Pages

Pages

Senin, 14 Oktober 2013

Pelaku PEPERA: Mereka Bayar Harga Diri Kami dengan Perempuan dan Supermi

AMP PEPERA GAGAL SOLUSI SELF DETERMINATION ( SCK)
iLUSTRASI
Nabire,  – Rabu, (18/7) ibu Marsia Giay, pelaku Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Paniai, dalam jumpa persnya bersama Koalisi Rakyat Papua di Nabire kepada wartawan menjelaskan apa yang dialaminya saat PEPERA dilangsungkan di Nabire pada 19 Juli 1969 silam.

“Sebelum PEPERA dimulai ada tim yang jalan ke kabupaten-kabupaten. Mereka di bawah pimpinan Sudjarwo Tjondronegoro. Mereka datang sama-sama dengan beberapa anggota DPR  Propinsi Irian Barat. Tim ini mengadakan pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan teknis-teknis pelaksanaan PEPERA. Perempuan tidak diundang waktu itu,”kata Marsia.

Lebih lanjut ia menjelaskan, waktu itu ia bersama beberapa orang mendengar, panitia pembentukan Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) telah dibentuk. “Kalau saya tidak salah ada sembilan orang panitia. Mereka adalah panitia pembentukan DMP. Waktu itu, pemuda-pemuda protes, karena panitia adalah ipar-iparnya  bupati waktu itu,” kata perempuan pelaku PEPERA ini.

“Sebelum dibentuk DMP, ada surat dari  Depertemen Dalam Negeri Indonesia untuk pembentukan DMP.  Sedangkan, tentang  Realisasi Pemantapan dan Pengamanan PEPERA, Menteri Dalam Negeri kelaurkan lagi surat  pada bulan Juni 1969.  Lalu, untuk cara kerja Panitia  Pembentukan Dewan Musyawarah PEPERA di Kabupaten-kabupaten mereka keluarkan surat  juga,”kata dia.

Marsia mengatakan, ia dan beberapa tokoh ketika itu tidak tahu tentang isi suranya. Mereka baru mendapat surat itu beberapa bulan setelah PEPERA dilaksanakan. “Surat-surat  itu hanya panitia yang  pegang. Kami tidak tahu apa maksud surat itu. Saya lihat surat itu beberapa bulan setelah PEPERA. Setelah saya dapat, saya simpan. Tetapi, sekarang  sudah hilang. Saya pindah-pindah rumah jadi sudah hilang ,”katanya.

Kata dia, beberapa orang termasuk dirinya mendengar informasi bahwa DMP dipilih oleh rakyat. “Kami dengar DMP dipilih oleh rakyat. Tetapi, masyarakat tidak memilih. Mereka bilang DMP sudah ada. Mungkin mereka pilih diam-diam. Waktu itu saya dengar saja, mereka yang dipilih itu di tampung di satu tempat. Ada beberapa pegawai orang Jawa juga menjadi anggota DMP. Ada yang namanya saya ingat, pak  Fachrudin dan Saifuddin,”paparnya.

“Di tempat penampungan, ada beberapa perempuan  dari Jawa. Perempuan-perempuan itu tinggal bersama-sama dengan tokoh-tokoh Papua di penampungan. Makanan untuk mereka disiapkan nasi, supermi dan saures (sarden:red). Supermi dan saures adalah makanan baru yang enak waktu itu,” jelasnya.

Perempuan yang pada tahun 2001 menjadi saksi PEPERA di Belanda itu menjelaskan, orang-orang yang menjadi DMP saat itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka lebih banyak menguasai bahasa Belanda. “Mereka tidak bisa bahasa Indonesia jadi diajari oleh pegawai-pegawai dari Jawa. Setiap malam mereka diajarkan bahasa Indonesia,” kata pegawai lurah itu.

Ia bersaksi, PEPERA di wilayah Paniai di laksanakan di Nabire pada tanggal 19 Juli 1969. Mereka yang hadir adalah utusan khusus  PBB Dr. Fernando Ortiz Sanz  dan para undangan lainnya. Ketua Pelaksana PEPERA adalah  Sudjarwo Tjondronegoro. “Saya ingat, PEPERA di Paniai dilakukan di samping kantor Bupati Nabire sekarang. Dalam jadwalnya, PEPERA diawali di Merauke  pada tanggal 14 Juli 1969. Tanggal 16 Juli 1969 digelar di Jayawijaya.  Selanjutnya, di Fak-fak tanggal 23 Juli 1969.  Di Sorong, tanggal 26 Juli 1969.  Di Manokwari, tanggal 29 Juli 1969. Di Biak tanggal 31 Juli 1969.  Dan, PEPERA diakhiri  di Jayapura  tanggal 2 Agustus  1969,” kata dia.

“Pada hari pelaksanaan PEPERA di Paniai,  ada 175 orang saja. Padahal, saya ingat jumlah penduduk di Kabupaten Paniai saat banyak. Banyak orang menunggu karena ada informasi bahwa setiap orang memilih. Tapi, tidak. Saat itu, perempuan yang ikut adalah  Ibu Elsi Jacobus Sawo, Ibu Levina Sajori/Aduari, Nn. Anthonia Pakage, Salina Yoweni Imbiri, Ibu Ketsia Pakage, Nn. Martha Sahori, N. N. Ruth Latipai, Ibu G. Dakosta Dawaka, Marcia Giay, Ibu Frederika Gobay, Ibu Diana Danomira/Korawa, Ny. Juliana Maria Sawo, Ibu Leonora Salomi, Mailopum/Lohiy, Ibu Maida Tenoje, dan saya sendiri,” tuturnya.

Ia mengungkapkan, yang lain laki-laki semua. Ada juga orang Jawa saat itu. Saat itu pemuda-pemuda, perempuan, dan beberapa orang tua mau demo tetapi tidak bisa. Ada tentara banyak dan tidak bisa buat apa-apa. Ada KOPASANDA, Raider, dan Polisi.

Marsia berkisah, sebelum PEPERA berlangsung, ia melihat ada beberapa wartawan orang barat dan wartawan Indonesia. Ada juga tentara bersenjata lengkap mengawasi proses PEPERA. “Saat itu saya duduk sebelum orang terakhir, di belakang. Mereka semua angkat tangan untuk bicara. Saya juga angkat tangan. Saat mereka hitung, saya tidak dihitung. Saya angkat tangan terus. Ada wartawan orang Barat yang membawa kamera itu  bilang kepada panitia tetapi mereka malas tahu. Saya dan beberapa perempuan angkat tangan waktu itu untuk bicara. Kami mau bicara tidak boleh,” katanya mengurai.

Selanjutnya, kata dia, mereka, para laki-laki yang angkat tangan itu diminta untuk bicara. “Semua yang angkat tangan itu bicara sama. Mereka bilang,  kami merdeka tahun 1945. Mereka bilang, kita kumpul untuk apa. Setelah mereka bilang begitu, mereka lompat-lompat. Ada yang menangis saat itu. Termasuk para perempuan menangis. Tapi, mereka malas tahu. Kami takut jadi diam saja,” kata Marsia.

“Mereka buat sangat singkat. Setelah selesai, mereka tanda tangan semua. Kami beberapa orang tidak tanda tangan. Katanya, mereka mau kasih barang. Mau kirim supermi dan beras. Sebelum PEPERA dilaksanakan juga, mereka bagi-bagi supermi dan saures. Beberapa anggota  DMP dikasih radio, gergaji, dan sekap. Mereka juga dijanjikan akan diberi uang. Selanjutnya saya tidak tahu. Kami pulang dengan menangis,” kata Marsia dengan mata berkaca-kaca.
Ia mengatakan, setelah beberapa hari kemudian, dirinya dan orang-orang di Paniai mendengar informasi dari Jayapura, Papua bergabung dengan Indonesia. “Kami dengar Papua ikut Indonesia. Kami juga dengar, di luar gedung PEPERA di Holandia (Jayapura:red) banyak orang Papua yang protes tetapi disapu bersih oleh militer Indonesia dengan senjata dan neriam, diculik, dibunuh, disiksa, dan dihina-hina. Banyak orang yang menangis dengar informasi ini. Mulai saat itu, pemuda-pemuda banyak yang masuk menjadi OPM,” katanya dengan suara menurun.

“Saya telah yakin, kebenaran pasti terungkap. Kebohongan juga pasti terungkap. Hanya soal waktu. Kalau saya salah bicara atau tipu. Saya berdosa. Suatu saat orang lain akan tahu bahwa saya tipu. Tapi, kalau benar. Orang lain akan tahu juga. Satu hal yang membuat saya menangis hingga saat ini adalah waktu itu tidak banyak pelajar. Tidak bisa protes. Jadi, mereka bayar harga diri kami dengan perempuan nakal, supermi, dan saures,” kata Marsia suara tersendat-sendat. (DE/MS/HE/003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar