Pages

Pages

Selasa, 14 Januari 2014

Tak ada Demokrasi di Papua

Zely Ariane
Orang-orang Papua selalu jadi korban, diperkosa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi orang Papua dicabut paksa oleh Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia Kenapa saya ada di areal Freeport? Karena pembantaian demi pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah (TNI-Polri) tidak pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi. Kata-kata Kelly Kwalik kepada Jimmy Erelak, dalam Markus Haluk (2013: 286).
Judul tulisan ini digubah dari pernyataan serupa yang ditegaskan Wiji Thukul terhadap demokrasi Indonesia dalam pembukaan Manifesto Pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996, ketika diktator Orde Baru masih berkuasa. Ketika Thukul mengatakannya, lima paket UU politik adalah pintu penjara Orde Baru bagi para aktivis yang teguh memperjuangkan sikap politik dan membela hak-hak rakyat.
 
Lima belas tahun reformasi sudah berlalu, ruang politik bagi rakyat untuk menyusun manuver dan membangun kekuatan mulai lebih terbuka. UU Politik serupa Orde Baru tak lagi berlaku, para tahanan politik dibebaskan, walaupun orang-orang yang dihilangkan paksa oleh para Jenderal Orba, seperti halnya Thukul, belum ditemukan. Dan para jenderal pelanggar HAM masih berkuasa.
Namun, di dalam 15 tahun reformasi itu, demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak berlaku di Papua. Sebanyak 40 orang tahanan politik sejak tahun 2003 tidak diakui dan diurus negara, sedikitnya 30 orang lainnya menyusul ditahan sejak 1 Mei 2013 atas hak mereka berkumpul dan berekspresi. Rakyat Papua adalah korban sekaligus tumbal bagi persekongkolan pemodal internasional, militer, dan pemerintah Indonesia atas sumber daya yang kaya di tanah tak merdeka. Atas dasar itulah artikel ini ditulis.
Kita perlu memahami peta masalah di Papua, khususnya tertutupnya ruang demokrasi sejak kematian Theys Eluay di tahun 2001, dan seting ekonomi politik di mana ia berlangsung. Di sana tampak penyingkiran sistematis dan politis orang Papua di tanahnya sendiri. Mengapa tidak ada perubahan pendekatan dari Jakarta di era reformasi? Itu pertanyaan yang penting dijawab, sama pentingnya dengan pembangunan pergerakan untuk melawan dua warisan politik Orde Baru yang terus selamat dan belum bisa ditandingi hingga saat ini: politik anti-demokrasi dan anti-separatisme. Kedua persoalan itu adalah kerikil dalam sepatu bagi arah demokrasi Indonesia, apalagi Papua.
Memahami Peta Masalah dan Solusi Papua
Tidak mesti menjadi orang Papua untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua seperti saya, Papua adalah kita. Mengenal masalah Papua akan memperkenalkan kita pada Indonesia yang sebenarnya: suatu negeri yang proses negosiasi kebangsaannya belum selesai, apalagi harga mati. Membicarakan Papua berarti memikirkan apa yang harus diubah oleh Indonesia terhadap Papua, dan bukan sebaliknya. Karena masalah sekaligus solusi bagi persoalan Papua terletak di Jakarta, pusat kekuasaan Indonesia.
Banyak sekali tawaran cara menilai masalah Papua dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi orang Papua maupun orang Indonesia. Di tahun 1996, dalam manifestonya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah yang pertama mengakui adanya persoalan kebangsaan di Maubere, Aceh dan Papua[1] sekaligus memberi keberpihakan pada upaya-upaya penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Demikian halnya dengan Gus Dur yang tidak ragu mengembalikan nama Papua pada 1 Januari tahun 2000, dan penggunaan simbol bintang kejora sebagai identitas orang Papua. Oleh karena itu, sepertinya, Gus Dur lah satu-satunya elit Indonesia yang mendapat penghargaan dari orang Papua atas keberpihakan demokrasinya untuk Papua.[2]
Namun setelah era Gus Dur, khususnya akibat implementasi Otsus (UU No. 21/2001) dan pemekaran Provinsi Papua (Inpres No.1 tahun 2003), hubungan Papua-Jakarta semakin memburuk. Frans Maniagasi, dari Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua), di tahun 2004, memandang persoalan Papua berakar pada ketiadaan kepercayaan antara Indonesia terhadap Papua, dan sebaliknya.[3] Ketidakpercayaan itu timbul oleh karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Jakarta terhadap Papua.
Amiruddin al Rahab, dalam bukunya Heboh Papua (2010: ix) menyebutkan tak ada yang baru dalam landscape HAM dan sosial politik di Papua. Sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di Papua sama, yaitu seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat tindakan kekerasan, yang terjadi karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua disandera oleh sengketa yang dalam literatur politik disebut gerakan separatisme.
Sebelumnya, di dalam Papua Road Map yang diterbitkan oleh LIPI (2009), satu pengakuan sekaligus harapan terobosan jalan keluar terhadap persoalan Papua tersaji di atas meja. Terdapat empat kategori persoalan: sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan; inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua.
Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otonomi Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. (LIPI 2009: 7)
Moderasi, negosiasi, dan kompromi antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik Papua menurut tim LIPI. Berdasarkan analisis konflik tersebut Jaringan Damai Papua (JDP) hadir mengusung agenda dialog. Pemerintah merespon wacana dialog, yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa: Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik.[4]
Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Jayapura Papua diselenggarakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau. Namun hasil rekomendasi dialog damai tidak disikapi dengan positif oleh pemerintah. Bahkan berbagai kekerasan masih terus berlangsung ketika masyarakat Papua mengajak berdialog dengan Jakarta. Komunikasi konstruktif tidak pernah terjadi. Dengan demikian, solusi yang paling visible ini pun semakin hari semakin suram karena tidak ada keberpihakan dan perubahan pendekatan dari Jakarta.
Di tengah sulitnya meyakinkan Jakarta akan kepentingan terhadap dialog dengan Papua, Socratez Sofyan Yoman (2011), menambahkan bahwa dialog damai yang harus dilakukan antara pemerintah Papua dan rakyat Papua Barat haruslah tanpa syarat, dan dimediasi oleh pihak ketiga (internasional). Hal ini dilandasi oleh sejarah politik integrasi Papua ke Indonesia yang cacat partisipasi demokratis serta pelanggaran pemerintahan Orde Baru terhadap perjanjian New York, 15 Agustus 1962.[5]
Artinya, ditengah syarat dan tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat Papua terhadap dialog yang dimaksud, pemerintahan di Jakarta bahkan telah lebih dulu mundur teratur dan tak menujukkan sikap-sikap kompromi dalam bentuk apapun. Peningkatan kekerasan di Papua oleh militer Indonesia justru menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan rakyat Papua, yang sebetulnya tidak berhasil diintegrasikan selama kekuasaan Orde Baru.
Menurut Herman Katmo,[6] seorang intelektual Papua dari National Papua Solidarity: untuk memperoleh konsensus politik terkait format dialog di antara orang Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar ada kesempatan bagi seluruh masyarakat Papua mengkonsolidasikan diri. Intimidasi, ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan. Protes damai orang Papua jangan disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik internasional.
Seluruh pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan milisi harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti. Tanpa semua itu, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai. Jakarta akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Oleh sebab itulah, pada kenyataannya, suka tidak suka, persoalan Papua menurut kacamata sebagian besar orang Papua, dan orang Indonesia, tidaklah sama. Norman Vob, koordinator WestPapua Network, sebuah perkumpulan solidaritas Papua berbasis di Jerman, dalam satu kunjungannya ke sekretariat NAPAS, mencontohkan betapa sulitnya meyakinkan orang Papua terhadap kemungkinan peluang reformasi kebijakan dan pemerintahan di Jakarta dan di Papua dalam mengatasi, sekalipun parsial, persoalan-persoalan rakyat Papua. Sementara bagi para pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia perubahan pendekatan Jakarta dalam menangani Papua, sekecil apapun, adalah target advokasi politik yang sangat penting, tidak saja bagi Papua namun bagi iklim demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah tepatnya dimensi dialektis dalam peta masalah Papua kita letakkan: dialektika antara kehendak orang Papua dengan pembukaan ruang politik di Indonesia.
Kini, setelah 50 tahun penyerahan administrasi Papua ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, hampir seluruh spektrum politik di Papua bersepakat bahwa situasi Papua semakin memburuk. Mereka bersepakat bahwa persoalan Papua begitu kompleks meliputi sejarah dan status politik, diskriminasi dan marjinalisasi masyarakat asli, konflik agraria dan lingkungan, serta pelanggaran hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial, budaya. Memposisikan satu masalah lebih utama dari yang lain adalah tindakan yang merugikan, khususnya di tengah situasi kemanusiaan yang semakin memburuk bagi rakyat Papua di berbagai sisi saat ini. Demikian pula kerugian ketika memisahkan dan mengisolasi satu masalah dari masalah lainnya, karena justru solusi yang dikehendaki mayoritas rakyat tidak akan ditemukan.
Pelanggaran HAM sebagai Upaya Sistematis Penyingkiran Rakyat Papua
Tidak ada satupun data yang bisa mengkonfirmasi adanya perbaikan situasi hak azasi manusia di Papua di era reformasi.
Menurut Markus Haluk (2013), sebanyak 366 bentuk pelanggaran hak sipil politik terhadap rakyat Papua terjadi sejak tahun 2008 hingga 2012. Pelanggaran tersebut dalam bentuk penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan, pembakaran, penggerebekan asrama mahasiswa dan penghancuran harta warga, pengekangan demonstrasi damai, penolakan surat pemberitahuan demo damai, penahanan warga sipil dengan tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen, kongres dan diplomat asing, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis internasional, media nasional dan lokal, serta ancaman pembela HAM.
Dalam laporan tersebut, penembakan dan pembunuhan mendominasi angka pelanggaran HAM di Papua (105 kasus), disusul penyiksaan berat (50 kasus), dan pengekangan demonstrasi damai (35 kasus). Tren kekerasan bahkan semakin meningkat pasca diselenggarakannya Kongres III Rakyat Papua (KRP), 16-19 Oktober 2011. KRP III sendiri dibubarkan paksa oleh aparat gabungan pada 19 Oktober, dan Komnas HAM mengonfirmasi telah terjadi empat pelanggaran HAM oleh aparat dalam peristiwa tersebut.[7] Dan sejak saat itu, tren penembakan, penganiayaan dan pembunuhan di tahun 2012 meningkat, dilakukan oleh apa yang disebut aparat sebagai OTK (Orang Tak Dikenal) selain juga oleh polisi. Menurut catatan KontraS sebanyak 54 peristiwa dilakukan oleh OTK dan 84 peristiwa dilakukan oleh polisi.
Berbagai peristiwa ini terjadi di tengah kesimpulan banyak pihak terhadap kegagalan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, yang sedianya lahir sebagai jalan tengah penyelesaian konflik dalam merespon aspirasi rakyat Papua sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah membangun Papua. Otsus berlandaskan pada empat pilar yaitu: (i) Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli Papua; (ii) Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus; (iii) Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan Hak Asasi Manusia; (iv) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta Peradilan HAM. Dari empat pilar tersebut, yang terlaksana, dengan banyak problematika, hanyalah Majelis Rakyat Papua dan Komnas HAM Papua.
Dana Otonomi Khusus sejak tahun 2002 hingga 2012 yang berkisar 33 trilyun[8] tidak juga menyelesaikan persoalan kemiskinan di Papua. Sejak tahun 1996-2011 Human Development Index orang Papua tetap yang terendah.[9] Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi, Badan Pusat Statistik Jakarta, menyebutkan penduduk Papua berjumlah 3,612,854[10] jiwa (1,790,777 orang asli Papua dan 1,822,677 pendatang). Disparitas tingkat kemiskinan penduduk Indonesia, berdasarkan rilis Bappenas 3 Januari 2012 menempatkan Papua di posisi tertinggi di Indonesia, sebesar 31,98%. Otonomi Khusus yang dijanjikan juga belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui 4 (empat) program utamanya: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur.
Dari data yang dikeluarkan Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua, 2010, APBD Provinsi Papua tahun 2009 mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 242,06 milyar. Jumlah ini setara dengan 4,71% APBD atau 9,28% dari dana otsus. Jika menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD, anggaran pendidikan Papua tahun 2009 seharusnya minimal sebesar Rp 1,03 trilyun. Apabila menggunakan Perda No. 5/2006 dengan ketentuan 30% dari dana otsus, anggaran pendidikan Papua pada APBD 2009 paling sedikit seharusnya Rp 782,94 milyar.
Sementara itu peristiwa kematian akibat sakit yang sudah bisa diobati, HIV/AIDS, dan ketidaksediaan bahan pangan, terus terjadi. Masih menurut Foker LSM, alokasi APBD Provinsi Papua untuk sektor kesehatan tahun 2009 sebesar Rp. 295,29 milyar (5,74% dari APBD atau 11,31% dari dana otsus). Kendati demikian, dari sisi persentasi, situasi ini belum memenuhi amanat UU Otsus di mana sektor kesehatan menjadi prioritas pendanaan. Nilai ini juga belum sesuai dengan standar WHO (World Health Organization), yang menetapkan anggaran kesehatan 15% dari APBD.
Angka penderita HIV-AIDS hingga 16 Desember 2012 telah mencapai 13.000 jiwa menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua,[11] dan kawasan pertambangan mendominasi jumlah orang-orang yang terinfeksi. Dari catatan media centre UP4B dalam hal kesehatan pada Februari 2013,[12] dana Dekonsentrasi Provinsi Papua sebesar Rp. 49,4 milyar dan dana Pinjaman Hibah Luar Negeri sebesar Rp. 13,2 milyar.
Pada awal dan pertengahan April 2013, 95 orang (15 orang menurut keterangan Pemerintah) meninggal; 61 orang juga meninggal di Distrik Samenage Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua; sementara 535 orang lainnya menderita sakit, terutama sejak November sampai Februari 2013 di Distrik Kwor Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Peristiwa kematian 95 warga dan ratusan yang sakit di Kwor tersebut diduga karena kekurangan gizi dan gatal-gatal. Di Distrik Kwor terdapat 8 Kampung dan didiami 2.250 jiwa (penduduk). Menurut tokoh gereja setempat, peristiwa kematian dan sakit ini sudah lama dilaporkan kepada petugas kesehatan yang berkunjung di Puskemas pembantu (Pustu), tetapi belum ada respon balik dari pemerintah setempat.[13]
Peristiwa yang serupa terjadi di Distrik Semenage, Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua: 61 orang meninggal karena sakit. Peristiwa ini terjadi sejak 15 Januari sampai 30 Maret 2013. Penyebab kematiannya akibat berbagai penyakit seperti sesak nafas, diare, sakit ulu hati, cacingan, badan bengkak-bengkak, dan jantung bengkak. Berdasarkan hasil penelitian selama kunjungan pastoral di Distrik Segema, tokoh gereja setempat, Pastor John Jonga dan Dorkas Kosay, mengatakan bahwa di kampung-kampung terdapat anak-anak dan ibu-ibu yang sakit, mereka tidak mendapat pelayanan medis dari petugas kesehatan karena tidak ada tenaga kesehatan di Puskes Pembantu. Hanya seorang kader (pembantu Mantri dan bidan) yang berada di tempat. Ia pun tak bisa berbuat banyak karena bukan bidan yang mengikuti sekolah formal. Tidak ada penyediaan obat-obatan yang memadai, meskipun obat yang tersedia seringkali berhamburan di lantai Puskesmas Pembantu.[14] Fakta di lapangan berbeda dengan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo yang mengatakan bahwa terdapat sebuah Puskesmas Pembantu dengan 5 orang petugas kesehatan (3 orang perawat dan 2 orang bidan) di Distrik Semenage pada tahun 2009.
Kasus kematian warga akibat penyakit kekurangan pangan dan gizi buruk di Kabupaten Yahukimo pernah terjadi sebelumnya di tahun 2005 dan 2009. Dalam peristiwa itu 220 orang meninggal dunia. Selain di Kabupaten Yahukimo, wabah kolera dan muntaber terjadi pada bulan Juli 2008 di Kabupaten Dogiyai. Menurut laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi Papua, sebanyak 239 Warga Dogiyai telah meninggal dunia akibat wabah kolera dan muntaber yang terjadi antara April-Juli tahun itu. Korban terdiri dari anak-anak, remaja dan orang dewasa. Dalam situasi itu, perhatian pemerintah sangat lambat dan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah Kabupaten dan Provinsi.
Pada 4 Desember 2007, sebanyak 21 orang warga Kampung Dumadama dan Ugimba Kabupaten Paniai, Papua, meninggal dunia akibat kelaparan. Korban 21 orang itu terdiri dari 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan dan 12 orang lainnya anak-anak. Tokoh masyarakat adat setempat, Maximus Tipagau, mengatakan kelaparan terjadi karena gagal panen, di mana musim es menghancurkan tanaman masyarakat. Tidak ada bantuan dari pemerintah Kabupaten Paniai, hingga mereka meminta bantuan dari PT. Freeport, tanpa mendapat respon. Sebagai catatan, Dumadama berada di wilayah konsesi Freeport.[15]
Di tengah kegagalan Otsus yang belum dievaluasi secara komprehensif, pemerintah telah membuat institusi baru bernama Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Lembaga ini dianggap sebagai solusi sepihak pemerintah Jakarta untuk menjawab kegagalan Otsus. UP4B merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan Masterplan Program Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonessia (MP3EI) yang disusun pemerintah pusat. Di dalam presentasi Bambang Darmono[16] Merajut Harmoni: Peran UP4B dalam Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat disebutkan bahwa MP3EI adalah kerangka acuan yang digunakan selain Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Papua tahun 2010-2014. Tidak jelas di mana posisi Otsus dalam kepentingan itu, bahkan tak pernah satu kalipun dirujuk dalam presentasi tersebut.
Menurut laporan akhir tahun 2012 Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP),[17] terobosan UP4B dalam memperjuangkan pendidikan dan dana pembangunan, khususnya di daerah pegunungan, belum mampu memacu sinkronisasi kerja di antara instansi terkait, juga terutama untuk mengontrol implementasinya. Ageda sosial politik untuk membangun komunikasi di antara masyarakat sipil yang menjadi salah satu peran UP4B masih belum nampak. Pelaksanaan, pendampingan dan pengawasan terhadap penggunaan dana-dana mulai dari provinsi hingga ke kampung-kampung belum mampu memperbaiki kualitas pembangunan bagi masyarakat. Masih terdapat perbedaan yang sangat besar antara agenda pemerintah dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan.
MP3EI dilaksanakan dalam semangat percepatan pertumbuhan ekonomi berlandaskan ketergantungan terhadap investasi asing, akumulasi berbasiskan industri ekstraktif yang dampak sosial dan lingkungannya semakin mengkhawatirkan, sekaligus karpet merah untuk para pemiliki kapital. Sehingga MP3EI pada dasarnya hanyalah daur ulang kebijakan deregulasi dan akan menjadi sumber bencana di masa depan.[18] Pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing dalam arus neoliberalisme selama lebih dari 3 dekade terakhir sudah terbukti memanen kegagalan ketimbang keberhasilan di dalam perspektif mempercepat laju pengurangan kemiskinan.[19]
Sehingga kekhawatiran banyak pihak bahwa strategi dalam pengamanan investasi akan memperkuat penempatan militer (TNI/POLRI) dalam jumlah besar, yang sebetulnya pun telah berlangsung selama ini, sangat beralasan. Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji, mengatakan, bahwa MP3EI dan UP4B adalah kebijakan soft power yang paling strategis untuk menjalankan harmonisasi kesejahteraan di Papua dalam koridor NKRI dan kebangsaan, sambil, tidak melupakan cara-cara hard power untuk mewaspadai tindakan penggunaan senjata oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab, karena menurutnya, angkat senjata tak bisa dihadapi dengan doa. Angkat senjata harus dihadapi dengan senjata, apalagi Indonesia juga punya kekuatan.[20]
Sulit untuk tiba pada kesimpulan lain, berdasarkan semua fakta pelanggaran HAM sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan budaya yang terus berlangsung sebagaimana digambarkan di atas, selain memang terjadi penyingkiran yang sistematis terhadap rakyat Papua. Berbagai kebijakan yang menghamburkan uang seperti disengaja membuat situasi bertambah buruk melalui peningkatan korupsi birokratik di seluruh jajaran pemerintahan.[21] Sejak Orde Baru berkuasa dengan fokus kebijakan dan pendekatan yang lebih seragam dan represif, Indonesia sudah gagal mengintegrasikan Papua. Secara politik pemerintah pasca reformasi juga gagal menunjukkan komitmen yang lebih beradab untuk meraih kepercayaan rakyat Papua. Terobosan yang dilakukan Gus Dur kandas,di tangan para elit yang konservatif. Sejak awal aspirasi mayoritas rakyat Papua berbeda dengan apa yang diberikan Jakarta.
Aspirasi itu dilandasi oleh apa yang disebut para aktivis hak azasi manusia di Papua sebagai Memoria Passionis atau Ingatan Penderitaan. Memoria Passionis adalah kenangan akan trauma akibat marjinalisasi sosial dan ekonomi secara umum, pengingkaran terhadap harga diri yang sering dilakukan, dan kadang-kadang teror secara terbuka. Memoria Passionis mulai diekspresikan sebagai sejarah penderitaan orang-orang Papua dan disampaikan ke Jakarta ketika sebuah tim yang terdiri dari 100 pemimpin (Tim 100) dari seluruh penjuru Papua mengajukan tuntutan akan kemerdekaan terhadap Presiden Habibie pada 26 Februari 1999[22].
Papua Dijajah Dua Kali
Persoalan Papua bersifat sistemik. Terdapat penindasan kebangsaan sekaligus eksploitasi kapital. Gugatan Papua terhadap status politiknya sekaligus adalah gugatan pada orang Indonesia terhadap sejarah politiknya sendiri. Sengketa politik Papua sangat erat kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah itu. Kontrol terhadap Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada di hadapan kita saat ini.
Pada 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop Birds Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Kemudian ditemukannya mineral ore di Ertsberg tahun 1936 menjadi awal dari bencana kemanusiaan di Papua masa kini. Perlu diingat bahwa Papua tidak serta merta menjadi bagian Indonesia setelah kemerdekaan de facto pada 1945 seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi bagian dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia pada 1928. Belanda mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949, dan memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama kalinya bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.
Erstberg yang sempat terbengkalai selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah diketemukan juga cadangan emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat turut mengambil kesempatan secara langsung bekerjasama dengan Soeharto untuk menyelidiki Erstberg. Dalam situasi demikian New York Agreement 15 Agustus 1962 dilahirkan, dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat itu West New Guinea) pada Indonesia.[23] Hasilnya integrasi Papua ke Indonesia, di bawah todongan senjata, melalui apa yang dianggap sebagai jajak pendapat rakyat (Pepera) 1969, hanya diikuti sekitar 1024 orang Papua dewasa dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat itu.
Kita ingat dua tahun sebelum Pepera, justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport mendapat berkah kontrak eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam konteks politik Indonesia, peristiwa ini dapat terjadi setelah Suharto Orde Baru berhasil menjadi pemenang dari malapetaka pembantaian tak kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi sumberdaya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia secara hukum?
Dalam semua bisnis ekonomi keruk inilah, sejak potensinya ditemukan tahun 1936 di areal wilayah yang kini menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan diabaikan. Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika Serikat, Belanda dan Inggrislah pemain-pemainnya, sementara di saat yang sama wilayah-wilayah lain Indonesia juga menjadi permainan ekonomi keruk negara-negara itu juga.
Pepera adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua. Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa.[24] Di antara operasi militer terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.
Dalam latar semacam itulah ekplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol sumber alam Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia, dari 79,62% tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009, 38,72% telah mengalami deforestasi terbesar dari semua wilayah.
Grasberg milik PT FI adalah tambang emas terbesar di dunia. Manurut laporan tahun 2010, keuntungan yang didapat PT FI sebesar Rp. 4000 trilyun. Terakhir eksploitasi tambang ini sedang dalam pembicaraan untuk diperpanjang lagi hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa beroperasi, total kontribusi (royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang dibayar FI pada pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 milyar USD.[25] Sementara gaji karyawan hanya berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti, kepala komunikasi korporat PT FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg pada tahun produksi 2013 ditargetkan naik 39,2% menjadi 1,2 juta ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara produksi tembaga 2013 dipatok meningkat menjadi 58,5% menjadi 1,1 milyar pound dibanding sebelumnya 694 juta pound. Apakah artinya penjelasan seperti ini?
Berbicara tentang Freeport, bahkan juga tentang seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalam roadmap MP3EI, tak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah, setting sosial budaya dan ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, tak dapat dibiarkan pembicaraan terkait ekonomi ekstraktif ini menjadi sekadar kalkulasi dan bagi-keuntungan demi pertumbuhan ekonomi belaka. Jelaslah bahwa sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, dan kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang Amugme dan Kamoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orde Baru.
Di tahun 1990an di sekitar area tersebut populasinya  membludak menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat Timika menjadi zona ekonomi yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara.[26] Satu persen royalti untuk masyarakat asli Papua yang diberikan PT FI pada kenyataannya hanya kembang gula yang tidak jelas juntrungnya, dan pada prakteknya justru ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri.
Elit yang (di)Rusak
Otonomi Khusus dan pemekaran adalah penyumbang besar hancurnya mental para elit politik Papua, disamping fondasi untuk tumbuh menjadi elit politik modern pun tak pernah bisa berkembang di masa Orde Baru akibat persaingan dengan orang-orang yang didatangkan (Amber atau pendatang). Dana-dana Otonomi Khusus yang dikorupsi oleh para elit diberbagai jajaran birokrasi, pertarungan primordial para calon kepala daerah dan pendukungnya menjelang dan ketika pilkada berlangsung, gaya hidup pesta dan seks, adalah citra yang diketahui umum dan semakin biasa dikalangan para elite yang malas tau dan lebih suka bersantai di kota-kota, apalagi ke Jakarta.
Padahal UU Otsus sebetulnya juga dapat memberi jembatan bagi elit-elit asli Papua untuk berkonsolidasi karena kebijakan afirmatif yang mengijinkan pengutamaan orang Papua di birokrasi pemerintah. Namun, terdapat masalah karena proses Papuanisasi yang cepat sejak 1998 tidak menyediakan persiapan untuk masa transisi. Akibatnya penerimaan pegawai, dan pengambilalihan jabatan, sebagiannya mengabaikan aturan kepegawaian, jenjang karir dan golongan, terutama kompetensi.[27] Disinilah cikal bakal keterpisahan yang semakin dalam antara para elit dan mayoritas orang Papua (rakyat kebanyakan).
Persoalan menjadi bertambah runyam oleh percepatan pemekaran yang diinstruksikan oleh Presiden Megawati lewat dekrit pada 23 Januari 2003, yang mengabaikan mandat UU Otsus tentang syarat pemekaran mesti melalui pertimbangan MRP dan persetujuan DPRP, membentuk dua provinsi baru (Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah), tiga kabupaten baru (Paniai, Mimika, dan Puncak Jaya), dan satu kotamadya (Sorong). Dan ternyata, gagasan ini bukan barang baru, karena di tahun 1999 gubernur (Freddy Numberi) dan tiga wakil gubernur Papua waktu itu (John Djopari, Herman Monim, Abraham Atururi) sudah mengusulkannya, dan mereka dijanjikan akan menjadi gubernur di masing-masing calon provinsi pemekaran. Tapi janji itu tak ditepati yang membuat beberapa diantara mereka frustasi.[28]
Motif pemekaran selanjutnya, menurut International Crisis Group, adalah misi Badan Intelijen Negara (BIN) yang didorong oleh orang Papua sendiri, Jimie Ijie. Ia mengatakan, Papua yang secara administratif tidak dipisah-pisah akan memupuk nasionalisme Papua. Ia bersama 315 orang Papua kemudian mendukung Ataruri merundingkan masalah tersebut dengan BIN dan Departemen Dalam Negeri. Selain itu, bagi militer negara, pembentukan provinsi dan kabupaten baru akan mensyaratkan peningkatan jumlah pasukan, Korem, juga Kodim.[29]
Pemekaran kemudian menyuburkan politik elit primordial yang berdampak adu domba antar rakyat. Bagi sebagian elite Papua, Otsus dan pemekaran diinterpretasikan sebagai keleluasaan untuk menentukan nasib sendiri atas dasar sentimen etnis. Partai politik nasional hanya kendaraan taktis saja, walaupun tidak bisa melepaskan dari kepentingan strategis partai-partai nasional tersebut. Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati di Papua harus berasal dari warga keturunan Papua asli membuat putra-putra daerah tampil mau menjadi pemimpin, baik sebagai bupati, legislatif, maupun kepala-kepala dinas. Mobilisasi massa yang dilakukan oleh elite lokal sering terjadi dengan menggunakan politik etnosentrisme[30].
Muridan Widjojo, dalam satu percakapan pribadi tertulis, mengatakan bahwa elit Papua berada pada tahap obsesi kekuasaan tradisional kepala suku, dan konstituen primodialnya yang dimainkan dalam arena demokrasi. Hasilnya, bupati berperilaku bukan sebagai pejabat negara yang demokratis tetapi sebagai kepala suku yang menguras sumber daya negara (kabupaten/kota/provinsi) untuk menjaga loyalitas konstituen primordialnya. Anggaran negara dilihat sebagai sumber keuangan yang tiada habis, seperti alam Papua yang menyediakan sagu dan binatang buruan tiada habisnya.
Lukas Enembe, Gubernur terpilih Provinsi Papua, dari Partai Demokrat, adalah contoh paling gres dari oportunisme. Ia dan jajarannya mengajukan Otonomi Plus (Mei 2013), yang tidak berbasiskan evaluasi apapuan terhadap Otonomi Khusus maupuan UP4B. Proposal yang paling mengemuka adalah prosentase pengelolaan dana yang lebih besar bagi daerah, tanpa punya kesimpulan kemana saja trilyunan dana Otsus selama ini mengalir, serta janji grasi bagi para Tapolpadahal sudah pernah diiming-imingi SBY bertahun-tahun lalu, namun sudah ditolak oleh para Tapolyang sampai saat ini belum satu suarapun keluar dari pihak pemerintah. Di saat yang sama, banyak orang-orang Papua yang juga mempercayai Enembe karena ia pandai memainkan sentimen dan harapan orang Papua terhadap kemerdekaan. Begitu ia dilantik ia mengatakan, tidak perlu ada dialog, karena saya ada hubungan telepon langsung dengan kelompok TPN/OPM. Ia juga mengatakan, dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 1945 SBY punya hadiah khusus.[31]
Momen-momen ini telah dan sedang mencipatakan kekecewaan mendalam rakyat Papua sekaligus ketidakpercayaan yang memang sudah tersebar luas terhadap orang-orang Papua (khususnya para legislator) yang masuk jalur formal dan terkena virus Indonesia.[32] Disinilah peran penting elemen-elemen pemuda-mahasiswa progresif yang tumbuh seiring, maupun pasca, Papuan Spring (momen ketika tim 100 mendatangai Habibie hingga Kongres II Rakyat Papua tahun 2000). Elemen-elemen muda ini tidak terkait atau sedang membuat jarak dengan para elit yang terkena virus (elit) Indonesia itu. Sebagain dari mereka besar bersama dan mendapat insipirasi dari perjuangan teman-teman Indonesia mereka dan teman-teman di luar negeri.  Mereka bekerja untuk menegakkan HAM, hak-hak lingkungan, masyarakat adat, dan juga penentuan nasib sendiri.
Namun demikian, terobosan politik dan hegemoni politik masih dipegang oleh para elit Papua korup yang dipelihara oleh elit Indonesia yang tak kalah korupnya.
NKRI Belum Final, Bukan Harga-Mati!
Pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengancaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber-sumber kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas lokal, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.
Sebagian besar dari kejahatan ini termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan merupakan produk dari operasi pertambangan PT Freeport. Dan kejahatan lainnya seperti kekerasan adalah hasil dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat Papua. Saat ini tak satupun data bisa dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang ditempatkan di Papua. Yang pasti tentara organik dan non organik bertambah, pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah,[33] orang-orang yang dibunuh, dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan berkumpul, juga bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah dipenjarakan karena sikap politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi setidaknya 30 orang ditangkap dan dibui sebagai tahanan politik.[34] Hingga saat ini, 22 orang sudah ditahan atas tuduhan makar, 3 orang dibebaskan, dan 7 lainnya belum diketahui statusnya.[35] Reformasi yang sudah berlangsung 15 tahun di Indonesia, sama sekali tidak berlaku di Papua.
Dari berbagai fakta ini, tidak ada kerugian sebetulnya jika kita mengakui bahwa NKRI sama sekali belum selesai. Lima puluh tahun Papua bersama Indonesia, yang sudah mengorbankan ratusan ribu nyawa, bahkan beberapa suku/marga yang dimusnahkan karena terkait Organisasi Papua Merdeka,[36] stigmatisasi separatis pada semua yang melawan pemerintah Jakarta, tidak juga bisa menghentikan suara-suara yang menuntut penentuan nasib sendiri. Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang turut menjadi bagian tim penyusunan Road Map Papua, pun sudah mengakuinya: NKRI belum final ditinjau dari kompleksitas masalah Papua.[37]
Dari sudut pandang perjuangan demokrasi Indonesia, turunnya Soeharto sekaligus juga bermakna menilai kembali ke-Indonesiaan kita yang sejak 1965-1966 hingga 1998 dipelihara melalui rasa takut, anti perbedaan, anti-ideologi, militerisme, anti separatisme, bahkan anti-politik. Papua adalah bintang kejora di ujung Timur yang justru akan mengubah perspektif kita atas bangsa Indonesia yang kita kenal melalui versi Orde Baru. Memperjuangkan masa depan Papua menghendaki keadilan dalam melihat sejarah, menyingkirkan prasangka-prasangka ras yang mungkin dihidupkan dalam pikiran kita. Dan satu gerakan solidaritas dari orang-orang Indonesia yang mencintai kemanusiaan Papua adalah langkah penting untuk memulai proses itu. Pembangunan gerakan Solidaritas Aceh-Papua di masa 2003-2004[38] adalah sebuah contoh yang baik, yang semestinya dapat dilakukan lagi.
Namun kesulitan utama yang sedang menghadang saat ini adalah kembalinya militerisme ke atas panggung politik Indonesia. Semakin meredupnya solusi dialog Jakarta-Papua dalam kerangka Papua damai yang diusung Jaringan Damai Papua (JDP) adalah konsekuensi dari ketidakberdayaan semua elite sipil Indonesia era reformasi terhadap politik militer, termasuk sebagian aktivis mahasiswa 1998, sehingga bangkitnya kembali para Jenderal Orde Baru.
***
(Tulisan ini direncanakan terbit pada 15 tahun reformasi, Mei 2013, sebagai bagian dari buku 15 tahun reformasi yang diterbitkan oleh Public Virtue Institute (PVI).

Zely Ariane adalah Koordinator Umum National Papua Solidarity (NAPAS).
*** 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar