Saat Pendeta Socrates Sofyan Yoman memberikan materi. Foto: Mateus |
Yogyakarta, -- Kepentingan politik pemerintah Indonesia
melakukan banyak pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi di tanah Papua
adalah liar dan miskin prosedur administrasi pemerintahan.
Pemekaran tidak melalui suatu proses
yang benar dan bertanggungjawab dengan memenuhi syarat-syarat. Misi utama pemekaran adalah operasi militer dan operasi transmigrasi gaya baru. Tujuannya
ialah pemusnahan etnis orang asli Papua (OAP) dan digantikan dengan penduduk Melayu, pengembangan jaringan komunikasi dan
pengkondisian wilayah untuk menghentikan perjuangan Papua Merdeka.
Hal itu dikatakan Pendeta
Socratez Sofyan Yoman
dalam seminar bertema "Dampak Pemekaran Kabupaten atau Kota dan Provinsi
terhadap Masa Depan Orang Asli Papua (OAP)" pada acara Rakernas II
Ikatan Pelajar dan
Mahasiswa Nduga se-Indonesia, di Surya Village, Kaliurang, Sleman,
Yogyakarta,
Jumat (18/10/2013) sore.
"Latar belakang ramainya pemekaran kabupaten atau kota
dan provinsi di Tanah Papua Barat yang liar dan tak terkendali ini ialah
murni kepentingan politik, ekonomi,
keamanan dan proses pemusnahan etnis Melanesia. Semua kebijakan politik pemerintah Indonesia ini bukan kepentingan memajukan, membangun dan mensejahterakan penduduk asli
Papua. Menurut hemat saya, kalimat kuncinya ialah pemekaran kabupaten dan
provinsi di tanah Papua ialah operasi militer dan operasi transmigrasi gaya baru untuk pemusnahan etnis Melanesia lebih cepat. Saya sendiri mempunyai bukti dokumen tertulis tentang
operasi militer," ungkap Yoman.
Bukti itu, kata pendeta Yoman, dokumen sangat rahasia
yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Ditjen Kesbang dan Linmas dalam nota dinas No. 578/ND/KESBANG/DIV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radio gram Gubernur (Caretaker) Kepala Daerah
tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200, tertanggal Juni 2000
dan No. 190/1671/SET/ tertanggal 3 Juni 2000.
Dokumen itu tujuan utama
ialah rencana operasi pengkondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dan pembentukan provinsi dan
kabupaten atau kota di Papua.
Dokumen lain, kata dia, dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariatan Jendral, Jakarta, 27
Mei 2003 dan tanggal 28 Mei 2003
tentang strategis penyelesaian konflik berlatar belakang
separatis di provinsi Papua melalui
pendekatan bidang politik keamanan.
"Dua dokumen ini memperlihatkan wajah dan karakter
milisteristik pemerintah Indonesia yang mencaplok dan menduduki tanah Papua Barat dan menjajah penduduk pribumi, orang Melanesia
melalui rekayasanya politik sejak 1 Mei
1963, PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sampai saat ini,"
kata Pendeta Yoman mengkritik.
Setelah dicaplok, kata dia, selama ini
Papua Barat dilihat oleh pemerintah Indonesia melalui tanpa kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa depan kelangsungan hidup orang-orang pemilik, ahli waris negeri dan tanah Papua Barat. Pemerintah Indonesia juga
mengelola Papua Barat sebagai wilayah bermasalah dan daerah konflik yang perlu
diselesaikan dengan pendekatan keamanan.
Walaupun pendekatan keamanan ternyata
gagal total dan menyebabkan pelanggaran
HAM yang kejam dan memilukan hati umat
Tuhan.
Selain itu, menurut Pendeta Yoman, ramainya pemekaran di
Papua menghancurkan nilai persatuan bagi Orang Asli Papua (OAP) yang sudah ada
sejak dahulu. Ia mengambil contoh, kehadiran pemekaran memunculkan
pengelompokan sesuai dengan suku masing-masing seperti orang Lani, orang Nduga,
orang Paniai, orang Jayapura, orang Biak, orang Serui, orang Sorong
dikelompokkan sendiri-sendiri, sehingga keadaan ini sudah sangat berbahaya untuk
masa depan OAP di Papua.
Tujuan terselubung dari pemerintah Indonesia di Papua
untuk pemusnahan etnis Melanesia dan digantikan dengan etnis Melayu semakin
jelas dengan data terbaru Jim Elmslie
dalam tulisan berjudul "West Papuan
Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: Slow Motion Genocide
or not? For Comprehending West Papua Conference, Sydney University, February
23-24, 2011."
Menurut data tersebut menyebutkan tahun 1971, Penduduk Asli Papua 887.000 orang.
Pendatang 36.000 orang. Total Penduduk
923.000; dalam presentase Papua 96% dan Pendatang 4%.
Tahun 1990, Penduduk Asli Papua 1.215,897 dan Pendatang
414.210. Total Penduduk 1.630.107. Presentase 75% Penduduk Asli Papua dan 25%
Pendatang. Tahun 2005, Penduduk Asli
Papua 1.558.795 dan Pendatang 1.087.694. Total 2.646.489.
Presentase 59% Penduduk Asli Papua dan 41% Pendatang.
Tahun 2011, Penduduk Asli Papua 1.700.000 dan Pendatang
1.980.000. Total 3.680.000. Presentase 47% Penduduk Asli Papua dan Pendatang
55%.
Sehingga diperkirakan pada tahun 2020, Penduduk Asli
Papua 1.956.400 dan Pendatang 4.743.600. Total 6.700.000. Presentase 29,2%
Penduduk Asli Papua dan 70.8% Pendatang. Tahun 2030, Penduduk Asli Papua 2.371.200 dan Pendatang 13.228.800. Total 15.600.000.
Presentase 15,2% dan Pendatang mencapai 84.80%.
Bila dikomparasikan (dibandingkan) jumlah penduduk OAP
Papua tahun 1969 sebanyak 800.000 dan
PNG 700.000. Sekarang penduduk PNG sebanyak 6.000.000 (enam juta) jiwa.
Sementara di Papua berada pada posisi yang tragis
1.700.000. OAP belum ada pertumbuhan dan peningkatan yang signifikan, namun
yang terjadi sebaliknya. Penduduk Asli Papua menuju pada tahap pemusnahan dan
penghilangan. Sementara dari kuantitas (jumlah) penduduk OAP semakin berkurang,
tetapi volume pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi meningkat. Ini keadaan
nyata sangat kontras dan benar-benar ironis.
Walaupun sisi lain pemekaran membawa dampak positif,
namun ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja-gereja Baptis Papua ini
menilai dampak negatif dari pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi paling
menonjol dan membawa kehancuran terhadap masa depan Papua. Sehingga Orang Asli
Papua harus dan mutlak memperkuat dan mempertahankan
persatuan dan kesatuan Orang Asli Papua dari Sorong-Merauke.
Mempersiapkan diri dari aspek Sumber Daya Manusia
(SDM) untuk membangun kabupaten atau kota dan Provinsi yang sudah dimekarkan.
Karena secara defacto dan dejure sudah ada. Menghentikan semua pemekaran yang
baru diperjuangkan oleh kelompok-kelompok oportunis yang tidak mempunyai harga diri dan martabat.
(MS)
Sumber : http://majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar