Siswa SMA YPPK Adhi Luhur Nabire, saat Fastival Budaya pada 2 November 2013. Foto: Dok. MS. |
Oleh, Maria Ferawati Magai *)
Budayaku, budayamu, budaya bangsa
Papua saat ini, sudah terlihat mulai luntur dan terancam punah oleh efek kebudayaan luar yang datang melalui berbagai saluran.
Begitu mudahnya kami menerima semua hal
yang masuk dari luar tanpa menyaringnya. Budaya dari luar kini mulai menggantikan
posisi budaya atau tradisi yang telah lama mendiami tanahku Papua.
Bagaimana nasib budayaku, jika saat ini
kita tidak melestarikannya? Siapa yang mau mengakui dan melestarikannya?
Salah contohnya yaitu, bahasa daerah. Bahasa
daerah merupakan bahasa yang seharusnya diturunkan secara turun-temurun, namun adakah
kini orang tua yang mau berbicara dan mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya?
Sayang sekali, lama-kelamaan dengan berjalannya waktu bahasa daerah ini bisa saja
tidak diketahui oleh anak cucu kita.
Maka itu, sangat penting untuk kita belajar
bahasa daerah.Kita bisa belajar dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Apa salahnya
kita berbicara bahasa daerah? Jika bukan sekarang kita belajar, kapan lagi? Dan
jika kita tidak mengetahui bahasa daerah, bagaimana kita mau mengajari anak dan
cucu kita ke depannya?
Kita lihat saja, kini banyak anak-anak
yang sekolah di luar Papua, mengharuskan mereka untuk beradaptasi dengan budaya
yang ada di sekitar itu. Baik dari cara berpakaian, bahasa, makanan dan yang
lainnya. Tentunya, kita harus menyesuaikan diri dengan semua budaya ini.
Namun, satu hal yang harus kita ingat,
janganlah kita melupakan identitas kita sebagai bangsa Papua, rumpun Melanesia
yang masih dalam penjajahan. Dominasi dalam nuansa
penjajahan begitu kentara, antara lain dengan kurikulum pendidikan yang Jawasentris,
yang mengabaikan kearifan budaya lokal milik kita.
Pikir saja. Bahasa di sekolah, di semua
tempat umum, kita gunakan bahasa Indonesia baku. Sejarah, kita tidak pernah
belajar sejarah Papua. Kearifan lokal, seperti tarian adat, nyanyian adat,
cerita rakyat, falsafah hidup dari nenek moyang kita, semua diabaikan di dalam
kurikulum Indonesia yang Papua pakai saat ini.
Begitu banyak budaya dan tradisi yang
ada di Papua, kini mulai pudar dan lama-kelamaan bisa punah, jika terus terkena
sentuhan dari luar, yang datang dari berbagai aspek dan sisi, yang bisa menghilangkan
keutuhan budaya tersebut.
Untuk terus melestarikan budaya dan tradisi
ini merupakan tugas saya dan anda yang menyadari diri sebagai rumpun Melanesia
yang masih dijajah dalam segala lini.
Salah satu cara efektif adalah dengan
membuat kurikulum pendidikan berkonteks Papua, di mana keragaman budaya Papua
diangkat menjadi pelajaran tetap di dalam pendidikan di Papua.
Melestarikan budaya ini bukan hanya tugas
dan kewajiban masyarakat, ada baiknya jika pemerintah juga ikut terlibat dalam hal
ini. Misalnya saja, dengan cara diadakannya ivent-ivent
yang berbau culture Papua,
seperti Festival Budaya, Festival Tari Papua, atau apa pun namanya.
Ini mesti dibuat dengan harapan, terus lestarinya
budaya Papua yang kini mulai pudar, bahkan ke depannya semua itu terancam
punah.
Ayo, kawan, kita tunjukan kepada dunia bahwa
kita berbeda dari mereka, kita juga satu bangsa, bangsa Papua, dari rumpun
Melanesia di Pasifik yang hidup di tanah air Papua dengan terus mempertahankan budaya
kita yang adalah penanda untuk menunjukkan siapa kita.
Maria Ferawati Magai, mahasiswi
Papua, kuliah di banda Aceh.
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar