SYDNEY (AUSTRALIA) - Johanes Lokobal duduk di
rumput yang menjadi bantal di lantai kayu di rumah satu-kamarnya yang kecil.
Dia menghangatkan tangannya di api yang berada di tengah rumahnya.
Sementara,
dari waktu ke waktu seekor babi, terlihat menjerit dan membanting dirinya
sendiri dengan keras ke dinding sebelah luar rumah.
Kampung Megapura terletak
di pegunungan tengah, provinsi paling timur Indonesia, Papua yang begitu jauh
hingga suplai apapun hanya bisa dilakukan melalui udara atau berjalan kaki.
Johanes Lokobal telah tinggal di situ sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu persis
usianya : “Tua saja,” katanya.
Hidupnya juga jauh dari cukup. “Saya membantu di
kebun. Saya dapat sekitar 20.000 rupiah per hari. Saya membersihkan taman
sekolah.” Tapi dalam kehidupannya yang keras, salah satu kesulitan yang
menimpanya telah membuat dia terluka. Pada tahun 2005, putra satu-satunya,
Yope, dibawa ke Jakarta. Lokobal tidak ingin Yope pergi. Anak itu mungkin
berusia 14 tahun, tapi besar dan kuat, seorang pekerja yang baik.
Namun
orang-orang itu tetap membawa Yope pergi.. Beberapa tahun kemudian, Yope
meninggal. Tidak ada yang bisa mengatakan pada Lokobal, bagaimana atau kapan
tepatnya, dan dia tidak tahu di mana anaknya dimakamkan. Yang dia tahu, adalah
bahwa ini tidak seharusnya terjadi. “Jika dia masih hidup, dia akan menjadi
orang yang merawat keluarga,” kata Lokobal. “Dia akan pergi ke hutan
mengumpulkan kayu bakar buat keluarga.
Jadi saya sedih.” Orang-orang yang
mengambil Yope adalah bagian dari perdagangan terorganisir anak-anak Papua.
Sebuah investigasi Good Weekend selama enam bulan telah mengkonfirmasi bahwa
anak-anak, mungkin berjumlah ribuan, telah dibawa pergi selama sepuluh tahun
terakhir atau lebih dengan janji pendidikan gratis.
Di provinsi di mana
sekolah-sekolah sangat minim dan banyak keluarga tak mampu, sekolah gratis bisa
menjadi tawaran menarik. Tapi untuk beberapa anak-anak, yang mungkin berumur
lima tahun, saat mereka tiba mereka hanya tahu mereka telah direkrut oleh
“pesantren”, di mana waktu untuk mempelajari matematika, ilmu pengetahuan atau
bahasa dikurangi oleh jam yang dihabiskan di masjid. Dalam kata-kata seorang
pemimpin pesantren, “Mereka belajar untuk menghormati Allah, itu merupakan hal
utama.” Sekolah-sekolah ini memiliki satu tujuan: untuk mengirim lulusan mereka
kembali ke penduduk Papua yang mayoritas Kristen untuk menyebarkan pengetahuan
mereka tentang Islam. Tanyakan kepada 100 anak laki-laki Papua dan perempuan di
sekolah Daarur Rasul di pinggiran Jakarta apa cita-cita mereka saat dewasa dan
mereka akan berteriak, “Ustad! Ustad! [Guru agama] “ Di Papua, khususnya di
pegunungan, masalah identitas agama dan budaya memang “panas”.
Data sensus
selama empat dekade terakhir menunjukkan bahwa penduduk asli kini sama
jumlahnya dengan pendatang, sebagian besar Muslim, dari bagian lain Indonesia.
Pendatang yang mendominasi ‘ekonomi, khususnya di bagian barat provinsi,
efektif meminggirkan penduduk asli. Imigrasi Ini berarti bahwa masyarakat asli
Papua memiliki rasa takut yang nyata dan realistis jika suatu saat mereka akan
menjadi etnis dan agama minoritas di tanah mereka sendiri.
Kisah-kisah orang merampas
anak-anak mereka menambahkan perasaan emosional dan memiliki potensi untuk
mengobarkan ketegangan di wilayah yang sudah rentan. Selama sekitar 50 tahun,
pemberontakan separatis telah aktif di Papua dan ratusan ribu orang meninggal
dalam upaya mereka untuk mendapatkan kemerdekaan Papua. Kristen, yang dibawa
oleh para misionaris Belanda dan Jerman, adalah kepercyaan dari sebagian besar
penduduk asli, dan bagian penting dari identitas mereka. Islam sebenarnya
memiliki sejarah yang lebih lama di Papua daripada Kristen, namun
khotbah-kotbah yang lebih santun daripada apa yang dikhotbahkan di
masjid-masjid di Jawa, setidaknya untuk saat ini menyebabkan, Islam masih agama
minoritas di Papua. Tapi ketika anak-anak pesantren kembali dari Jawa, iman
mereka telah berubah. “Mereka menjadi orang yang berbeda,” kata pemimpin
Kristen Papua, Benny Giay, kepada saya.
“Mereka telah dicuci otak”.
Sekolah-sekolah ini bersikeras mereka hanya merekrut siswa yang sudah menjadi
muslim, tapi jelas mereka tidak terlalu ngotot. Di Daarur Rasul, saya dengan
cepat menemukan dua anak kecil, Filipus dan Aldi, yang mualaf – pindah dari
agama Kristen ke Islam. Salah satu organisasi Islam radikal, Al Fatih Kafah
Nusantara (AFKN), mengatakan AFKN telah membawa 2200 anak dari Papua sebagai
bagian dari program nasionalistik “Islamisasi”nya. “Ketika [orang Papua]
menjadi Islam, keinginan mereka untuk merdeka berkurang!” kata Fadzlan pada
halaman internet AFKN itu. Dalam pergolakan yang terjadi di Papua, “gerakan dan
konversi” anak-anak adalah ledakan politik. Kami diperingatkan beberapa kali
agar tidak mengejar kisah ini. Ini tidak pernah dilaporkan dalam pers
Indonesia. Kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat, Bambang
Darmono, hanya berkata bahwa ini sebagai salah satu dari “banyak masalah di
Papua”, dan direktur Pesantren di Kementerian Agama, Saefudin, mengaku belum
pernah mendengar tentang hal itu. Namun upaya saya untuk menelusuri kehidupan
dan kematian salah satu anak Papua telah mengungkapkan bahwa perdagangan itu berlangsung.
Dan, dalam pelayanan tujuan agama dan politik yang besar, kehidupan anak-anak
dan pemuda terkadang dirusak. Elias Lokobal tersenyum sendiri ketika ia
berbicara tentang kehilangan saudara tiri kecilnya yang penuh semangat, tapi
ketika berbicara tentang Amir Lani, eskpresinya berubah menjadi kelam. Lani
adalah seorang ulama lokal di Megapura dan desa-desa lain di sekitar ibukota
Jayawijaya, Wamena. Saat itu di sekitar tahun 2005 ketika ia dan Aloysius
Kowenip, kepala polisi dari kota terdekat Yahukimo, mulai mendekati beberapa
keluarga untuk merekrut anak-anak mereka. Dua orang ini bekerja untuk mengambil
lima anak laki-laki dari keluarga yang rentan di masing-masing lima desa dan
mengirimkan mereka ke Jawa untuk pendidikan. Kowenip, seorang Kristen,
mengatakan itu adalah idenya untuk “membantu” anak-anak, dan dana untuk itu
berasal dari “pemerintah daerah dan organisasi Islam” yang namanya ia lupa. Dia
bilang dia mencari anak-anak yang hanya memiliki satu orangtua karena “tidak
ada yang membimbing mereka”. Yope muda adalah salah satu anak laki-laki
tersebut. Meskipun ia memiliki ibu tiri, ibu kandungnya telah meninggal. Baik
Lani maupun Kowenip pernah mengunjungi ayah Yope, Johanes Lokobal, untuk
menjelaskan rencana mereka. Ini sangat melukai. “Orang-orang harus meminta izin
dari orang tua,” kata Lokobal. Tapi sebaliknya, mereka hanya menanyakan pada
Yope saja, yang antusias terhadap petualangan ini. Beberapa temannya sudah
pergi ditahun sebelumnya dan ia tertarik untuk bergabung dengan mereka. Ketika tiba
saatnya Yope untuk berangkat, itu terjadi dalam sekejap, ingat saudara tiri
Yope, Elias. “Saya pergi ke sekolah, dan ketika saya pulang tidak ada orang di
rumah.” Andreas Asso adalah bagian dari kelompok yang sama. Sekarang pemuda
pemalu ini bekerja di Jayapura, ibukota Provinsi Papua, ia mungkin berusia 15
tahun pada saat itu. Seperti Yope, Andreas hanya memiliki satu orang tua.
Ayahnya sudah meninggal dan, meskipun ibunya masih hidup, ia tinggal dengan ibu
tirinya. Seperti Yope, ia didekati secara langsung. “Mereka bertanya apakah
saya ingin melanjutkan studi saya di Jakarta secara gratis,” kata Andreas.
“Kepala polisi tidak pernah berbicara dengan ibu tiri saya tapi dia berbicara
dengan paman saya, adik ayahku, dan dia setuju. Saya lahir Kristen dan saya
akan selalu menjadi orang Kristen. Kepala polisi hanya berkata kita akan
dimasukkan ke dalam kost.
Jika saat itu dia memberitahu kami itu adalah
pesantren, tidak satupun dari kami akan pergi. “ Ketika tiba harinya untuk
berangkat, Andreas mengatakan 19 anak laki-laki masuk ke pesawat Hercules C-130
di Wamena. Yang termuda dari mereka berusia lima tahun. Pesawat itu dipiloti
oleh orang-orang berseragam. Sulit untuk memverifikasi apakah militer secara
resmi terlibat, tetapi seorang mantan panglima militer pernah mengatakan warga
sipil Papua yang diizinkan untuk membeli tiket murah untuk terbang dengan
pesawat militer adalah bagian dari “corporate social responsibility” militer.
“Kami tidak berbicara kepada para prajurit,” kenang Andreas. “Kami takut.” Butuh
waktu dua hari bagi mereka dengan pesawat itu mencapai Jakarta dan, “kami tidak
diberi atau ditawarkan makan atau minuman. Beberapa dari kami, terutama yang
kecil, jatuh sakit … ada beberapa yang muntah-muntah,” kata Andreas. “Ketika
mereka datang ke kampung saya, saya benar-benar ingin pergi. Tapi ketika saya
berada di pesawat, yang saya pikirkan hanyalah, ‘Saya ingin kembali ke kampung
saya.”
“Ketika mereka mendarat di Jakarta, kemudian anak-anak diantar ke rumah
baru mereka – Pesantren Jamiyyah Al-Wafa Al-Islamiyah. Perjalanan ke pesantren
itu sekitar tiga jam. Pesantren ini terletak di tempat yang tinggi di lereng
gunung Gunung Salak, di belakang kota Bogor. Kepala sekolah yayasan Al-Wafa,
Harun Al Rasyid, masih mengingat Andreas Asso dan anak-anak dari Wamena, dan
orang-orang yang membawa mereka, Amir Lani dan Aloysius Kowenip, yang ia sebut
sebagai “Aloy”.
Dua orang ini datang dan “menawarkan siswa” pada tahun 2005,
kenangnya. “Aloy ambisius dalam politik, dan membawa anak-anak untuk pesantren
saya adalah cara dia untuk meningkatkan posisinya atau citra di masyarakat,”
kata Al Rasyid. Meski dalam banyak hal, mereka sangat berbeda, namun menurut
Andreas Asso, mereka setuju pada satu hal : anak-anak dari kampung di
pegunungan Papua yang liar tidak pantas disitu. “Itu tidak seperti sekolah
karena di sekolah mereka punya kelas,” kata Andreas. “Untuk yang satu ini, kami
semua hanya pergi ke sebuah masjid besar dan belajar tentang Islam itu dan
membaca Alquran. Kadang-kadang mereka menampar wajah kami dan memukuli kami
dengan tongkat kayu. Mereka bilang kami orang Papua hitam, kulit kami gelap. “
Makanan dan pendidikan di Al-Wafa memang gratis tapi soal agama sangat ketat.
Gurunya berasal dai Yaman dan didanai oleh Arab Saudi.
Website mereka
menggambarkan Al-Wafa sebagai Salafi sholeh, atau “Salafi saleh”. Tujuannya:
“Menyiapkan kader pengkhotbah dan orang-orang yang bisa “memanggil” orang lain
untuk masuk Islam.” Andreas menegaskan bahwa, seperti juga dirinya, beberapa
anak-anak lain juga beragama Kristen, dan kepala sekolah merubah nama lima
orang dari mereka untuk membuat mereka terdengar lebih Islami – tudingan yang
kemudian dibantah oleh Al Rasyid.
Untuk hal ini, Al Rasyid mengatakan orang
Papua itu merupakan masyarakat tertinggal yang tak punya guru, “karena latar
belakang budaya mereka berbeda”. Dia mengatakan anak laki-laki kencing dan
buang air besar di halaman sekolah dan mencuri hasil panen tetangga. Al Rasyid
mengakui menghukum mereka dengan “memarahi” dan memukul mereka “dengan rotan di
kaki”. Sekitar dua atau tiga bulan setelah mereka tiba, Nisan Aso, seorang anak
yang sakit-sakitan, akhirnya meninggal.
“Dia berusia 10 tahun,” kata Andreas.
“Dia sudah sakit di Wamena tapi … dia meninggal. Jenazahnya masih di Bogor
karena pondok pesantren tidak punya uang untuk mengirim jenazah Nisan kembali,
meskipun orang tuanya ingin jenazah anaknya itu dikirim kembali.” Al Rasyid tak
ingin mengomentari nasib Nison itu. Setelah kurang dari satu tahun, jelas jika
percobaan untuk keduanya, anak laki-laki dari Papua dan juga sekolah, gagal,
sehingga Amir Lani dipanggil. Andreas mengatakan ia memohon kepada Amir Lani
untuk membawanya pulang, namun ditolak. Sebaliknya, Lani malah membawa mereka
ke Jakarta dan diserahkan kepada, Ismail Asso, seorang Papua lainnya, yang pernah
menjadi murid “import” yang namanya sudah diubah. Ismail berkata pada anak-anak
yang diserahkan padanya itu bahwa tidak ada cukup uang untuk mengembalikan
mereka ke Papua. Orang tua mereka, tampaknya, tidak pernah diberitahu.
Beberapa
siswa kemudian ditempatkan di pesantren baru di Tangerang, dekat Jakarta. Tapi
kemudian mereka diusir juga dari sana, karena, menurut Ismail Asso, “Anak-anak
itu memang sudah nakal sejak di Papua.” Tapi Andreas tinggal di luar sekolah
dan malah bekerja sama dengan anak lain, Muslim Lokobal, “yang juga seorang
Kristen tetapi diberi nama ‘Muslim’”. Keduanya melakukan cara mereka sendiri
untuk hidup di kota besar.
Jika ditelusuri lebih dalam, kisah ini
memperlihatkan detail masalah yang terus menerus terjadi, – nama, waktu dan
usia. Nama telah berubah, akar mereka dihapus, dan anak-anak kampung ini jarang
tahu usia mereka sendiri. Yang tragis di akhir cerita tentang Yope Lokobal ini,
kemungkinan, dia (Yope Lokobal) adalah anak yang sama yang dikenal oleh Andreas
Asso sebagai Lokobal Muslim. Sebab Andreas mengatakan bahwa satu malam Muslim
mabuk. Namun tidak ada saksi mata di kejadian berikutnya. “Dalam perjalanan
kembali ke rumah kos, Muslim membuat masalah dengan masyarakat setempat,
sehingga mereka memukulinya dan membunuhnya. Mereka menempatkan tubuhnya di
dalam asrama.
Dan karena mereka membencinya, mereka mengeluarkan salah satu
matanya dan menempatkan botol di rongga matanya. “Apakah adegan mengerikan ini
menggambarkan kematian Yope? Ataukah Muslim Lokobal adalah laki-laki yang
berbeda dari Yope? Kembali di desa Megapura, mereka mendapat sedikit informasi.
“Ada telepon dari Jakarta ke masjid di Megapura, dan orang-orang dari masjid
menyampaikan pada kami,” kenang Johanes Lokobal. “Tidak ada penjelasan tentang
bagaimana Yope meninggal.” Kata saudara tiri Elias: “Itu tahun 2009 atau 2010.
Kami hanya mengadakan upacara berkabung di rumah, berdoa..”
Tidak ada yang tahu
di mana tubuh Yope dikuburkan. Sisa dari anak laki-laki yang dibawa oleh
pesawat Hercules saat itu akan berusia 20-an sekarang. Terakhir kali Andreas
Asso mendengar tentang mereka, di Jakarta, mereka sedikit lebih baik dari
pengemis – “pengamen jalanan atau bekerja di angkutan umum – pembantu pembalap,
atau kernet angkutan umum. ” katanya.
Tidak diketahui berapa banyak kelompok
anak-anak yang diorganisir oleh Amir Lani dan Aloysius Kowenip untuk dibawa ke
luar Papua. Teronce Sorasi, seorang ibu dari Wamena, mengatakan bahwa tahun
2007 atau 2008, ia pernah didekati oleh seorang kepala polisi, yang memintanya
untuk mengirim putrinya, Yanti, yang berusia lima tahun, dan putranya, Yance
yang berusia 11 tahun, ke Jakarta, meskipun “mereka adalah keluarga Kristen”.
“Saya berkata, ‘tidak’ karena suami saya baru saja meninggal dan kami masih
berduka,” kata Sorasi. Amir Lani masih tinggal di sebuah villa di perbukitan
dekat Megapura.
Menurut Elias, setiap kali orang bertanya kepadanya tentang
anak yang hilang dari Wamena, “dia hanya menghindari mereka”. Ketika saya
berbicara dengan Aloysius Kowenip melalui telepon, ia malah berkata, “Jika
salah satu dari mereka menjadi seseorang, maka, sebagai orang Papua, saya
bangga dengan itu.” Namun ketika ditanya tentang orang yang meninggal atau
gagal, Kowenip tiba-tiba mengakhiri pembicaraan di telpon. Beberapa hari
kemudian, temannya, Ismail Asso menelpon saya dengan marah, dan dua kali
mengancam melalui SMS. “Saya mengingatkan Anda … jangan menggali informasi
tentang Islam dari Wamena,” tulisnya, jika tidak “wartawan asing provokatif”
akan “dideportasi dari Indonesia”, atau “dipecat, dibunuh oleh [orang] Wamena”
. Pemindahan internal anak-anak memiliki sejarah panjang dan “sedikit
memalukan” di Indonesia.
Sekitar 4500 anak telah dibawa dari Timor Leste selama
24 tahun pendudukan Indonesia untuk melayani, dalam kata-kata penulis Helene van
Klinken dalam bukunya, Making them Indonesia, “dakwah agama Islam”, dan untuk
mengikat daerah lebih dekat ke Jakarta. Anak-anak, ia menulis, dipilih karena
mereka “mudah dipengaruhi dan mudah dimanipulasi untuk melayani tujuan-tujuan
politik, ras, ideologi dan agama”.
Papua telah menjadi target sejak dulu. Pada
tahun 1969, mantan presiden Soeharto mengusulkan untuk membawa 200.000
anak-anak dari “Papua yang terbelakang dan primitif, yang masih hidup di zaman
batu” ke Jawa untuk pendidikan. Satu kelompok yang didanai Arab Saudi, DDII,
digunakan untuk membawa anak-anak dari Timor Timur dan Papua. Dan hari ini,
AFKN, yang terkait dengan premanisme, garis keras Front Pembela Islam (FPI),
secara aktif mencari anak-anak untuk direkrut.
Daarur Rasul, sekolah setengah
pesantren, adalah bangunan semi permanen di kota satelit Jakarta yang disebut
Cibinong. Di sini, sekitar 100 anak laki-laki dari dataran rendah Papua bagian
Barat, setengah melingkar hingga ke pintu gerbang yang berat, menyambut kami.
Pintu gerbang terkunci karena menurut salah satu staf Daarur Rasul, “mereka
ingin melarikan diri”. Empat puluh atau lebih anak perempuan tinggal di bagian
bawah bawah dengan lebih sedikit kebebasan.
Kepala sekolah Ahmad Baihaqi
menegaskan ia mengajarkan Islam moderat, dan setidaknya anak-anak ini berusia
sekitar tujuh tahuh, tetapi beberapa dari mereka terlihat lebih muda. Dia tidak
menyangkal mereka dikurung, tetapi ia mengatakan itu hanya selama jam belajar
“untuk mengajarkan disiplin pada mereka”. Pada tahun 2011, empat anak laki-laki
melarikan diri dan mengklim jika mereka tidak hanya dipaksa untuk bekerja di
lokasi konstruksi, tapi juga di sekolah, mereka dibiarkan lapar, minum air
mentah dan hanya diajarkan agama Islam, bahasa Indonesia dan matematika.
Baihaqi menegaskan anak-anak itu membesar-besarkan. Anak-anak itu, mereka telah
“nakal” sebelum mereka tiba di sekolahnya.
Dia mengakui bahwa kadang-kadang
murid-muridnya melakukan pekerjaan di lokasi konstruksi, tetapi mereka
menikmatinya. Pelajaran untuk anak laki-laki dimulai pada jam 04:00 dengan
mengaji. Sekolah kemudian berlanjut, istirahat dan tidur siang, sampai jam
21.00, di mana ada tujuh jam doa dan membaca Al-Quran dan hanya 3,5 jam untuk
“ilmu alam, ilmu sosial, membaca dan menulis”. Baihaqi mengatakan ia merekrut
siswa baru di Papua setiap tahun dan ia bersumpah bahwa orang tua anak-anak
yang direkrutnya memberikan persetujuan mereka.
Anak-anak ini pulang ke
kampungnya setiap tiga tahun. Mereka tidak boleh melupakan orang tua mereka,
katanya, dan orang tua mereka setuju dengan peraturan ini. Arist Merdeka
Sirait, Ketua Komisi Perlindungan Anak di Indonesia, mengatakan memisahkan
anak-anak selama itu “berarti menghapus akar budaya mereka”, terutama jika nama
dan agama mereka juga diubah. “Ini sangat berbahaya,” tambahnya. Tapi
Departemen Agama di Indonesia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Karena ini
didorong oleh fakta, Direktur Pendidikan Diniyan dan Pondok Pesantren, A
Saefudin, mengatakan “Semakin lama Anda tinggal [di pesantren], semakin banyak
Anda mendapatkan berkah.” Komisi Perlindungan Anak Indonesia, KPAI, juga
optimis.
Wakil ketua Asrorun Ni’am, yang juga anggota senior Dewan Fatwa MUI,
badan penasehat Islam pemerintah, lebih khawatir tentang “sentimen keagamaan”
yang mungkin bangkit karena menulis kisah ini. “Itu melawan semua upaya untuk
membangun suasana yang harmonis,” katanya memperingatkan. Peraturan sudah
sangat jelas. Konvensi PBB tentang Hak Anak, di mana Indonesia merupakan salah
bagian didalamnya, mengatakan anak-anak tidak boleh dipisahkan dari keluarga
mereka karena alasan apapun, bahkan kemiskinan.
Dan UU Perlindungan Anak
Indonesia memberikan hukuman penjara lima tahun bagi mereka yang mengkonversi
agama anak-anak menjadi berbeda dari keluarga mereka. Di Papua, tokoh agama
memiliki sedikit kekhawatiran jika memindahkan anak-anak Papua merupakan bagian
dari upaya yang lebih luas untuk membanjiri penduduk pribumi, “Ini adalah
proyek jangka panjang Indonesia untuk membuat Papua tempat bagi Islam,” kata
Ketua Gereja Baptis Papua, Socratez Yoman. “Kalau Jakarta ingin mendidik
anak-anak Papua,” kata Benny Giay salah satu pemimpin Kristen di Papua,
“mengapa mereka tidak membangun sekolah di Papua?” Kami tidak bisa memastikan
apakah pemerintah Indonesia atau lembaga negara lainnya aktif dalam pemindahan
anak-anak ini. Tetapi beberapa organisasi memiliki dukungan tingkat tinggi.
AFKN didanai oleh zakat (sedekah) yang disampaikan melalui organisasi amal
negara di Bank BRI; Aloysius Kowenip malah berbicara tentang pendanaan
“pemerintah daerah”; para pendonor Daarur Rasul yang meliputi “beberapa petugas
polisi dan militer” yang bertindak secara pribadi, dan setidaknya satu kelompok
dibawa oleh sebuah pesawat militer. Mungkin, seperti juga pemindahan anak-anak
di Timor Leste yang terdokumentasikan dengan baik, operasi di Papua tidak
memiliki dukungan pemerintah tetapi mereka menikmati “ketenangan” pada
masyarakat kelas atas Indonesia. Andreas Asso selamat untuk menceritakan
kisahnya, tapi ia tetap marah karena ia ditipu untuk meninggalkan rumahnya di pegunungan,
lalu nasibnya tak dipedulikan.
“Saya bisa mendapatkan pendidikan ada di Wamena.
Beberapa teman saya yang tinggal telah lulus dari sekolah … Cita-cita saya
adalah menjadi seorang polisi. Tapi saya melihat ke belakang, dan saya tidak
mencapai apapun.” [SydneyMorningHerald/VictorMamborWeblog| SydneyMorningHerald]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar