Bendera Kebangsaan Negara West Papua, Bintang Kejora. Foto: Ist. |
Ini tahun
1998. Di rumah reot
di bibir belantara itu, Hellena bersama Ibunya hidup. Hellena tak kenal siapa
ayahnya. Sejak lahir, Hellena hanya tahu ibu.
"Mama,
bapak ada dimana?"
Hellena memberanikan diri
bertanya pada suatu senja.
"Hellena, Bapakmu pergi.
Pergi ke tempat yang jauh."
Lalu, Hellena diam. Hari berganti hari, menjadikan minggu. Minggu berlalu, menjadikan
bulan. Tak terasa, tahun pun berganti. Hellena tetap setia menunggu
bapaknya. Di dalam hati yang paling dalam, ia
yakin, ayahnya pasti akan kembali. Kembali menggendong dia seperti Santy
yang digendong ayahnya kala senja, atau seperti Merry. Namun, yang
ditunggu tidak
kunjung datang juga.
Dua tahun sudah berlalu. Hellena masih memendam harapan akan melihat bapaknya.
"Mama,
bapak dimana?"
Hellena bertanya lagi kepada
Ibunya. Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya mentari senja yang kian
cepat menuju peraduan.
"Hellena, Bapakmu
ada di Gunung, Pantai, Rawa, sungai dan Hutan
Papua."
Sejenak Helena duduk berpikir, lalu bertanya lagi.
"Kenapa
sampai bapak bisa begitu jauh dari kita? Kenapa Bapak tidak pulang jenguk Hellena?"
Mendengar pertanyaan anaknya
ini, air mata sang Ibu tak tertahankan lagi. Mengalir deras bagai air. Air mata
yang membuat Hellena, anaknya, diam tanpa kata. Bingung, apa misteri di balik
semua ini.
Sambil menggengam
erat tangan Hellena, ibunya mulai bercerita.
"Anakku, Bapakmu sudah meninggal. Dia dibunuh
oleh malaikat maut perenggut nyawa. Mereka berpakaian loreng.
Juga bersepatu
laras."
Hellena mengelas napas yang
panjang. Tak lama setelahnya, air mata bening menggumpal
di mata cokelat cantiknya. Perlahan, beberapa butir air bening menggelinding
jatuh. Hellena menangis. Semakin lama, air mata begitu deras mengalir. Begitu
banyak. Air mata tanpa kata. Menyedihkan!
Hellena beberapa menit menatap mata
mamanya, yang terlihat menyimpan segudang kenangan pahit tentang bapaknya.
Lalu sambil menetes air
matanya, karena keingintahuan yang mengebu-gebu tentang kematian bapaknya yang begitu kuat, Hellena kembali bertanya lagi.
"Mama, kenapa
Bapak bisa dibunuh?"
Ibu bangkit dari duduk. Ia menuju
bilik. Sekembalinya, Ibu menggenggam kain. Warnanya Merah. Di atas merah ada bintang putih. Ada irisan putih dan biru.
"Ini Bintang Kejora, bendera
negeri ini. Bapakmu meninggal dibunuh TNI karena mempertahankan bendera Bintang Kejora ini," kata sang Ibu
sambil menunjuk ke bendera Bintang Kejora yang bapaknya tinggalkan, sebelum ia
meninggal dibunuh militer.
***
Sang waktu tetap berjalan
mengikuti putaran bola bumi. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dan
bulan berganti tahun. Tahun 2000, Helena dipilih menjadi penari untuk Konggres
Rakyat Papua II.
"Hellena, kamu sudah siap menari diantara banyak orang?" tanya Ibunya yang tampak gusar, anaknya tampil kurang
baik di acara itu. Helena terdiam sebentar.
"Saya
sudah siap, mama."
Hellena menari bersama
teman-teman sangar seni tari dengan membawa perahu yang di depanya bertulisan "Sampari," di hadapan banyak orang Papua.
Hellena menari memegang dan
mencium Bintang Kejora. Air matanya langsung menetes di atasnya. Semua ini mengingatkan dia akan Bapaknya.
Ia berpikir, bapaknya harus merelakan nyawanya dibunuh, hanya demi mempertahankan Sang Bintang
Kejora yang sedang berada dalam genggamannya itu.
Sekembalinya, ia menangis
sendiri di bilik yang konon, kata Ibunya, itu kamar Bapak. Rasa
terharu, membawanya
mengingat kembali masa-masa silam. Hellena menarik nafas panjang, setelah puas menangis. Ia kemudian
mengambil secarik kertas, menggores tangannya dengan pisau hingga berdarah, dan dengan tinta
darah, ia menulis di atasnya:
"Wahai Benderaku, aku
berjanji kan berjuang. Berjuang sampai Kau, Bintang Kejora, kau berkibar dari Sorong
hingga Merauke, di angkasa tanah air Papua Merdeka."
Oleh, Agustinus Dogomo
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar