Pages

Pages

Senin, 18 November 2013

Gereja Menyuarakan Suara Kenabiaan

Oleh : Dumma Socratez Sofyan Yoman

“Selama ini kebanyakan orang, terutama, Pemerintah, TNI dan POLRI yang berada di Tanah Papua ini belum memahami peran, tugas, fungsi dan tanggungjawab Gereja di Papua Barat. Mengapa? Karena, ketika Gereja menyuarakan suara kenabiaan bagi perlindungan dan kenyamanan bagi Umat yang tertindas dengan pandangan kritis dan bertanggungjawab, Pemerintah, terutama TNI dan POLRI menilai sebagai Gereja atau orang yang melawan Pemerintah. Bahkan secara ekstrim, orang-orang di Gereja dinilai sebagai pendukung OPM, Separatis. Misi Gereja di Tanah Papua ini sejak 5 Februari 1855 sangat jelas, yaitu memberitakan Amanat Agung Yesus Kristus, Injil Yesus Kristus sebagai kekuatan Allah, berita kedamaian (peace), berita keadilan (justice), berita kesamaan derajat (equal), dan hak asasi manusia (human right) dan martabat manusia (human dignity). 

Sedangkan misi Pemerintah Indonesia di Tanah Papua adalah kepentingan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Malanesia dengan “slogan hampa” seperti rakyat Papua adalah saudara-saudara kami sesama bangsa Indonesia. Tetapi, kenyataannya, sangat kontroversial dengan misi Gereja, yaitu kucurigaan, penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, penculikan dan pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap umat Tuhan dengan stigma anggota OPM, separatis dan pembuat makar.


Perbedaan besar dan jurang yang belum bisa terjembatani antara Misi Gereja dan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua ialah Gereja mempunyai komitmen, sumpah janji dan setia kepada Tuhan, Firman-Nya dan menggembalakan umat manusia sesuai dengan Amanat Agung Yesus Kristtus. Sementara, di pihak Pemerintah mempunyai komitmen, sumpah janji dan setia pada Pancasila, UUD 45 dan sekarang lebih kren ialah setia pada NKRI. Dalam perbedaan ini, Pemerintah, terutama TNI dan POLRI selalu berusaha untuk memaksakan Gereja harus tunduk pada Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Pandangan dan pemaksaan seperti ini yang tidak benar. Karena, Gereja secara institusi dan Gereja sebagai tubuh Kristus, tidak pernah bersumpah janji dan setia pada Pancasila dan UU 45 dan NKRI.

Perbedaan mendasar dalam misi, tugas, tanggungjawab serta komitmen Gereja ini penting dan harus dipahami oleh Pemerintah Indonesia , TNI dan POLRI. Sejauh Pemerintah, TNI dan POLRI tidak memahami peran Gereja, pasti saja pemimpin Gereja yang berpandangan kritis selalu dinilai oposisi Pemerintah, TNI dan POLRI. 

Selain perbedaan komitmen, misi, tugas dan tanggungjawab Gereja dan Pemerintah di atas, masalah lain yang selama ini merong-rong eksistensi dan martabat umat Tuhan di Tanah Papua ialah perbedaan penafsiran sejarah diintegrasikannya rakyat Papua dan tanah Papua ke dalam Indonesia . Pemerintah Indonesia, TNI dan POLRI selalu mengkleim bahwa masalah Papua Barat sudah final melalui Act of Free Choice 1969 (PEPERA 1969) dan mendapat legalitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sementara dipihak rakyat dan Bangsa Papua Barat ini menyadari dan mengetahui bahwa peristiwa dan sejarah Act of Free Choice 1969 (PEPERA 1969) adalah cacat moral dan cacar hukum serta tidak demokratis. Karena, itu rakyat dan Bangsa Papua Barat ini selalu melakukan perlawanan dan penolakan dengan berbagai bentuk. Karena, perbedaan yang tajam ini, umat Tuhan di Tanah Papua terus menjadi korban di tangan Pemerintah Indonesia melalui kekuatan TNI, POLRI dan berbagai produk hukum yang menindas umat Tuhan.

Ada dua perbedaan, antara tugas dan komitmen Gereja di Tanah Papua dan Pemerintah Indonesia , TNI dan POLRI dan perbedaan ideologi dan penafsiran sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam Indonesia . Perbedaan tugas dan komitmen Gereja dan Pemerintah sulit bertemu, tetapi perbedaan ideologi dan penafsiran sejarah diintegrasikannya Tanah Papua ke dalam Indonesia bisa diselesaikan dengan jalur dialog dan komunikasi yang adil dan jujur. Yang perlu dipahami oleh Pemerintah, TNI, dan POLRI dan semua orang Melayu di Tanah Papua ini ialah yang diintegrasikan ke dalam Indonesia adalah integrasi ekonomi, politik dan keamanan, bukan manusia Papua. 

Dari perbedaan pendapat antara orang Papua Barat dan pemerintah Indonesia sudah dijembatani melalui penyelesaian yang berprospek damai, bernartabat dan manusiawi, yaitu UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Tetapi, kenyataanya tentang kelangsungan hidup dan masa depan orang asli Papua dalam era Otonomi Khusus sangat memprihatinkan dan ancaman serius. Karena, Pemerintah Indonesia masih bersandiwara dengan memmberikan Undang-Undang Otsusnya, tetapi semua kewenangan masih di tahan di Pemerintah Pusat. Peristiwa lain yang ada di depan mata kita ialah penduduk migran (pendatang) meningkat tajam melebihi orang asli Papua. Sedangkan dibidang keamanan, peningkatan dan penambahan anggota TNI di tanah Papua secara terbuka maupun tertutup. Berbagai bentuk penyamaran yang sangat menonjol di tengah-tengah masyarakat.

Masalah mendasar lain yang tidak boleh lupa dan diabaikan ialah hilangnya kepercayaan (trust) antara Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua karena keberadaan rakyat Papua ke dalam Indonesia dikelolah dalam ruang rekayasa dan kecurigaan yang berlebihan. Karena, kepercayaan rakyat harus dipulihkan kembali dengan memberikan ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat asli Papua untuk mengembangkan dirinya dalam era Otonomi Khusus ini.

Perlu diingat oleh Pemerintah Indonesia , TNI dan POLRi bahwa Papua tidak bisa dipertahankan dengan kekuatan fisik, TNI dan POLRI. Tetapi, Otonomi Khusus sebagai jalan solusi yang mendamaikan dan penyelesaian menang-menang (win-win solution) ini harus dilaksanakan secara konsisten, konsekwen, jujur dan benar. Artinya, semua pasal UU Ostus dilaksanakan dan Pemerintah Provinsi harus diberikan kewenangan penuh. Atau solusi lain adalah dialog yang adil dan jujur tanpa syarat antara Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang lebih netral.

Harapan dan doa kami supaya pihak Pemerintah, TNI dan POLRI dapat memahami komitmen, tugas, misi dan tanggungjawab Gereja di Tanah Papua Barat sejak 5 Februari 1855 sebelum Indonesia menduduki Papua dan menjajah orang Melanesia di Tanah ini . Gereja dan pemimpin Gereja yang berpandangan kritis tidak dinilai sebagai orang-orang yang berseberangan”.

 “ Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” 

( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar