Pages

Pages

Minggu, 24 November 2013

Bapakmu Dibunuh Karena Bintang Kejora

Bendera Kebangsaan Negara West Papua, Bintang Kejora. Foto: Ist.
Ini tahun 1998. Di rumah reot di bibir belantara itu, Hellena bersama Ibunya hidup. Hellena tak kenal siapa ayahnya. Sejak lahir, Hellena hanya tahu ibu.
"Mama, bapak ada dimana?"

Hellena memberanikan diri bertanya pada suatu senja.
"Hellena, Bapakmu pergi. Pergi ke tempat yang jauh."

Lalu, Hellena diam. Hari berganti hari, menjadikan minggu. Minggu berlalu, menjadikan bulan. Tak terasa, tahun pun berganti. Hellena tetap setia menunggu bapaknya. Di dalam hati yang paling dalam, ia yakin, ayahnya pasti akan kembali. Kembali menggendong dia seperti Santy yang digendong ayahnya kala senja, atau seperti Merry. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang juga.
 
Dua tahun sudah berlalu. Hellena masih memendam harapan akan melihat bapaknya. 

"Mama, bapak dimana?"
Hellena bertanya lagi kepada Ibunya. Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya mentari senja yang kian cepat menuju peraduan.

"Hellena, Bapakmu ada di Gunung, Pantai, Rawa, sungai dan Hutan Papua."
Sejenak Helena duduk berpikir, lalu bertanya lagi.

"Kenapa sampai bapak bisa begitu jauh dari kita? Kenapa Bapak tidak pulang jenguk Hellena?"

Mendengar pertanyaan anaknya ini, air mata sang Ibu tak tertahankan lagi. Mengalir deras bagai air. Air mata yang membuat Hellena, anaknya, diam tanpa kata. Bingung, apa misteri di balik semua ini.

Sambil menggengam erat tangan Hellena, ibunya mulai bercerita.
"Anakku, Bapakmu sudah meninggal. Dia dibunuh oleh malaikat maut perenggut nyawa. Mereka berpakaian loreng. Juga bersepatu laras."
 
Hellena mengelas napas yang panjang. Tak lama setelahnya, air mata bening menggumpal di mata cokelat cantiknya. Perlahan, beberapa butir air bening menggelinding jatuh. Hellena menangis. Semakin lama, air mata begitu deras mengalir. Begitu banyak. Air mata tanpa kata. Menyedihkan!

Hellena beberapa menit menatap mata mamanya, yang terlihat menyimpan segudang kenangan pahit tentang bapaknya. 

Lalu sambil menetes air matanya, karena keingintahuan yang mengebu-gebu tentang kematian bapaknya yang begitu kuat, Hellena kembali bertanya lagi.
"Mama, kenapa Bapak bisa dibunuh?"

Ibu bangkit dari duduk. Ia menuju bilik. Sekembalinya, Ibu menggenggam kain. Warnanya Merah. Di atas merah ada bintang putih. Ada irisan putih dan biru. 

"Ini Bintang Kejora, bendera negeri ini. Bapakmu meninggal dibunuh TNI karena mempertahankan bendera Bintang Kejora ini," kata sang Ibu sambil menunjuk ke bendera Bintang Kejora yang bapaknya tinggalkan, sebelum ia meninggal dibunuh militer.
***
Sang waktu tetap berjalan mengikuti putaran bola bumi. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dan bulan berganti tahun. Tahun 2000, Helena dipilih menjadi penari untuk Konggres Rakyat Papua II.

"Hellena, kamu sudah siap menari diantara banyak orang?" tanya Ibunya yang tampak gusar, anaknya tampil kurang baik di acara itu. Helena terdiam sebentar.

"Saya sudah siap, mama."
Hellena menari bersama teman-teman sangar seni tari dengan membawa perahu yang di depanya bertulisan "Sampari," di hadapan banyak orang Papua.
Hellena menari memegang dan mencium Bintang Kejora. Air matanya langsung menetes di atasnya. Semua ini mengingatkan dia akan Bapaknya. Ia berpikir, bapaknya harus merelakan nyawanya dibunuh, hanya demi mempertahankan Sang Bintang Kejora yang sedang berada dalam genggamannya itu.  

Sekembalinya, ia menangis sendiri di bilik yang konon, kata Ibunya, itu kamar Bapak. Rasa terharu, membawanya mengingat kembali masa-masa silam. Hellena menarik nafas panjang, setelah puas menangis. Ia kemudian mengambil secarik kertas, menggores tangannya dengan pisau hingga berdarah, dan dengan tinta darah, ia menulis di atasnya:

"Wahai Benderaku, aku berjanji kan berjuang. Berjuang sampai Kau, Bintang Kejora, kau berkibar dari Sorong hingga Merauke, di angkasa tanah air Papua Merdeka."
 Oleh, Agustinus Dogomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar