Pages

Pages

Rabu, 02 Oktober 2013

TEOLOGI PEMBEBASAN, Gustavo Gutiérrez Sebuah Usulan Dalam Membangun Papua

Markus Madlama ( foto. Facebook)

Oleh, Markus Medlama

Kaitan pemikiran Gustavo Gutiérrez tentang Teologi Pembebasan dan perlu adanya gagasan pemikiran baru di Papua , ada beberapa hal yang ditawarkan berkaitan dengan teologi pembebasan yaitu seperti, Gustavo Gutiérrez menawarkan teologi kepada umat Kristen suatu tema baru secara etis melalui praksis. Artinya adalah bahwa etika masyarakat seharusnya dibangun berdasarkan perenungan bersama yang dilakukan secara nyata dalam kehidupannya. 

Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta). 

Ini sebagai respons terhadap kritik Karl Marx terhadap 'masyarakat kelas' akibat dominasi kapitalisme. Teologi Pembebasan yang dimaksud oleh Gutiérrez adalah pengentasan di bidang politik dan sosial. Sekalipun bermula dari pemahaman politik, namun ini bukanlah penyusutan paham iman, melainkan refleksi iman yang malampaui refleksi sosial dan politik. 

Jadi teologinya berpusat pada yudaisme Yesus Kristus secara historis. Gutiérrez menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah "Si orang miskin" yang disamakan dengan orang-orang yang tertindas saat ini di dunia. Hal ini didasarkan pula dari Alkitab Injil Matius 5:10. 

Pembebasan yang dilakukan Yesus di atas kayu salib memerankan dua aspek, yaitu membebaskan manusia dari penindasan duniawi (kehidupan fisik sosial politik) dan penindasan iman (dosa, kematian, kefanaan dsb). 

Gutiérrez juga berteologi memandang bahwa kejahatan dan penderitaan bukan berasal dari Allah, malainkan sebuah nilai moral yang melampuai hukum manusia.sebab penderitaan dan kejahatan adalah peleburan cinta kasih Allah melalui kasih yang tak bersyarat. Dari pemikiran teologi pembebasan Gustavo Gutiérrez ini saya ingin memberi pendapat saya untuk keadaan di Papua.sebelum melanjutkan saya ingin mencoba membagi dalam beberapa bagian kelompok untuk keadaan di Papua yaitu: 

1.    Kelompok Agama (Kristen protestan,Kristen. Katolik Muslim, agama-agama suku, dan lainya, sprti Hindu dan Budha yg secara jumlah sedikit )
2.    Lembaga Adat,
3.    Lembaga pemerintahan ( yudikatif, legislatif dan eksekutif)
4.     Lembaga Politik
5.    Kelompok/ Gerakan Papua Merdeka (Free West Papua) . 

Melihat terbaginya kelompok masyarakat ini tentunya tidak terlepas dari sejarah, karena itu apabila ditelusuri maka akan ditemukan akar permasalahan mengapa tercipta suatu suasana Papua yang sepertinya memang seharusnya ada seperti saat ini, dan akhirnya dapat disaksikan bahwa makin mengarah pada terciptanya suatu budaya Papua tak jelas (budaya abal-abal) ,ijinkan saya katakan budaya Papua saat ini adalah budaya yang diakibatkan oleh berbagai kepentingan sehingga Papua telah kehilangan jati diri kepapuaan. Apabila dikaitkan dengan pemikiran teologi pembebasan dari Gustavo Gutiérrez , maka akan diperhadapkan dengan terbaginya kelas-kelas sosial yang sudah lama terjadi, kelas bawa, kelas menengah, kelas atas. 

Makin memprihatinkan adalah kelas atas atau para elit politik asal Papua sendiri diperdaya oleh permainan politik kotor dari Pusat, sehingga para elit politik asal daerah yang idealis/ kritis itu terkontaminasi tanpa sadar dan mereka tidak bisa keluar lagi untuk berbicara di bidang yang lain karena permainan politik kotor merusak nama baik mereka. Sayangnya, disisi suasana ini peran gereja tidak terlihat, karena gereja-gereja di Papua telah telah menjadi "bahan komoditas politik" ,praktek politik kotor telah menciptakan Papua menjadi Papua yang beringas, tidak punya hati, tidak tau malu, saling memakan karena kepentingan satu sama lain, munculnya kembali perang suku, para elit politik menjadikan masyarakan sebagai alat dalam memuluskan tujuan kotor dll. Ini semua adalah akibat dari gereja tidak berperan sebagaimana mestinya karena itu Teologi pembebabasan menawarkan beberapa pokok pemikiran yaitu: 

1.    Gereja-Gereja mulai mencoba memikirkan untuk Membangun Teologi kontekstual berwarna Papua ( Teologi Papuanisasi)
2.    Persamaan kelas ( di sisi ini tidak mungkin persamaan kelas secara total, maka perlu ada pemahaman dari para elit politik dan birokrat untuk benar-benar bekerja dengan hati) sehingga tidak ada lagi orang amber lebih kaya dari orang Pribumi, atau disini mungkin perlu melepaskan ada kesan bahwa orang non Papua adalah orang kelas satu/atas.
3.    Yang berikut apabilah dual hal diatas tidak tercapai maka harus turun jalan untuk melawan permainan penguasa. Memang pemikiran teologi pembebasan ini berangkat dari pemikiran karl max (sosialis) tentang ketidaksetujuanya terhadap adanya pembagian kelas sosial, maka prinsip dari teologi pembebasan adalah sama rasa, duduk sama renda berdiri sama tinggi. 

Maka apabila institusi/lembaga negara serta pemimpin-pemimpinnya yang ada tidak melakuakn tugas sebagaimana mestinya,maka pada titik tertentu perlu ada pemberontakan, aksi, pergerakan, dan juga perlu ada rasa risih/ marah benci terhadap suasana ketidakadilan, praktik-praktik politik kotor yang mengakibatkan hancurnya tatanan sosial. 

Kata-kata seperti pemberontakan, aksi ,pergerakan atau lainya itu kadangkala dinilai dengan konotasi negatif, namun tidak pernah disadari tujuan dari pergerakan itu sendiri, karena itu ,untuk suatu tujuan yang baik kenapa harus takut dan gentar. Prinsip-prinsip Teologi pembebasan Kemudian di dalam tatanan praksis apabila dilihat Dari sudut pandang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dengan cepat, kita lebih mengenal dengan istilah REVOLUSI sejarah perkembanganya,lambang revolusi dunia kita kenal dengan Fidel Castro dan saudaranya Raul Castro kemudian dr.Che Guevara menjadi orang-orang yang sangat dikenang di dunia dengan usaha revolusi yang dilakukan di Peru.

Sudut pandang teologi pembebasan memberi ruang untuk menghilangkan sekat-sekat tatanan sosial yang lebih dikenal dengan istilah yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, dan dari revolusi merupakan alat mewujudkanya. Sepertinya usulan ini terasa berbau politik, kalo demikian pertanyaan refleksi saya adalah sampai kapan dualisme ( gereja=rohani dan pemerintahan =tidak rohani) ini berlanjut? sehingga tanpa disadari, Papua akan dikuasai oleh "kepentingan lain" yang menawarkan dengan berbagai cara. Bukankah, umat Tuhan dipanggil untuk menjadi berkat dalam berbagai lini kehidupan?

Markus Madlama, Adalah salah satu mahasiswa yang kuliah di Kampus STT. INTI. Institut Teologia Indonesia, Bandung Jawa Barat.

1 komentar:

  1. Apakah dengan intruksi dari orang lain melalui buku atau dengan media masa lalu menjadi patokan untuk pembanggunan papua saya pikir tidak, hanya saja kita menerima namun itu hanya menjadi patokan boleh. menurut saya memiliki ideh dan juga menerima ilmu kemudian menerapkan di papua bangi saya itu jawaban yang tepat. dibalik Fenomena yang terjadi di papua,entah di organisasi gereja bahkan pemerintahan dll itu ada rencana yang idah dibalik itu semua. artinya berjalan kaki dengan pelang tapi tetap tibah sujuan yang diingginkan oleh odigenus of papua

    BalasHapus