Negosiasi
Pengamanan Freeport,
yang diteken Freeport-Polda Papua, sejak itupula, efeknya terasa.
Insiden penahanan Turis Asing yang tersesat, tidak lagi dikaitkan dengan
Organisasi Papua Merdeka. Bila saja belum ada kesepakatan sebelumnya,
media masa pasti santer dengan berita (hilang) orang asing di Papua.
Sikap miring bernada tudingan, sering mengemuka bila ada konflik
kepentingan yang belum beres, antara raja uang AS dengan penjaga
keamanan (whatsdog) dalam negri di Timika.
Berita kehilangan dengan dalih diculik,
penembakan,
pembakaran, atau gangguan keamanan apa saja, apalagi diseputar
Freeport, tentu nama OPM tak luput keluar dari mulut penjaga Negara.
Dugaan selama ini, bahwa rentetan peristiwa hanyalah rekayasa bisnis
keamanan semata, dan dengan tidak dibawa bawa lagi nama organisasi Papua
kedalam penahanan Turis mancanegara, satu hal bahwa praktik
kambinghitam kian reda setelah pemodal memenuhi tuntutan upah para
penjaga.
Pada nantinya, konflik terus ada bila
komitmen dana pengamanan yang dari perusahaan, lambat cair atau tidak
memenuhi permintaan mereka-mereka. Kebebasan aparat Negara untuk
membahas sendiri dana pengamanan dari perusahaan, bikin saling sikut
sana sini, saling adu taktik dan strategi untuk mengacaukan suatu
wilayah dan areal, agar menjadi jembatan memuluskan suatu maksud
tertentu.
Konflik Kedaulatan
Konflik sesungguhnya yang menjadi
tanggungjawab
bersama, bagaimana mengentaskan bentuk intervensi asing, baik politik
maupun ekonomi. Pengacau Negara yang
berdasi,
tidak ditegur bahkan dibatasi. Mereka lebih parah merusk kedaulatan.
Lapisan sosial di Indonesia sudah berteriak kepada pemerintah untuk
cegah intervensi asing.
Dari warga lokal, aktivis dan
perkumpulan
pengusaha pun bernada sama. Perusahaan asing terlalu banyak menopoli
Indonesia. Konon, justru para pengunjung asing yang datang dan kebetulan
masuk areal Freeport, mereka ditangkap dan terperiksa. Sedangkan,
bungkusan KK I Freeport tak kunjung diperiksa isinya sampai sekarang.
Lebih baik periksa perusahaan asing
seluruhnya, demi menyelamatkan pemasukan ekonomi bagi Negara, daripada
sekedar tangkap warga Negara lain untuk periksa mereka. Jurang besar
yang sudah kubur Indonesia, anda seolah-olah tutup mata lalu mengecar
lubang kecil sarang tikus, untuk dibuka buka jadi besar. Ini praktik
tipu daya aparat Negara yang bermental inlaander, lebih responsiv atasi
masalah yang bukan pokok dari persoalan Negara.
Sekarang, OPM tak dibawa-bawa kedalam
masalah
wisatawan asing yang salah masuk areal freeport. Justru nama OPM santer
mengemuka sebagai ungkapan para pengamat social dan politik. Salah
satunya, pengamat Politik yang juga alumnus UI di Jakarta, Riska
Prasetya, dia mengatakan bahwa masalah Papua ternyata lebih gawat
dibandingkan dengan masalah Aceh, maka perlu sikap-sikap formal yang
lebih tegas dinyatakan oleh Pemerintah RI, yaitu sebuah dekrit yang
menyatakan beberapa organisasi di Papua sebagai organisasi terlarang,
yaitu OPM.
Boleh Masuk Papua, Asal Jangan
Masuk Freeport
Iya, jangankan orang bule dari jauh
datang,
penduduk lokal maupun warga Negara sendiri, tidak semuanya bebas masuk
areal perusahaan. Sampai sekarang protap masuk areal perusahaan yang
pemiliknya tukang cangkul kebun dari Arizona itu, tentu tidak mudah.
Sembilan wisatawan mancanegara itu
hendak
datang ke Papua, mereka berkunjung ke daerah Taman Lorenz dan Salju
Abadi di pegunungan yang satu deretan dengan gunung yang digali
Freeport. Entah, salah jalan atau, memang batas areal kawasan konservasi
dengan areal perusahaan sudah sama saja, berujung penahahan dan
pemeriksaan.
Kamu itu pencuri, masuk tidak tanpa
ijin. Ini
kalimat yang pernah dilontarkan security perusahan, waktu itu, komandan
sekuriti sang Jendral. Tuduhan dengan ancaman tersebut pernah dialami
para jurnalis yang hendak meliput di areal FI. Prosedur ijin mrk
kantongi, toh, mereka disekap kedalam pos kemanan. Bagaimana dengan
nasib Turis asing, apakah mengalami nasib yang sama ditengah kondisi
keterbukaan manajemen perusahaan sendiri yang akhir akhir ini, lebih
terbuka kepada publik bila terjadi satu masalah.
Sejalan dengan keinginan masuk Papua
tetapi
tidak boleh ke Freeport, perlu simak lagi komentar dari sang pengamat
tadi diatas. Pada dasarnya, pandangan terhadap Papua yang tidak
substansial, kerap mengemuka, inilah proses dari pendidikan politik yang
tidak cerdas, apalagi merunut pada kedaulatan ekonomi.
Menurut pengamat alumnus UI tersebut,
Pemerintah RI sebenarnya selama ini menipu dirinya sendiri seolah
berdaulat penuh di Papua, tetapi sebenarnya kedaulatan tersebut penuh
rongrongan, karena seperti ada api dalam sekam, ada sikap perlawanan
yang latent dan potensial tersembunyi dalam masyarakat. Tuh kan, sikap
melawan dari Freeport seperti selama ini tidak dia ungkap.
Ke Papua Tidak Papa, Bawa
Keluar Dari Papua Juga Bebas kok
Pabrik pemurnian bahan tambang
(smelter)
resmi ada di Jawa Timur. Sedangkan rencana pendirian pabrik bebatuan
limbah Freeport, terus dan terus diwacanakan. Orang-orang perusahaan
sebelumnya mengatakan pabrik smelter dibagun di Papua. Lalu, mereka
bilang bangun di Sulawesi, eh ternyata balik Jawa lagi.
Tentang ijin pendirian pabrik smelter
Freeport dan lainnya, diakui oleh Wahana Lingkungan Hidup Surabaya dan
pejabat setempat. Menurut Walhi-SBY, ada 15 smelter tahun ini telah
merampungkan proses perizinan dan telah beroperasi. Di antaranya adalah
PT Smeelting, PT Hanil Jaya Steel, PT Taman Steel, PT Bhirawa Steel, PT
Pangeran Karang Murni, PT Group Modern, PT Multi Baja Industri, PT
Situbondo Metalindo, dan PT Royal Nikel Nusantara. “Perusahaan itu
smelter baja, feronikel, tembaga dan nikel,” . PT Smeelting yang berada
di Gresik mengolah mineral dari PT Freeport. Sahamnya, milik Mitsubishi
Material 60,5%, PT Freeport Indonesia 25%, PT Mitsubishi Corporation
9,5%, PT Nippon Maning and Metal Co. Ltd 5.0%. Sedangkan 10 smelter
lainnya masih sedang dalam proses izin.
Nah, menyangkut pendirian pabrik ini,
tenaga
kerja otomatis lapangan kerja juga. Pabrik smelter Freeport bila ada di
Papua, tentu menyerap tenaga kerja setempat. Bahkan pendapatan daerah
pun meningkat. Negara membiarkan pemerintahan di Kabupaten Mimika
mendapatkan pemasukan tunggal dari Freeport dan pajak ringan lainnya
saja, tanpa harus memikirkan pemasukan dari sumber lain.
Karena bebas datang ke Papua dan bebas
bawa
keluar, proteksi Negara adalah masalah bersama. Perekonomian daerah di
proteksi, dari daerah tentu menyetor ke pusat juga. Kenapa harus
semuanya bawa keluar dari Papua? Daerah juga ada BUMD untuk join dengan
industri internasional. Jangan hanya urus birokrasi saja, tetapi
Perusahaan Negara di daerah perlu mendapat kesempatan.
Semoga peristiwa 9 warga asing di areal
Freeport, yang luput dari tudingan OPM, seterusnya bila ada konflik
kepentingan, jangan ada lagi mulut liar yang seenaknya menyebut nama
organisasi Papua sebagai tumbal dari memuluskan maksud mendapatkan uang
keamanan semata. Publik juga dapat menilai sendiri, situasi masa lalu
seputar Freeport dan artikel ini menjadi pelengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar