

Pages

Selasa, 18 Februari 2014

"Ha Anim, Dimi, Netaiken" Kunci Merawat Papua

Peta West PApua (IST)
    Jayapura,17/2(Jubi)- Dewa penyelamat itu masih saja berseru-seru, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tapi bagi rakyat Papua, dua penggal kalimat itu tidak terbukti kesaktiannya. Dalam pangkuan Indonesia, rakyat Papua menghadapi situasi yang sangat buruk, bahkan paling buruk dari harapan.
    Dewa penyelamat hanya terbukti menyediakan jalan tol perusakan alam dan penghancuran total atas tatanan nilai-nilai hidup orang Papua. Orang Papua kini tidak memiliki sandaran hidup baik. Orang Papua hidup tidak berpijak pada bumi yang membesarkan dirinya menjadi manusia utuh dan sejati, sebagaimana yang pernah mereka rasakan jauh sebelum hukum negara dan hukum agama mendatanginya.
    Orang Papua kini hidup di atas kekuatan asing: retorika fiksi kemanusian. Erich Fromm dalam bukunya ‘Manusia menjadi Tuhan’ mengatakan “manusia menerima fiksi sebagai satu kebenaran”. Fiksi-fiksi kebenaran manusia terangkum dalam hukum negara dan hukum agama. Hukum negara membangun fiksi demokrasi atau Hak Asasi Manusia (HAM), bebas merdeka dalam segala hal, sejauh tindakan itu tidak merendahkan martabat sesama manusia.
    Orang-orang Papua terjebak dalam retorika fisik demokrasi Indonesia. Ribuan orang Papua terbunuh saat menyampaikan pendapatnya melalui demonstrasi damai. 22 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) terbunuh saat demontrasi damai sepajang tahun 2012. (http://tabloidjubi.com/2013/01/04/22-anggota-knpb-terbunuh-sepanjang-tahun-2012)
    Ratusan, bahkan jutaan pelanggaran HAM terjadi di saat orang Papua melindungi alamnya leluhurnya dari caplokan kapitalis yang rakus dan serobot.
    Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni (LPMA SWAMEMO), Tohbias Bagubau, mengatakan telah terjadi 250 kasus pelanggaran HAM terjadi lokasi Ilegal Mining di pinggiran sungai Degeuwo, distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Papua sejak 2002 hingga 2013 lalu.
    Pencaplokan, pencurian, perusakan alam secara illegal dan kadang berujung pada penembakan dan pembunuhan,”tutur Thobias Bagubau, 8 Februari lalu dalam jumpa persnya di Skretariat Asosiasi Mahasiswa Pengunungan Papua Se-Indonesia di Perumnas I Waena, Kota Jayapura, Papua.
    Kita belum bicara korban nyawa dan perusakan alam di sekitar PT. Freeport Indonesia di Timika, LNG Tangguh Bintuni, Proyek raksaa MIFEE di Merauke, Proyek kelapa Sawit di Keerom, Jayapura, Nabire dan Perusahaan Minyak bumi di Sorong.
    Ratusan pelanggaran hak-hak orang Papua telah, sedang dan akan terjadi di sana. Orang Papua bertahan antara hidup atau mati dalam genggaman kapitalis.
    Semua itu menjadi Indikasi, bahkan menjadi bukti bahwa pemerintah hadir untuk merusak daripada melindungi dan memelihara hak-hak orang asli Papua.
    Pemerintah tidak mungkin bertindak dalam waktu yang sama sebagai penghancur sekaligus penyelamat dengan bahasa demokrasi. Retorika demokrasi menjadi bius orang Papua menghadapi penghancuran dan pembunuh terhadap diri dan sesama Papua.
    Bahasa demokrasi itu tidak mungkin berubah kalau demokrasi dapat dirumuskan untuk menghancurkan. Kalau demokrasi menjadi penyelamat itu mujizat. Orang Papua tidak perlu menanti mujizat milik orang beragama yang mereduksi potensi perjuangan manusia menjadi manusia itu.
    Orang Papua harus bangkit melindungi diri, alam dan budayanya yang belum hancur sebelum benar-benar binasa, dengan pedoman-pedoman merealisasikan dan melindungi diri yang ada dalam budaya jauh sebelum bahasa demokrasi Indonesia.
    Konsep Ha Anim, Dimi Akuwai dan An Netaiken, dan Ayaine layak menjadi kunci merawat Papua yang carut marut oleh cakar kapitalis dan kolonialis.
    Konsep Ha Anim kata dalam bahasa suku Marind, wilayah Selatan Papua yang meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan sekitarnya. Artinya ‘Saya Manusia Sejati’. Orang Marind menggunakan konsep ini untuk merujuk dirinya sebagai mahluk yang sangat sejati dari suku-suku sekitarnya. Manusia sejati yang berdiri kokoh kuat di atas tanah dan budaya leluhurnya.
    Manusia sejati itu harus mengali potensi kemanusiaannya dalam merealisasikan hidup secara utuh. Menurut orang Mee (kini tersebar di kabupaten Paniai, Dogoyai, Deiyai) harus berpijak pada rasio. Kata orang mee: Dimi=pikir. “Dimi Akuwai Awii”, artinya “Jadikanlah pikiran sebagai kakakMu,”tulis Titus Pekey dalam bukunya ‘Manusia Mee di Papua’. Rasio, menurut Orang Mee, harus landasan berpikir, berkata dan bertindak dalam kehidupan.
    Kalau orang mengunakan pedoman Dimi, menurut Titus Pekey, manusia Mee, manusia Papua akan mencapai satu kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya atau dari yang ada kini. “Pedoman tersebut dapat mengarahkan usaha pembaharuan budaya dan peningkatan tarap hidup”.
    Pembaharuan hidup yang baik, tidak hanya melalui berpikir tetapi harus melibatkan unsur rasa, untuk mencapai kehidupan yang seimbang. Orang Huwula (kini Kabupaten Jayawijaya dan Mamberamo Tengah) mengatakan An netaiken Werek. Artinya, “Hati saya masih normal”. Normal untuk merasakan panas dan dingin, pahit pun manis.
    Situasi Papua hari ini membutuhkan kolaborasi tiga unsur di atas. Orang Papua harus menilai diri sebagai manusia sejati, bertindak rasional dan melibatkan rasa untuk melindungi eksistensinya sebagai manusia sejati.
    Rasio orang Papua harus mampu membedakan mana baik dan buruk; mencari tahu dari mana berasal, berada dimana kini dan hendak ke mana? Kalau mampu menjawab pertanyaan itu, orang Papua bisa berpijak dan melangkah membangun negeri yang benar-benar baik dan benar.
    Hasil itu kemudian menjadi kebanggaan yang membawa orang Papua berkata “Ayaine”. Kata bahasa suku Biyak yang artinya “Saya ini” manusia yang mampu, mandiri tidak tergantung kapda orang ‘lain’, bangsa lain. (Jubi/Mawel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar