Pages

Pages

Rabu, 29 Januari 2014

Rakyat Papua: Mengritisi kesempitan Berpikir Negara Indonesia (membongkar paradigma keliru)

Yustinus G. Ukago
Oleh: Yustinus G. Ukago
 
Kita hidup dalam dunia yang telah disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi merusaknya.

Politik 

Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.

Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik sebelumnya.

Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan.

Pendidikan

Dunia pendidikan pun mengalami penyempitan. Pendidikan disempitkan menjadi semata-mata latihan untuk berhasil dalam tes. Murid dibombardir dengan latihan tes terus menerus, terutama menjelang UNAS. Metode menghafal dan memuntahkan kembali menjadi yang utama, dan, sejalan dengan itu, membunuh kreativitas dan orisinalitas berpikir anak.

Pendidikan juga disempitkan menjadi semata-mata mengulang apa yang dikatakan oleh guru. Dalam arti ini, menurut saya, pendidikan telah berubah menjadi perbudakan pikiran. Pikiran yang kreatif dan orisinil dianggap pemberontak, maka harus didisplinkan dan dihukum. Pada akhirnya, anak-anak menjadi robot yang patuh, tanpa kemampuan kritis dan kreativitas berpikir.

Padahal sejatinya, pendidikan adalah pembebasan anak dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan juga adalah proses penyadaran anak atas situasi sekitarnya, dan mengajaknya untuk mengambil sikap yang tepat atas berbagai situasi itu. Dalam arti ini, pendidikan adalah pembentukan proses berpikir manusia untuk secara cerdas dan tepat menanggapi situasi kehidupannya. Pemahaman inilah yang terlupakan dari dunia pendidikan kita.

Bisnis dan Ekonomi

Bidang bisnis juga mengalami penyempitan yang sama. Bisnis semata-mata disempitkan menjadi proses untuk mengumpulkan keuntungan semata, jika perlu dengan cara-cara yang tidak baik. Padahal, bisnis adalah soal tata kelola untuk menciptakan produk-produk yang bermutu, maupun pelayanan-pelayanan yang baik kepada masyarakat. Di dalam bisnis, keuntungan adalah akibat logis dari mutu, dan bukan tujuan utama.

Ekonomi juga disempitkan menjadi pengamatan pada data statistik semata, yang seringkali berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan. Sejatinya, ekonomi juga adalah soal tata kelola perdagangan dan transaksi barang, uang, dan jasa di dalam masyarakat, supaya bisa menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Dalam hal ini, data statistik adalah alat bantu analisis masalah dan pembuatan kebijakan. Yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah kenyataan di lapangan, terkait dengan pemerataan kekayaan bagi seluruh rakyat. Ini semua tidak terjadi, ketika orang hanya terpaku pada data statistik yang seringkali dibuat dengan penyimpangan-penyimpangan metodologis, demi alasan efisiensi dan efektivitas.

Agama, Seni, dan Kepemimpinan

Agama di Indonesia pun juga mengalami penyempitan menjadi semata-mata kumpulan aturan, larangan, dan ritual semata. Agama kehilangan spiritualitasnya yang justru menjadi lambang kesucian dan hubungan manusia dengan yang transenden itu sendiri.

Kepemimpinan di berbagai bidang pun disempitkan menjadi semata-mata soal kerapihan administrasi. Kemampuan pemimpin untuk memotivasi dan memberikan inspirasi ke arah tujuan-tujuan yang baik telah hilang, dan digantikan dengan semata-mata dengan soal pemberian tanda tangan, dan kerapihan dokumen semata.

Seni pun disempitkan semata menjadi pemuas selera pasar dan konsumen. Seni sebagai ekspresi otentik dari penghayatan diri atas peristiwa-peristiwa kehidupan sudah nyaris tak terdengar. Di sisi lain, penelitian ilmiah yang sejatinya untuk mengungkap kebenaran dan menemukan pengetahuan di berbagai bidang kini disempitkan semata sebagai pemburuan hibah dari pemerintah, ataupun sekedar untuk penambah poin untuk peningkatan karir dosen.

Matinya Akal Sehat 

Ini semua adalah tanda-tanda dari apa yang disebut Dahlan Iskan sebagai pembunuhan akal sehat. Artinya, akal sehat kita tahu, bahwa ada yang salah. Namun, karena kita merasa tak berdaya untuk memperbaiki kesalahan, maka kita pun beradaptasi. Akal sehat kita melemah, dan kini telah menyesuaikan dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Hannah Arendt menyebutnya sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang “biasa-biasa saja”.

Dalam konteks ini, kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir progresif, yakni orang-orang yang berani menggugat dan mempertanyakan segala sesuatu yang ada, menemukan kelemahan di dalamnya, dan berjuang untuk menambal kelemahan-kelemahan itu, atau mengubah seluruh tatanan yang ada, supaya lebih baik untuk semua orang. Sayang, di tengah dunia yang semakin global ini, kehadiran orang-orang progresif justru disalahpahami sebagai pemberontak, penyebar ajaran sesat, atau orang-orang yang “bikin susah”. Sayang memang….


Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya  Mandala  Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar