Zely Ariane |
Orang-orang Papua selalu jadi
korban, diperkosa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi orang Papua dicabut paksa
oleh Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia Kenapa saya ada di areal
Freeport? Karena pembantaian demi pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah
(TNI-Polri) tidak pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih
mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi. Kata-kata Kelly Kwalik kepada Jimmy
Erelak, dalam Markus Haluk (2013: 286).
Judul tulisan ini digubah dari
pernyataan serupa yang ditegaskan Wiji Thukul terhadap demokrasi Indonesia
dalam pembukaan Manifesto Pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996,
ketika diktator Orde Baru masih berkuasa. Ketika Thukul mengatakannya,
lima paket UU politik adalah pintu penjara Orde Baru bagi para aktivis yang
teguh memperjuangkan sikap politik dan membela hak-hak rakyat.
Lima belas tahun
reformasi sudah berlalu, ruang politik bagi rakyat untuk menyusun manuver
dan membangun kekuatan mulai lebih terbuka. UU Politik serupa Orde Baru tak
lagi berlaku, para tahanan politik dibebaskan, walaupun orang-orang yang
dihilangkan paksa oleh para Jenderal Orba, seperti halnya Thukul, belum
ditemukan. Dan para jenderal pelanggar HAM masih berkuasa.
Namun, di dalam 15 tahun
reformasi itu, demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia, tidak
berlaku di Papua. Sebanyak 40 orang tahanan politik sejak tahun 2003
tidak diakui dan diurus negara, sedikitnya 30 orang lainnya menyusul ditahan
sejak 1 Mei 2013 atas hak mereka berkumpul dan berekspresi. Rakyat Papua adalah
korban sekaligus tumbal bagi persekongkolan pemodal internasional, militer, dan
pemerintah Indonesia atas sumber daya yang kaya di tanah tak merdeka. Atas
dasar itulah artikel ini ditulis.
Kita perlu memahami peta masalah di
Papua, khususnya tertutupnya ruang demokrasi sejak kematian Theys Eluay di
tahun 2001, dan seting ekonomi politik di mana ia berlangsung. Di sana tampak
penyingkiran sistematis dan politis orang Papua di tanahnya sendiri. Mengapa tidak
ada perubahan pendekatan dari Jakarta di era reformasi? Itu pertanyaan yang penting
dijawab, sama pentingnya dengan pembangunan pergerakan untuk melawan dua
warisan politik Orde Baru yang terus selamat dan belum bisa ditandingi hingga
saat ini: politik anti-demokrasi dan anti-separatisme. Kedua persoalan itu
adalah kerikil dalam sepatu bagi arah demokrasi Indonesia, apalagi Papua.
Memahami Peta Masalah dan Solusi
Papua
Tidak mesti menjadi orang Papua
untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua seperti saya, Papua
adalah kita. Mengenal masalah Papua akan memperkenalkan kita pada Indonesia
yang sebenarnya: suatu negeri yang proses negosiasi kebangsaannya belum
selesai, apalagi harga mati. Membicarakan Papua berarti memikirkan apa yang
harus diubah oleh Indonesia terhadap Papua, dan bukan sebaliknya. Karena
masalah sekaligus solusi bagi persoalan Papua terletak di Jakarta, pusat
kekuasaan Indonesia.
Banyak sekali tawaran cara menilai
masalah Papua dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi orang Papua maupun
orang Indonesia. Di tahun 1996, dalam manifestonya, Partai Rakyat Demokratik
(PRD) adalah yang pertama mengakui adanya persoalan kebangsaan di Maubere, Aceh
dan Papua[1] sekaligus memberi keberpihakan
pada upaya-upaya penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Demikian halnya dengan
Gus Dur yang tidak ragu mengembalikan nama Papua pada 1 Januari tahun 2000, dan
penggunaan simbol bintang kejora sebagai identitas orang Papua. Oleh karena
itu, sepertinya, Gus Dur lah satu-satunya elit Indonesia yang mendapat
penghargaan dari orang Papua atas keberpihakan demokrasinya untuk Papua.[2]
Namun setelah era Gus Dur, khususnya
akibat implementasi Otsus (UU No. 21/2001) dan pemekaran Provinsi Papua (Inpres
No.1 tahun 2003), hubungan Papua-Jakarta semakin memburuk. Frans Maniagasi,
dari Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua), di tahun 2004,
memandang persoalan Papua berakar pada ketiadaan kepercayaan antara Indonesia
terhadap Papua, dan sebaliknya.[3] Ketidakpercayaan itu timbul
oleh karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Jakarta terhadap Papua.
Amiruddin al Rahab, dalam bukunya
Heboh Papua (2010: ix) menyebutkan tak ada yang baru dalam landscape HAM
dan sosial politik di Papua. Sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di Papua
sama, yaitu seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat tindakan
kekerasan, yang terjadi karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua disandera oleh
sengketa yang dalam literatur politik disebut gerakan separatisme.
Sebelumnya, di dalam Papua Road
Map yang diterbitkan oleh LIPI (2009), satu pengakuan sekaligus harapan
terobosan jalan keluar terhadap persoalan Papua tersaji di atas meja. Terdapat
empat kategori persoalan: sejarah integrasi, status politik, dan identitas
politik; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan;
inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang Papua.
Secara historis, penafsiran terhadap
sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai
hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan
kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim
otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam
implementasi Otonomi Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa
pasca-Orde Baru. (LIPI 2009: 7)
Moderasi, negosiasi, dan kompromi
antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua merupakan salah satu kunci
penyelesaian konflik Papua menurut tim LIPI. Berdasarkan analisis konflik
tersebut Jaringan Damai Papua (JDP) hadir mengusung agenda dialog. Pemerintah
merespon wacana dialog, yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY tanggal 16
Agustus 2010 bahwa: Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang
ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam
pembangunan Papua yang lebih baik.[4]
Pada tanggal 5-7 Juli 2011 di
Jayapura Papua diselenggarakan Konferensi Damai Papua yang dihadiri oleh 500
perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau. Namun hasil rekomendasi dialog
damai tidak disikapi dengan positif oleh pemerintah. Bahkan berbagai kekerasan
masih terus berlangsung ketika masyarakat Papua mengajak berdialog dengan
Jakarta. Komunikasi konstruktif tidak pernah terjadi. Dengan demikian, solusi
yang paling visible ini pun semakin hari semakin suram karena tidak ada
keberpihakan dan perubahan pendekatan dari Jakarta.
Di tengah sulitnya meyakinkan
Jakarta akan kepentingan terhadap dialog dengan Papua, Socratez Sofyan Yoman
(2011), menambahkan bahwa dialog damai yang harus dilakukan antara pemerintah
Papua dan rakyat Papua Barat haruslah tanpa syarat, dan dimediasi oleh pihak
ketiga (internasional). Hal ini dilandasi oleh sejarah politik integrasi Papua
ke Indonesia yang cacat partisipasi demokratis serta pelanggaran pemerintahan
Orde Baru terhadap perjanjian New York, 15 Agustus 1962.[5]
Artinya, ditengah syarat dan
tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat Papua terhadap dialog yang
dimaksud, pemerintahan di Jakarta bahkan telah lebih dulu mundur teratur dan
tak menujukkan sikap-sikap kompromi dalam bentuk apapun. Peningkatan kekerasan
di Papua oleh militer Indonesia justru menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan
rakyat Papua, yang sebetulnya tidak berhasil diintegrasikan selama kekuasaan
Orde Baru.
Menurut Herman Katmo,[6] seorang intelektual Papua dari
National Papua Solidarity: untuk memperoleh konsensus politik terkait format dialog
di antara orang Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar ada
kesempatan bagi seluruh masyarakat Papua mengkonsolidasikan diri. Intimidasi,
ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja
diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan. Protes damai orang Papua
jangan disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan
tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau menutupi
keberadaan para tapol Papua ke publik internasional.
Seluruh
pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan milisi
harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti. Tanpa semua itu,
sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai.
Jakarta akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan
kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah anjing menggonggong kafilah tetap
berlalu.
Oleh sebab itulah, pada
kenyataannya, suka tidak suka, persoalan Papua menurut kacamata sebagian besar orang
Papua, dan orang Indonesia, tidaklah sama. Norman Vob, koordinator WestPapua
Network, sebuah perkumpulan solidaritas Papua berbasis di Jerman, dalam satu
kunjungannya ke sekretariat NAPAS, mencontohkan betapa sulitnya meyakinkan
orang Papua terhadap kemungkinan peluang reformasi kebijakan dan pemerintahan
di Jakarta dan di Papua dalam mengatasi, sekalipun parsial, persoalan-persoalan
rakyat Papua. Sementara bagi para pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia
perubahan pendekatan Jakarta dalam menangani Papua, sekecil apapun, adalah
target advokasi politik yang sangat penting, tidak saja bagi Papua namun bagi
iklim demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah tepatnya dimensi dialektis
dalam peta masalah Papua kita letakkan: dialektika antara kehendak orang Papua
dengan pembukaan ruang politik di Indonesia.
Kini, setelah 50 tahun penyerahan
administrasi Papua ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, hampir seluruh spektrum
politik di Papua bersepakat bahwa situasi Papua semakin memburuk. Mereka
bersepakat bahwa persoalan Papua begitu kompleks meliputi sejarah dan status
politik, diskriminasi dan marjinalisasi masyarakat asli, konflik agraria dan
lingkungan, serta pelanggaran hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial,
budaya. Memposisikan satu masalah lebih utama dari yang lain adalah tindakan
yang merugikan, khususnya di tengah situasi kemanusiaan yang semakin memburuk
bagi rakyat Papua di berbagai sisi saat ini. Demikian pula kerugian ketika
memisahkan dan mengisolasi satu masalah dari masalah lainnya, karena justru
solusi yang dikehendaki mayoritas rakyat tidak akan ditemukan.
Pelanggaran HAM sebagai Upaya
Sistematis Penyingkiran Rakyat Papua
Tidak ada satupun data yang bisa
mengkonfirmasi adanya perbaikan situasi hak azasi manusia di Papua di era
reformasi.
Menurut Markus Haluk (2013),
sebanyak 366 bentuk pelanggaran hak sipil politik terhadap rakyat Papua terjadi
sejak tahun 2008 hingga 2012. Pelanggaran tersebut dalam bentuk penyiksaan
berat, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan,
pembakaran, penggerebekan asrama mahasiswa dan penghancuran harta warga,
pengekangan demonstrasi damai, penolakan surat pemberitahuan demo damai,
penahanan warga sipil dengan tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen,
kongres dan diplomat asing, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis
internasional, media nasional dan lokal, serta ancaman pembela HAM.
Dalam laporan tersebut, penembakan
dan pembunuhan mendominasi angka pelanggaran HAM di Papua (105 kasus), disusul
penyiksaan berat (50 kasus), dan pengekangan demonstrasi damai (35 kasus). Tren
kekerasan bahkan semakin meningkat pasca diselenggarakannya Kongres III Rakyat
Papua (KRP), 16-19 Oktober 2011. KRP III sendiri dibubarkan paksa oleh aparat
gabungan pada 19 Oktober, dan Komnas HAM mengonfirmasi telah terjadi empat
pelanggaran HAM oleh aparat dalam peristiwa tersebut.[7] Dan sejak saat itu, tren
penembakan, penganiayaan dan pembunuhan di tahun 2012 meningkat, dilakukan oleh
apa yang disebut aparat sebagai OTK (Orang Tak Dikenal) selain juga oleh
polisi. Menurut catatan KontraS sebanyak 54 peristiwa dilakukan oleh OTK dan 84
peristiwa dilakukan oleh polisi.
Berbagai peristiwa ini terjadi di
tengah kesimpulan banyak pihak terhadap kegagalan Otonomi Khusus (Otsus) Papua,
yang sedianya lahir sebagai jalan tengah penyelesaian konflik dalam merespon
aspirasi rakyat Papua sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah membangun
Papua. Otsus berlandaskan pada empat pilar yaitu: (i) Majelis Rakyat Papua
(MRP) sebagai lembaga kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung
aspirasi penduduk asli Papua; (ii) Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai
badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam
menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus; (iii)
Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan
Pengadilan Hak Asasi Manusia; (iv) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
serta Peradilan HAM. Dari empat pilar tersebut, yang terlaksana, dengan banyak
problematika, hanyalah Majelis Rakyat Papua dan Komnas HAM Papua.
Dana Otonomi Khusus sejak tahun 2002
hingga 2012 yang berkisar 33 trilyun[8] tidak juga menyelesaikan
persoalan kemiskinan di Papua. Sejak tahun 1996-2011 Human Development Index
orang Papua tetap yang terendah.[9] Berdasarkan hasil sensus
penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi, Badan Pusat Statistik Jakarta,
menyebutkan penduduk Papua berjumlah 3,612,854[10] jiwa (1,790,777 orang asli
Papua dan 1,822,677 pendatang). Disparitas tingkat kemiskinan penduduk
Indonesia, berdasarkan rilis Bappenas 3 Januari 2012 menempatkan Papua di
posisi tertinggi di Indonesia, sebesar 31,98%. Otonomi Khusus yang dijanjikan
juga belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui 4 (empat)
program utamanya: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan
pembangunan infrastruktur.
Dari data yang dikeluarkan Forum
Kerjasama (Foker) LSM Papua, 2010, APBD Provinsi Papua tahun 2009
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 242,06 milyar. Jumlah ini setara
dengan 4,71% APBD atau 9,28% dari dana otsus. Jika menggunakan ketentuan UUD
1945, UU No. 20/2003, dan PP No. 48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan
sebesar 20% dari APBD, anggaran pendidikan Papua tahun 2009 seharusnya
minimal sebesar Rp 1,03 trilyun. Apabila menggunakan Perda No. 5/2006
dengan ketentuan 30% dari dana otsus, anggaran pendidikan Papua pada APBD 2009
paling sedikit seharusnya Rp 782,94 milyar.
Sementara itu peristiwa kematian
akibat sakit yang sudah bisa diobati, HIV/AIDS, dan ketidaksediaan bahan
pangan, terus terjadi. Masih menurut Foker LSM, alokasi APBD Provinsi Papua
untuk sektor kesehatan tahun 2009 sebesar Rp. 295,29 milyar (5,74% dari APBD
atau 11,31% dari dana otsus). Kendati demikian, dari sisi persentasi, situasi
ini belum memenuhi amanat UU Otsus di mana sektor kesehatan menjadi prioritas
pendanaan. Nilai ini juga belum sesuai dengan standar WHO (World Health Organization),
yang menetapkan anggaran kesehatan 15% dari APBD.
Angka penderita HIV-AIDS hingga 16
Desember 2012 telah mencapai 13.000 jiwa menurut laporan Dinas Kesehatan
Provinsi Papua,[11] dan kawasan pertambangan
mendominasi jumlah orang-orang yang terinfeksi. Dari catatan media centre
UP4B dalam hal kesehatan pada Februari 2013,[12] dana Dekonsentrasi Provinsi
Papua sebesar Rp. 49,4 milyar dan dana Pinjaman Hibah Luar Negeri sebesar Rp.
13,2 milyar.
Pada awal dan pertengahan April
2013, 95 orang (15 orang menurut keterangan Pemerintah) meninggal; 61 orang
juga meninggal di Distrik Samenage Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua; sementara
535 orang lainnya menderita sakit, terutama sejak November sampai Februari 2013
di Distrik Kwor Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Peristiwa kematian 95
warga dan ratusan yang sakit di Kwor tersebut diduga karena kekurangan gizi dan
gatal-gatal. Di Distrik Kwor terdapat 8 Kampung dan didiami 2.250 jiwa (penduduk).
Menurut tokoh gereja setempat, peristiwa kematian dan sakit ini sudah lama
dilaporkan kepada petugas kesehatan yang berkunjung di Puskemas pembantu
(Pustu), tetapi belum ada respon balik dari pemerintah setempat.[13]
Peristiwa yang serupa terjadi di
Distrik Semenage, Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua: 61 orang meninggal karena
sakit. Peristiwa ini terjadi sejak 15 Januari sampai 30 Maret 2013. Penyebab
kematiannya akibat berbagai penyakit seperti sesak nafas, diare, sakit ulu
hati, cacingan, badan bengkak-bengkak, dan jantung bengkak. Berdasarkan hasil
penelitian selama kunjungan pastoral di Distrik Segema, tokoh gereja setempat,
Pastor John Jonga dan Dorkas Kosay, mengatakan bahwa di kampung-kampung
terdapat anak-anak dan ibu-ibu yang sakit, mereka tidak mendapat pelayanan
medis dari petugas kesehatan karena tidak ada tenaga kesehatan di Puskes Pembantu.
Hanya seorang kader (pembantu Mantri dan bidan) yang berada di tempat. Ia pun
tak bisa berbuat banyak karena bukan bidan yang mengikuti sekolah formal. Tidak
ada penyediaan obat-obatan yang memadai, meskipun obat yang tersedia seringkali
berhamburan di lantai Puskesmas Pembantu.[14] Fakta di lapangan berbeda
dengan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo yang mengatakan bahwa
terdapat sebuah Puskesmas Pembantu dengan 5 orang petugas kesehatan (3 orang
perawat dan 2 orang bidan) di Distrik Semenage pada tahun 2009.
Kasus kematian warga akibat penyakit
kekurangan pangan dan gizi buruk di Kabupaten Yahukimo pernah terjadi
sebelumnya di tahun 2005 dan 2009. Dalam peristiwa itu 220 orang meninggal
dunia. Selain di Kabupaten Yahukimo, wabah kolera dan muntaber terjadi pada
bulan Juli 2008 di Kabupaten Dogiyai. Menurut laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian
Sinode Kingmi Papua, sebanyak 239 Warga Dogiyai telah meninggal dunia akibat
wabah kolera dan muntaber yang terjadi antara April-Juli tahun itu. Korban
terdiri dari anak-anak, remaja dan orang dewasa. Dalam situasi itu, perhatian
pemerintah sangat lambat dan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah
Kabupaten dan Provinsi.
Pada 4 Desember 2007, sebanyak 21
orang warga Kampung Dumadama dan Ugimba Kabupaten Paniai, Papua, meninggal
dunia akibat kelaparan. Korban 21 orang itu terdiri dari 5 orang laki-laki
dan 3 orang perempuan dan 12 orang lainnya anak-anak. Tokoh masyarakat adat
setempat, Maximus Tipagau, mengatakan kelaparan terjadi karena gagal panen, di
mana musim es menghancurkan tanaman masyarakat. Tidak ada bantuan dari
pemerintah Kabupaten Paniai, hingga mereka meminta bantuan dari PT. Freeport,
tanpa mendapat respon. Sebagai catatan, Dumadama berada di wilayah konsesi
Freeport.[15]
Di tengah kegagalan Otsus yang belum
dievaluasi secara komprehensif, pemerintah telah membuat institusi baru bernama
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Lembaga ini dianggap
sebagai solusi sepihak pemerintah Jakarta untuk menjawab kegagalan Otsus. UP4B
merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan Masterplan Program Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonessia (MP3EI) yang disusun pemerintah pusat. Di dalam
presentasi Bambang Darmono[16] Merajut Harmoni: Peran UP4B
dalam Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat disebutkan bahwa
MP3EI adalah kerangka acuan yang digunakan selain Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Nasional dan Papua tahun 2010-2014. Tidak jelas di mana posisi
Otsus dalam kepentingan itu, bahkan tak pernah satu kalipun dirujuk dalam
presentasi tersebut.
Menurut laporan akhir tahun 2012
Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP),[17] terobosan UP4B dalam
memperjuangkan pendidikan dan dana pembangunan, khususnya di daerah pegunungan,
belum mampu memacu sinkronisasi kerja di antara instansi terkait, juga terutama
untuk mengontrol implementasinya. Ageda sosial politik untuk membangun
komunikasi di antara masyarakat sipil yang menjadi salah satu peran UP4B masih
belum nampak. Pelaksanaan, pendampingan dan pengawasan terhadap penggunaan
dana-dana mulai dari provinsi hingga ke kampung-kampung belum mampu memperbaiki
kualitas pembangunan bagi masyarakat. Masih terdapat perbedaan yang sangat
besar antara agenda pemerintah dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk
terlibat dalam pembangunan.
MP3EI dilaksanakan dalam semangat
percepatan pertumbuhan ekonomi berlandaskan ketergantungan terhadap investasi
asing, akumulasi berbasiskan industri ekstraktif yang dampak sosial dan
lingkungannya semakin mengkhawatirkan, sekaligus karpet merah untuk para
pemiliki kapital. Sehingga MP3EI pada dasarnya hanyalah daur ulang kebijakan
deregulasi dan akan menjadi sumber bencana di masa depan.[18] Pertumbuhan ekonomi melalui
investasi asing dalam arus neoliberalisme selama lebih dari 3 dekade terakhir
sudah terbukti memanen kegagalan ketimbang keberhasilan di dalam perspektif
mempercepat laju pengurangan kemiskinan.[19]
Sehingga kekhawatiran banyak pihak
bahwa strategi dalam pengamanan investasi akan memperkuat penempatan militer
(TNI/POLRI) dalam jumlah besar, yang sebetulnya pun telah berlangsung selama
ini, sangat beralasan. Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji, mengatakan,
bahwa MP3EI dan UP4B adalah kebijakan soft power yang paling strategis
untuk menjalankan harmonisasi kesejahteraan di Papua dalam koridor NKRI dan
kebangsaan, sambil, tidak melupakan cara-cara hard power untuk
mewaspadai tindakan penggunaan senjata oleh kelompok-kelompok yang tak
bertanggung jawab, karena menurutnya, angkat senjata tak bisa dihadapi dengan
doa. Angkat senjata harus dihadapi dengan senjata, apalagi Indonesia juga punya
kekuatan.[20]
Sulit untuk tiba pada kesimpulan
lain, berdasarkan semua fakta pelanggaran HAM sipil dan politik serta ekonomi,
sosial dan budaya yang terus berlangsung sebagaimana digambarkan di atas,
selain memang terjadi penyingkiran yang sistematis terhadap rakyat Papua.
Berbagai kebijakan yang menghamburkan uang seperti disengaja membuat situasi bertambah
buruk melalui peningkatan korupsi birokratik di seluruh jajaran pemerintahan.[21] Sejak Orde Baru berkuasa
dengan fokus kebijakan dan pendekatan yang lebih seragam dan represif,
Indonesia sudah gagal mengintegrasikan Papua. Secara politik pemerintah pasca
reformasi juga gagal menunjukkan komitmen yang lebih beradab untuk meraih
kepercayaan rakyat Papua. Terobosan yang dilakukan Gus Dur kandas,di tangan
para elit yang konservatif. Sejak awal aspirasi mayoritas rakyat Papua berbeda
dengan apa yang diberikan Jakarta.
Aspirasi itu dilandasi oleh apa yang
disebut para aktivis hak azasi manusia di Papua sebagai Memoria Passionis
atau Ingatan Penderitaan. Memoria Passionis adalah kenangan akan trauma
akibat marjinalisasi sosial dan ekonomi secara umum, pengingkaran terhadap
harga diri yang sering dilakukan, dan kadang-kadang teror secara terbuka. Memoria
Passionis mulai diekspresikan sebagai sejarah penderitaan orang-orang Papua
dan disampaikan ke Jakarta ketika sebuah tim yang terdiri dari 100 pemimpin
(Tim 100) dari seluruh penjuru Papua mengajukan tuntutan akan kemerdekaan
terhadap Presiden Habibie pada 26 Februari 1999[22].
Papua Dijajah Dua Kali
Persoalan Papua bersifat sistemik.
Terdapat penindasan kebangsaan sekaligus eksploitasi kapital. Gugatan Papua
terhadap status politiknya sekaligus adalah gugatan pada orang Indonesia
terhadap sejarah politiknya sendiri. Sengketa politik Papua sangat erat
kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah itu. Kontrol terhadap
Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada di hadapan kita saat ini.
Pada 1935, NNGPM (the Nederlandsche
Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua
(Vogel Kop Birds Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Kemudian
ditemukannya mineral ore di Ertsberg tahun 1936 menjadi awal dari bencana
kemanusiaan di Papua masa kini. Perlu diingat bahwa Papua tidak serta merta
menjadi bagian Indonesia setelah kemerdekaan de facto pada
1945 seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi bagian
dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia pada 1928. Belanda
mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949, dan
memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama kalinya
bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.
Erstberg yang sempat terbengkalai
selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah diketemukan juga cadangan
emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika
Serikat turut mengambil kesempatan secara langsung bekerjasama dengan Soeharto
untuk menyelidiki Erstberg. Dalam situasi demikian New York Agreement 15
Agustus 1962 dilahirkan, dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat itu
West New Guinea) pada Indonesia.[23] Hasilnya integrasi Papua ke
Indonesia, di bawah todongan senjata, melalui apa yang dianggap sebagai jajak
pendapat rakyat (Pepera) 1969, hanya diikuti sekitar 1024 orang Papua dewasa
dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat itu.
Kita ingat dua tahun sebelum Pepera,
justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport mendapat berkah kontrak
eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam konteks politik Indonesia, peristiwa
ini dapat terjadi setelah Suharto Orde Baru berhasil menjadi pemenang dari
malapetaka pembantaian tak kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi
sumberdaya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian
Indonesia secara hukum?
Dalam semua bisnis ekonomi keruk
inilah, sejak potensinya ditemukan tahun 1936 di areal wilayah yang kini
menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan diabaikan.
Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika Serikat, Belanda dan Inggrislah
pemain-pemainnya, sementara di saat yang sama wilayah-wilayah lain Indonesia
juga menjadi permainan ekonomi keruk negara-negara itu juga.
Pepera adalah tonggak dimulainya
penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua. Tak kurang dari
100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan
gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa.[24] Di antara operasi militer
terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi
Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977),
Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi
Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer
(1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.
Dalam latar semacam itulah ekplorasi
ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal
dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri
bersaing memperebutkan kontrol sumber alam Papua. Dan hasilnya, menurut laporan
Forest Watch Indonesia, dari 79,62% tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009,
38,72% telah mengalami deforestasi terbesar dari semua wilayah.
Grasberg milik PT FI adalah tambang
emas terbesar di dunia. Manurut laporan tahun 2010, keuntungan yang didapat PT
FI sebesar Rp. 4000 trilyun. Terakhir eksploitasi tambang ini sedang dalam
pembicaraan untuk diperpanjang lagi hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa
beroperasi, total kontribusi (royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang
dibayar FI pada pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 milyar USD.[25] Sementara gaji karyawan hanya
berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti, kepala komunikasi korporat PT
FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg pada tahun produksi 2013 ditargetkan
naik 39,2% menjadi 1,2 juta ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara
produksi tembaga 2013 dipatok meningkat menjadi 58,5% menjadi 1,1 milyar pound
dibanding sebelumnya 694 juta pound. Apakah artinya penjelasan seperti ini?
Berbicara tentang Freeport, bahkan juga
tentang seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalam roadmap MP3EI,
tak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah, setting sosial budaya dan
ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu,
tak dapat dibiarkan pembicaraan terkait ekonomi ekstraktif ini menjadi sekadar
kalkulasi dan bagi-keuntungan demi pertumbuhan ekonomi belaka. Jelaslah bahwa
sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, dan kontrol
terhadap tanah dan alam orang-orang Amugme dan Kamoro, menghancurkan ekonomi
dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus
tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh
invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang
diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan
besar-besaran penduduk dari Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orde Baru.
Di tahun 1990an di sekitar area
tersebut populasinya membludak menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat
Timika menjadi zona ekonomi yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara.[26] Satu persen royalti untuk
masyarakat asli Papua yang diberikan PT FI pada kenyataannya hanya kembang gula
yang tidak jelas juntrungnya, dan pada prakteknya justru ditujukan untuk
memecah belah orang-orang Papua sendiri.
Elit yang (di)Rusak
Otonomi Khusus dan pemekaran adalah
penyumbang besar hancurnya mental para elit politik Papua, disamping fondasi
untuk tumbuh menjadi elit politik modern pun tak pernah bisa berkembang di masa
Orde Baru akibat persaingan dengan orang-orang yang didatangkan (Amber atau
pendatang). Dana-dana Otonomi Khusus yang dikorupsi oleh para elit diberbagai
jajaran birokrasi, pertarungan primordial para calon kepala daerah dan
pendukungnya menjelang dan ketika pilkada berlangsung, gaya hidup pesta dan
seks, adalah citra yang diketahui umum dan semakin biasa dikalangan para elite
yang malas tau dan lebih suka bersantai di kota-kota, apalagi ke
Jakarta.
Padahal UU Otsus sebetulnya juga
dapat memberi jembatan bagi elit-elit asli Papua untuk berkonsolidasi karena
kebijakan afirmatif yang mengijinkan pengutamaan orang Papua di birokrasi
pemerintah. Namun, terdapat masalah karena proses Papuanisasi yang cepat sejak
1998 tidak menyediakan persiapan untuk masa transisi. Akibatnya penerimaan
pegawai, dan pengambilalihan jabatan, sebagiannya mengabaikan aturan
kepegawaian, jenjang karir dan golongan, terutama kompetensi.[27] Disinilah cikal bakal
keterpisahan yang semakin dalam antara para elit dan mayoritas orang Papua
(rakyat kebanyakan).
Persoalan menjadi
bertambah runyam
oleh percepatan pemekaran yang diinstruksikan oleh Presiden Megawati
lewat
dekrit pada 23 Januari 2003, yang mengabaikan mandat UU Otsus tentang
syarat
pemekaran mesti melalui pertimbangan MRP dan persetujuan DPRP, membentuk
dua provinsi baru (Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah), tiga
kabupaten baru
(Paniai, Mimika, dan Puncak Jaya), dan satu kotamadya (Sorong). Dan
ternyata,
gagasan ini bukan barang baru, karena di tahun 1999 gubernur (Freddy
Numberi)
dan tiga wakil gubernur Papua waktu itu (John Djopari, Herman Monim,
Abraham
Atururi) sudah mengusulkannya, dan mereka dijanjikan akan menjadi
gubernur di
masing-masing calon provinsi pemekaran. Tapi janji itu tak ditepati yang
membuat beberapa diantara mereka frustasi.[28]
Motif pemekaran selanjutnya, menurut
International Crisis Group, adalah misi Badan Intelijen Negara (BIN) yang
didorong oleh orang Papua sendiri, Jimie Ijie. Ia mengatakan, Papua yang secara
administratif tidak dipisah-pisah akan memupuk nasionalisme Papua. Ia bersama
315 orang Papua kemudian mendukung Ataruri merundingkan masalah tersebut dengan
BIN dan Departemen Dalam Negeri. Selain itu, bagi militer negara, pembentukan
provinsi dan kabupaten baru akan mensyaratkan peningkatan jumlah pasukan, Korem,
juga Kodim.[29]
Pemekaran kemudian menyuburkan
politik elit primordial yang berdampak adu domba antar rakyat. Bagi sebagian
elite Papua, Otsus dan pemekaran diinterpretasikan sebagai keleluasaan untuk
menentukan nasib sendiri atas dasar sentimen etnis. Partai politik nasional
hanya kendaraan taktis saja, walaupun tidak bisa melepaskan dari kepentingan
strategis partai-partai nasional tersebut. Penetapan Gubernur dan Wakil
Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati di Papua harus berasal dari warga
keturunan Papua asli membuat putra-putra daerah tampil mau menjadi pemimpin,
baik sebagai bupati, legislatif, maupun kepala-kepala dinas. Mobilisasi massa
yang dilakukan oleh elite lokal sering terjadi dengan menggunakan politik
etnosentrisme[30].
Muridan Widjojo, dalam satu
percakapan pribadi tertulis, mengatakan bahwa elit Papua berada pada tahap
obsesi kekuasaan tradisional kepala suku, dan konstituen primodialnya yang
dimainkan dalam arena demokrasi. Hasilnya, bupati berperilaku bukan sebagai
pejabat negara yang demokratis tetapi sebagai kepala suku yang menguras sumber
daya negara (kabupaten/kota/provinsi) untuk menjaga loyalitas konstituen
primordialnya. Anggaran negara dilihat sebagai sumber keuangan yang tiada
habis, seperti alam Papua yang menyediakan sagu dan binatang buruan tiada
habisnya.
Lukas Enembe, Gubernur terpilih Provinsi
Papua, dari Partai Demokrat, adalah contoh paling gres dari oportunisme. Ia dan
jajarannya mengajukan Otonomi Plus (Mei 2013), yang tidak berbasiskan evaluasi
apapuan terhadap Otonomi Khusus maupuan UP4B. Proposal yang paling mengemuka
adalah prosentase pengelolaan dana yang lebih besar bagi daerah, tanpa punya
kesimpulan kemana saja trilyunan dana Otsus selama ini mengalir, serta janji grasi
bagi para Tapolpadahal sudah pernah diiming-imingi SBY bertahun-tahun lalu,
namun sudah ditolak oleh para Tapolyang sampai saat ini belum satu suarapun
keluar dari pihak pemerintah. Di saat yang sama, banyak orang-orang Papua yang
juga mempercayai Enembe karena ia pandai memainkan sentimen dan harapan orang
Papua terhadap kemerdekaan. Begitu ia dilantik ia mengatakan, tidak perlu ada
dialog, karena saya ada hubungan telepon langsung dengan kelompok TPN/OPM. Ia
juga mengatakan, dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 1945 SBY punya
hadiah khusus.[31]
Momen-momen ini telah dan sedang
mencipatakan kekecewaan mendalam rakyat Papua sekaligus ketidakpercayaan yang
memang sudah tersebar luas terhadap orang-orang Papua (khususnya para
legislator) yang masuk jalur formal dan terkena virus Indonesia.[32] Disinilah peran penting
elemen-elemen pemuda-mahasiswa progresif yang tumbuh seiring, maupun pasca, Papuan
Spring (momen ketika tim 100 mendatangai Habibie hingga Kongres II Rakyat
Papua tahun 2000). Elemen-elemen muda ini tidak terkait atau sedang membuat
jarak dengan para elit yang terkena virus (elit) Indonesia itu. Sebagain dari
mereka besar bersama dan mendapat insipirasi dari perjuangan teman-teman
Indonesia mereka dan teman-teman di luar negeri. Mereka bekerja untuk
menegakkan HAM, hak-hak lingkungan, masyarakat adat, dan juga penentuan nasib
sendiri.
Namun demikian, terobosan politik
dan hegemoni politik masih dipegang oleh para elit Papua korup yang dipelihara
oleh elit Indonesia yang tak kalah korupnya.
NKRI Belum Final, Bukan Harga-Mati!
Pelanggaran HAM terhadap orang asli
Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan,
pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa,
penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengancaman, serta
penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di
perwakilan, penghancuran sumber-sumber kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak
kebudayaan dan spiritualitas lokal, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas
masyarakat.
Sebagian besar dari kejahatan ini
termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan merupakan produk dari operasi
pertambangan PT Freeport. Dan kejahatan lainnya seperti kekerasan adalah hasil
dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat Papua. Saat ini tak
satupun data bisa dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara
Indonesia yang ditempatkan di Papua. Yang pasti tentara organik dan non organik
bertambah, pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah,[33] orang-orang yang dibunuh,
dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan berkumpul, juga
bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah dipenjarakan karena sikap
politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi setidaknya 30 orang ditangkap dan
dibui sebagai tahanan politik.[34] Hingga saat ini, 22 orang
sudah ditahan atas tuduhan makar, 3 orang dibebaskan, dan 7 lainnya belum
diketahui statusnya.[35] Reformasi yang sudah
berlangsung 15 tahun di Indonesia, sama sekali tidak berlaku di Papua.
Dari berbagai fakta ini, tidak ada
kerugian sebetulnya jika kita mengakui bahwa NKRI sama sekali belum selesai.
Lima puluh tahun Papua bersama Indonesia, yang sudah mengorbankan ratusan ribu
nyawa, bahkan beberapa suku/marga yang dimusnahkan karena terkait Organisasi
Papua Merdeka,[36] stigmatisasi separatis pada
semua yang melawan pemerintah Jakarta, tidak juga bisa menghentikan suara-suara
yang menuntut penentuan nasib sendiri. Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang
turut menjadi bagian tim penyusunan Road Map Papua, pun sudah
mengakuinya: NKRI belum final ditinjau dari kompleksitas masalah Papua.[37]
Dari sudut pandang perjuangan
demokrasi Indonesia, turunnya Soeharto sekaligus juga bermakna menilai kembali
ke-Indonesiaan kita yang sejak 1965-1966 hingga 1998 dipelihara melalui rasa
takut, anti perbedaan, anti-ideologi, militerisme, anti separatisme, bahkan
anti-politik. Papua adalah bintang kejora di ujung Timur yang justru akan
mengubah perspektif kita atas bangsa Indonesia yang kita kenal melalui versi
Orde Baru. Memperjuangkan masa depan Papua menghendaki keadilan dalam melihat
sejarah, menyingkirkan prasangka-prasangka ras yang mungkin dihidupkan dalam
pikiran kita. Dan satu gerakan solidaritas dari orang-orang Indonesia yang
mencintai kemanusiaan Papua adalah langkah penting untuk memulai proses itu.
Pembangunan gerakan Solidaritas Aceh-Papua di masa 2003-2004[38] adalah sebuah contoh yang
baik, yang semestinya dapat dilakukan lagi.
Namun kesulitan utama yang sedang
menghadang saat ini adalah kembalinya militerisme ke atas panggung politik
Indonesia. Semakin meredupnya solusi dialog Jakarta-Papua dalam kerangka Papua
damai yang diusung Jaringan Damai Papua (JDP) adalah konsekuensi dari
ketidakberdayaan semua elite sipil Indonesia era reformasi terhadap politik
militer, termasuk sebagian aktivis mahasiswa 1998, sehingga bangkitnya kembali
para Jenderal Orde Baru.
***
(Tulisan ini
direncanakan terbit pada 15 tahun reformasi, Mei 2013, sebagai bagian dari buku
15 tahun reformasi yang diterbitkan oleh Public Virtue Institute (PVI).
Zely Ariane adalah Koordinator Umum
National Papua Solidarity (NAPAS).
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar