Pages

Pages

Jumat, 13 Desember 2013

Kriminalisasi Ruang Demokrasi dan Matinya Nilai-nilai Kemanusiaan di Tanah Papua

lustrasi. SumberL Umaginews.com.
SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA

(SKP HAM- PAPUA), yang terdiri dari BUK, Garda-Papua, KontraS Papua, Elsham Papua, GMKI Cabang Kota Jayapura, NAPAS, AMPTPI, dan Parjal

Sejarah kelam Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua banyak menelan korban jiwa dan tidak menjadi catatan penting oleh Negara/Pemerintah untuk merubah semua kebijakan dalam menegakkan HAM. Justru kebijakan penghilangan nyawa dan melakukan tindakan sewenang-wenang menjadi solusi dalam menjawab semua aspirasi keadilan.

Label separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Kelompok sipil bersenjata (KSB) menjadi pembenaran oleh Negara untuk melakukan tindakan represif dan tidak menghargai hukum dan Hak Asasi Manusia. Separatis adalah kata kunci yang digunakan oleh Militer (TNI/POLRI) untuk membungkam bahkan menghilangkan nyawa manusia di tanah Papua.

Perubahan politik yang terjadi di Indonesia dengan berbagai konsekuensinya belum dapat dipahami oleh penguasa dan lebih khusus aparat Kepolisian yang bertugas di Papua, sebagai sesuatu yang natural. Masyarakat Papua dalam memperjuangkan hak-haknya wujud dari demokrasi.

Kebebasan berekpresi (Freedom of expression) yang selayaknya berjalan secara alamiah tidak seharusnya tekanan yang begitu kuat dari aparat TNI dan Polri hingga mengakibatkan pola pendekatan terhadap masyarakat menjadi refresif.

Situasi ini teruang kembali di akhir tahun 2013 ini, seperti yang sudah terjadi pada 6 November 2013, bertempat Kantor MRP.

Demo damai Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua (GEMPAR), di kantor Majelis Rakyat Papua (MRP). Inti dari aksi demo Gempar adalah Menolak Otsus plus yang bergulir di Papua. Dalam perjalananya 15 Mahasiswa ditangkap. Pada 11 November 2013, 4 orang Mahasiswa dari 16 yang ditangkap menjadikan tersangka.

Pada 25 November 2013, pukul 13;30 WP bertempat di Kampus Uncen bawa 16 aktivis KNPB yang hendak membagi selebaran ditangkap dan sita sejumlah selebaran oleh Kapolresta Jayapura.

Rencana aksi pada 26 November 2013, dengan titik aksi di Taman Imbi Jayapura, sebab di depan Taman Budaya Expo Waena hanya sebagai titik kumpul untuk persian ke Taman Imbi Jayapura. 

Karena awalnya aparat Kepolisian baik yang organik maupun non organik lengkap dengan senjata api serta sejumlah peralatan seperti 2 unit Mobil Watercanont, 10 Unit Truk Dalmas menempati di halaman kantor Taman Budaya Expo Waena dan Perumnas III Waena situasi siaga satu oleh kukuatan aparat Kepolisian yang terkesan dalam situasi perang antar negara.

Sesuai fakta di lapangan, massa KNPB tidak melakukan demo di Expo Waena, karena rencana aksi adalah di Taman Imbi Jayapura.

Kekuatan aparat Kepolisian yang sangat represif dan memancing massa yang hendak menuju ke Lampu Merah Waena untuk persiapan ke Abepura-Jayapura. Sampai di depan Supermarket Mega Waena terjadilah rusuh dan warga lain yang tidak tahu masalah jadi korban baik fisik dan nonfisik. (9 orang korban luka-luka dilarikan ke Rumah Sakit Dian Harapan Waena), 1 orang dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura.

Sebanyak 28 orang ditangkap sewenang-wenang dan disiksa dibawa ke Polresta Jayapura.

Tindakan aparat Kepolisian di lapangan:

Kriminalisasi hukum dan Ruang Demokrasi di Papua ditutup. Massa pendemo belum melakukan aksi, aparat kepolisian lebih dulu menguasai sejumlah titik: Abepura, Perumnas III Waena, Taman Budaya Expo Waena dan sejumlah tempat. Represif Aparat Kepolisian dilengkapi dengan senjata api, 2 unit mobil Watercanon, 10 unit Truck Dalmas. Penangkapan dan penyiksaan sewenang-wenang, terhadap 28 orang pendemo.

Penggerebekan dan pengrusakan Rumah Warga (Andro Pahabol, salah satu anggota DPRD Kabupaten Yahukimo). Penangkapan sewenang-wenang terhadap 16 anggota KNPB pada saat pembagian selebaran.

Teror, intimidasi dan pengambilan memori kamera terhadap sejumlah Wartawan dan aktivis yang hendak meliput di lapangan. Setelah terjadi rusuh situasi dan aktivitas di Expo Waena tegang. KNPB dan aktivis lainya diteror, intimidasi dan masuk dalam DPO karena dianggap melakukan kriminal.

Atas nama negara hukum dan demokrasi nilai-nilai Kemanusiaan di Papua dimatikan. Saatnya aparat Kepolisian bekerja sesuai tugas dan fungsi untuk menjaga keamanan, jika tidak dunia sedang memantau situasi refresif aparat Kepolisian di Papua.

Kami juga menghimbau kepada:
 1.               Semua komponen pro demokrasi di Papua (NGO, Pemuda, Perempuan, Mahasiswa) untuk bersatu dalam konsolidasi bersama untuk mengusut semua kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
2.               Tokoh-tokoh Agama untuk memberikan seruan Perdamaian dan terlibat aktif dalam memfasilitasi segala konflik yang terjadi di Tanah Papua.
3.               Seluruh Gerakan Solidaritas di Indonesia dan internasional untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan semua persoalan HAM di Tanah Papua.
Dengan demikian, yang menjadi sikap kami untuk menyikapi situasi saat ini sebagai berikut:
 1.   Komnas HAM RI segera membentuk Tim untuk investigasi secara menyeluruh terhadap matinya Demokrasi di Papua.
2.   Kapolda Papua dan Kapolresta Jayapura, segera membuka ruang demokrasi di Papua dan stop mengkriminalisasi hukum dan demokrasi di Tanah Papua.
3.   Mendesak kepada Gubernur Papua, DPRP dan MRP segera membuka ruang Dialog antar Kepolisian dan semua komponen Masyarakat Papua.
4.   Hentikan segala kriminalisasi terhadap aktivis pro demokratisasi.
5.   Hentikan semua konflik horisontal antar sesama rakyat sipil yang berimbas pada konflik Suku, Agama dan Ras (SARA).

Jayapura, 4 Desember 2013

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKP HAM PAPUA)

Peneas Lokbere
Koordinator Umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar